Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

NegaraTerbaruAvatar border
TS
NegaraTerbaru
Vaksin Lemah Pacu Mutasi Ganas dan Gelombang OTG
Spoiler for Vaksin Covid-19:


Spoiler for Video:


Coba kita bayangkan saat kita berkendara menggunakan sepeda motor. Demi mengurangi risiko kecelakaan, maka kita wajib menggunakan helm. Bahkan diperkuat dengan aturan yang akan memberikan sanksi kepada mereka yang melanggar.

Lantas ketika telah terjadi kecelakaan dan ternyata kita terluka parah, maka seandainya kita memiliki polis asuransi kecelakaan, penanganan pasca kecelakaan pun dapat ditanggung oleh perusahaan asuransi.

Namun, asuransi bersifat pilihan, ia tak boleh diwajibkan apalagi mendapatkan sanksi ketika kita tak menggunakannya. Mencegah lebih baik dari pada mengobati.

Analogi tersebut jika kita bandingkan dengan penanganan pandemi saat ini, yang terjadi justru terbalik. Mengobati lebih diutamakan ketimbang mencegah. Vaksinasi lebih digencarkan ketimbang protokol kesehatan (prokes). Bahkan vaksinasi yang dikejar pemerintah demi tercapainya vaksinasi 70 persen warga Indonesia bisa dibilang pedang bermata dua.

Bagaimana bisa begitu? Simak penjelasan berikut.

Pada 9 Februari 2021 lalu, Presiden Jokowi mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 14 Tahun 2021 yang di dalamnya terdapat aturan denda serta sanksi bagi mereka yang menolak vaksin Covid-19. Penerima vaksin yang menolak divaksinasi akan mendapatkan sanksi administrasi berupa penundaan atau penghentian pemberian jaminan sosial atau bantuan sosial, penundaan atau penghentian layanan administrasi pemerintah, dan denda.

Meski denda menolak vaksin tak disebutkan secara jelas dalam Perpres tersebut, pemerintah daerah setempat telah mengeluarkan ketetapan. Seperti yang tercantum pada Pasal 20 Peraturan Daerah (Perda) Provinsi DKI Jakarta Nomor 2 Tahun 2020 yang memberikan denda penolak vaksinasi Covid-19 sebesar 5 juta rupiah.

Tak hanya itu, menolak divaksinasi dapat menyebabkan seseorang dipenjara karena dianggap menyebabkan kedaruratan kesehatan masyarakat. Orang yang menolak vaksin dikenakan hukuman penjara dan denda ratusan juta, sesuai Undang-undang (UU) Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Dengan catatan, semua sanksi tersebut dikecualikan bagi sasaran penerima vaksin yang tidak memenuhi kriteria sesuai indikasi program vaksinasi Covid-19 yang telah ditentukan.

Sumber : Suara[Denda Menolak Vaksin, dari Tidak Dapat Bansos sampai Denda Jutaan Rupiah]

Dari berbagai aturan tentang sanksi bagi penolak vaksin Covid-19, telah jelas bahwa vaksinasi menjadi prioritas andalan pemerintah dalam menangani pandemi. Sebab, sampai ada aturan pidana bagi yang tak mengikutinya. Vaksinasi menjadi suatu kewajiban.

Tapi, bukankah vaksin pada dasarnya untuk mencegah timbulnya suatu penyakit? Bukankah itu alasan kita semua sedari kecil diberikan berbagai macam vaksin dalam rangka imunisasi? Seperti vaksin polio, Hepatitis B, BCG, dan lain-lain. Bukankah itu tandanya vaksinasi adalah kewajiban dalam rangka pencegahan?

Ternyata tidak.

Vaksin Covid-19, justru memiliki fungsi yang berbeda ketimbang vaksin secara umum. Ia tidak mencegah seseorang terpapar Covid-19. Itulah mengapa berkali-kali pemerintah menyatakan bahwa vaksinasi yang selama ini digembar-gemborkan tidak bisa mencegah seseorang tertular Covid-19.

Salah satunya dapat kita tengok dari pernyataan Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin pada 17 Maret 2021 lalu.

"Apakah masih bisa tertular? Masih bapak ibu. Cuma karena kita antibodi imunitasnya sudah baik, kalau virusnya masuk, dibunuhnya cepat. Tapi masih bisa kena? Masih. Sekali lagi, kita nggak tiba-tiba jadi Superman yang semua virus nggak bisa masuk ke kita, termasuk Covid-19. Tapi dengan adanya imunitas hasil vaksinasi ini, mudah-mudahan kalau kita terkena, virusnya lebih cepat hilangnya, lebih cepat matinya, kita tidak perlu masuk ke rumah sakit, kalau pun masuk rumah sakit tidak usah dirawat sampai parah," kata Menkes Budi.

Menkes menambahkan, kekebalan maksimum akan tercipta setelah hari ke-28 usai divaksin. Meski imunitas meningkat, seseorang yang sudah divaksin masih berisiko membawa virus dan menularkan ke orang lain.

Sumber : KBR [Pandemi, Menkes Ingatkan Vaksin Tak Bisa Cegah Penularan Covid-19]

Artinya, setelah divaksin secara lengkap pun, seseorang masih dapat tertular Covid-19. Tak perlu jauh-jauh. Juru Bicara (Jubir) Satgas Covid-19, Wiku Adisasmito yang telah mendapatkan suntikan vaksinasi dua kali, tetap saja dinyatakan positif Covid-19 pada 23 Juni 2021 lalu.

Sumber : Sindonews [Wiku Adisasmito Sebut Sudah Dua Kali Vaksin dan Dinyatakan Positif Corona]

Kasus terpapar Covid-19 meski sudah mendapatkan vaksin lengkap tak hanya terjadi pada Jubir Covid-19. Banyak contoh lain seperti nakes, aparat TNI-Polri, selebritis, hingga pejabat-pejabat pemda.

Usut punya usut kemungkinan kembali seseorang terkena Covid-19 adalah imbas dari kualitas vaksin yang kurang baik. Kita telah ketahui bersama bahwa vaksin yang banyak digunakan masyarakat Indonesia saat ini adalah vaksin dari China, yakni Sinovac.

JPMorgan Chase & Co di Amerika Serikat merilis sebuah laporan yang menyebutkan bahwa negara-negara yang menggunakan vaksin buatan China justru mengalami peningkatan kasus Covid-19. Laporan tersebut menunjukkan bahwa setelah Seychelles, Uruguay, Maladewa, Bahrain, Argentina, Chili, Uni Emