Thread ini ane buat semata-mata sebagai jawaban bagi mereka yg "menuduh" bahwa hadist penuh dg kedustaan dan hanyalah "dongeng" nenek moyang.
Mengingat kedudukan Hadist sangat penting sebagai salah satu sumber hukum islam setelah Al-Quran. Dan fungsi Hadist sendiri sebagai penjelasan mengenai detail tekhnis dr ayat Al-Qur'an
Yg masih beraifat Umum.
Disini TS akan mengambil kriteria hadist shahih oleh Imam Al-Bukhari sehingga kitab shahihnya digelari kitab ter-shahih setelah Al-Qur'an.
Di akhir kita akan mengetahui mengapa Gelar kitab Hadist tershahih disematkan pada Shahih Al-Bukhari. Dan seberapa ketat filterisasi yg di gunakan oleh Imam Al-Bukhari dalam menetapkan derajad shahih suatu hadist.
Oh iyaa TS bukan ahli hadist. Jd kalo ada salah mohon di benarkan secara ilmiah. Dan kalo ada waktu bakal di lanjut tentang penetapan derajad "hasan" "dhaif" "maudhu" maupun "munkar". Dan kita dalami mana kategori hadiat yg bisa dijadikan hujjah.
Oke. Langsung aja.
1. Biografi Imam Al-Bukhari
Spoiler for Shahih Al-Bukhari:
Spoiler for Klik Biografi:
Beliau bernama Muhammad, putra dari Isma’il bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Bardizbah Al-Ju’fi, biasa dipanggil dengan sebutan Abu ‘Abdillah. Beliau dilahirkan pada hari Jum’at setelah shalat Jum’at 13 Syawwal 194 H di Bukhara (Bukarest).
2. Sanjungan para ulama terhadapnya
Spoiler for Sanjungan Ulama:
Ahmad bin Hambal (Imam Ahmad) rahimahullahmengatakan, “Negeri Khurasan belum pernah melahirkan orang yang seperti Muhammad bin Isma’il.” (Hadyu Sari, hal. 647)
Muslim bin Hajjaj rahimahullah -penulis Shahih Muslim, murid Imam Bukhari– mengatakan, “Aku bersaksi bahwa di dunia ini tidak ada orang yang seperti dirimu (yaitu seperti Bukhari).” (Hadyu Sari, hal. 650)
3. Kekuatan Hafalan Imam Al-Bukhari dan Kecerdasannya
Beliau pernah meluruskan kekeliruan gurunya dalam periwayatannya (sanad) ketika hadir di halaqah (kajian ilmu). Padahal usianya masih sekitar 10 tahun.
Spoiler for Kecerdasannya:
Suatu hari tatkala membacakan hadits di hadapan orang-orang dia (Ad-Dakhili) mengatakan, ‘Sufyan meriwayatkan dari Abu Zubair dari Ibrahim.’ Maka aku katakan kepadanya, ‘Sesungguhnya Abu Zubair tidak meriwayatkan dari Ibrahim.’ Maka dia pun menghardikku, lalu aku berkata kepadanya, ‘Rujuklah kepada sumber aslinya, jika kamu punya.’ Kemudian dia pun masuk dan melihat kitabnya lantas kembali dan berkata, ‘Bagaimana kamu bisa tahu wahai anak muda?’ Aku menjawab, ‘Dia adalah Az Zubair (bukan Abu Zubair, pen). Nama aslinya Ibnu Adi yang meriwayatkan hadits dari Ibrahim.’ Kemudian dia pun mengambil pena dan membenarkan catatannya. Dan dia pun berkata kepadaku, ‘Kamu benar’. Menanggapi cerita tersebut, Bukhari ini Warraq berkata, “Biasa, itulah sifat manusia. Ketika membantahnya umurmu berapa?” Bukhari menjawab, “Sebelas tahun.” (Hadyu Sari, hal. 640)
4. Hadist adalah (juga) wahyu yg wajib dijadikan pedoman
Hal ini berdasar ayat Al-Qur'an
Spoiler for Dalil:
Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). [an-Najm/53:3-4]
Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allâh [al-Hasyr/59:7]
5. Latar Belakang Penulisan Kitab Shahih Al-Bukhari
Spoiler for Latar Belakang:
Latar belakang penulisan tersebut adalah kenyataan Belum adanya kitab hadits yang khusus memuat hadits-hadits shahih dan mencakup berbagai bidang dan permasalahan. al-Hâfidz Ibn Hajar al-‘Asqalâni berkata, “Ketika beliau rahimahullah melihat buku-buku hadits yang ditulis sebelumnya telah memuat bermacam-macam hadits, ada yang shahîh, hasan dan banyak pula yang dhaîf, maka tidak dapat disamakan (atau dijadikan satu) antara hadits dhaîf dengan hadits shahîh, oleh sebab itu beliau rahimahullah tertarik untuk mengumpulkan hadits-hadits shahîh saja.
6. Kriteria Shahih secara Umum
Pada dasarnya kreteria hadits shahih ada dua macam.
Pertama: Kreteria yang muttafaq alaiha yaitu kreteria yang disepakati oleh para Ulama, baik Imam Bukhâri maupun yang lainnya.
Kedua : Keteria yang mukhtalafun fiha yaitu kreteria yang masih diperselisihkan oleh para Ulama.
Spoiler for kriteria muttafaq ’alaiha:
Kriteria hadits shahîh yang muttafaq ’alaiha ada lima macam, yaitu:
1. Ittishâlus Sanad (sanadnya bersambung). Artinya sebuah hadits dapat dimasukkan dalam kategori shahih jika sanadnya bersambung, yakni setiap perawi benar-benar meriwayatkanya langsung dari gurunya , dan gurunya langsung dari gurunya, demikianlah hingga bersambung kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
2. ‘Adalatur Ruwah (para perawinya adil). Maksudnya perawinya harus seorang Muslim, mukallaf, berakal, baligh, selamat dari kefasikan atau dosa besar dan tidak terus menerus melakukan dosa-dosa kecil, dan menjaga martabat atau muru’ah. Menjaga muru’ah maksudnya menjaga diri dari hal-hal yang dapat merusak martabat dan menurunkan harga diri seseorang meskipun tidak berdosa secara syara’.
3. Tamâmudh Dhabth. Yaitu super kuat dalam menjaga hafalan dan perawatan naskah. Dhabth ini ada dua macam, yaitu Dhabthu Shadr, maksudnya adalah kuatnya hafalan terhadap hadits yang sudah didengarkan dari gurunya, ia ingat terhadap hapalannya itu kapan saja diperlukan. Dan Dhabtu Kitab, maksudnya adalah sangat berhati-hati dalam menjaga tulisan hadits yang dipelajari dari gurunya, setelah ia mentashihnya, baik dengan cara memperdengarkannya kepada sang guru atau teman seprofesinya, jika ada kesalahan dalam tulisannya, ia segera membetulkannya. Ia menjaganya sampai ia meriwayatkannya kepada muridnya.
4. Ghairu Syadz. Yaitu perawinya tidak bertolak belakang dan bertentangan dengan periwayatan perawi lain yang semisalnya yang jumlahnya lebih banyak atau lebih tsiqah darinya.
5. Ghairu Mu’allal. Hadits shahîh harus selamat dari `illah qâdihah, yaitu suatu cacat yang tersembunyi dibalik hadits yang dapat merusak keshahîhan hadits tersebut, sekalipun secara dhahir tampaknya tidak ada masalah.
Spoiler for kriteria mukhtalaf fiha:
Adapun kreteria hadits shahîh yang mukhtalaf fiha cukup banyak diantaranya :
• Perawi harus masyhur (terkenal) menurut al-Hâkim
• perawi harus lebih dari satu orang menurut mu’tazilah
• Perawi harus faqih menurut Imam Abu Hanifah
• Pada hadits mu’an’an Imam al-Bukhari mensyaratkan bahwa semua perawi harus bertemu dengan gurunya meskipun satu kali, artinya hadits mu’an’an tersebut masuk kategori hadits shahîh atau muttashil sanadnya, jika memenuhi kreteria-kreteria hadits shahih yang muttafaq alaiha ditambah dengan kreteria lain yaitu semua perawinya harus bertemu dengan gurunya meskipun satu kali, tidak cukup hanya hidup satu masa (mu’ashârah) dan Imkanul liqa’ (memungkinkan bertemu antara keduanya)
Spoiler for Shahih Diatas Shahih:
Akan tetapi kreteria hadits shahîh yang mukhtalaf fiha ini sudah mendapat jawaban dari para Ulama bahwasannya kreteria hadits shahîh yang muttafaq alaiha sudah mewakili kreteria hadits shahîh yang mukhtalaf fiha. Adapun kreteria yang disyaratkan oleh Imam al-Bukhari tersebut menurut mereka bukanlah kreteria hadits yang hanya mendapatkan label shahîh akan tetapi merupakan kreteria hadits yang paling shahîh.
7. Tingginya Syarat Shahih Al-Bukhari
Lalu apa yg menjadikan shahih Al-Bukhari menjadi yg paling shahih diatas yg shahih?
Spoiler for kriteria shahih Al-Bukhari:
Mengenai hadits mu’an’an, jumhur Ulama berpendapat bahwasannya hadits tersebut dapat dikatakan shahîh atau muttashil sanadnya, jika memiliki dua syarat. Pertama; perawi (mu’an’in ) bukan seorang mudallis . Kedua; antara perawi (mu’an’in) dan gurunya (mu’an’an ‘anhu) memungkinkan untuk bertemu dan hidup dalam satu masa (mu’asharah). Adapun Imam al-Bukhari tidak demikian, syarat beliau rahimahullah lebih ketat dibandingkan syarat jumhur, sebagaimana yang tersebut diatas beliau mensyaratkan liqa’ (bertemu antara perawi dan gurunya), oleh sebab itu shahîh al-Bukhari lebih unggul dibandingkan yang lainnya.
Kemudian dalam hal perawi, Imam al-Bukhâri memilih perawi tingkat pertama dalam hal ke-dhabithan dan ke-itqanan (kesempurnaan) serta thûlul mulâzamah (lamanya belajar hadits kepada gurunya) yakni perawi yang sangat kuat hafalannya dan sangat lama ber-mulâzamah kepada gurunya (perawi semacam ini beliau jadikan sebagai inti kitabnya). Kemudian beliau t memilih tingkatan dibawahnya dalam hal itqan dan mulâzamah sebagai ittishâl dan ta’liq ( dan syawahid serta mutaba’ah). Adapun Imam Muslim rahimahullah, murid Imam al-Bukhari rahimahullah, beliau menjadikan tingkatan kedua ini sebagai inti kitabnya
8. Pembagian Tingkatan Shahih secara Umum
Berikut ini adalah rincian dari pembagian hadits-hadits shahih pada tujuh tingkatan:
Spoiler for Tingkatan Shahih:
1. Hadits yang disepakati oleh Bukhari dan Muslim (ini tingkatan yang paling tinggi)
2. Hadits yang diriwayatkan Bukhari
3. Hadist yang diriwayatkan Muslim
4. Hadist yang sesuai dengan syarat Bukhari Muslim, namun keduanya tidak mengeluarkan hadits tersebut
5. Hadits yang sesuai dengan syarat Bukhari, namun beliau tidak mengeluarkan hadits tersebut
6. Hadits yang sesuai dengan syarat Muslim, namun beliau tidak mengeluarkan hadits tersebut
7. Hadits yang dishahihkan imam-imam hadits selain Bukhari dan Muslim dan tidak memenuhi syarat keduanya, seperti Ibnu Khuzamah dan Ibnu Hibban.
9. PENUTUP
Sebagai penutup, penulis disini menyebutkan beberapa kesimpulan yang dapat dipetik dari uraian diatas, antara lain:
Spoiler for Penutup:
1. Shahîh al-Bukhâri adalah kitab hadits yang pertama kali memuat hadits-hadits shahîh saja, setelah itu muncul Shahîh Muslim. Dan keduanya tersebut merupakan kitab yang paling shahîh setelah al-Qur’an.
2. Shahîh al-Bukhâri lebih shahîh dibandingkan dengan Shahîh Muslim, karena Syarat Imam al-Bukhâri lebih ketat dibandingkan dengan Imam Muslim.
3. Ketatnya syarat Imam al-Bukhâri tampak jelas pada ittishâlus sanad (persambungan sanad) dalam hadits Mu’an’an beliau mensyaratkan liqa’ antara perawi (mu’an’in) dan gurunya (mu’an’an ‘anhu), dan terlihat pula dalam memilih perawi hadits ia memilih perawi peringkat pertama dari sisi dhabth, itqan dan thulul mulazamah.
4. Syarat Imam al-Bukhari dalam shahîhnya jika dibandingkan dengan syarat para penulis kitab sunan, maka sudah jelas syarat Imam al-Bukhari jauh lebih ketat, karena ia hanya memasukkan hadits-hadits shahîh saja sebagai inti kitab, berbeda dengan para penulis sunan, mereka memasukkan bermacam-macam hadits dalam kitab-kitab mereka, ada yang shahîh, ada yang hasan dan ada pula yang dhaif maupun dhaif jiddan.
Jadi, bisa dipastikan jika "pelabelan" Shahih oleh Imam Bukhari adalah benar datangnya dari Nabi.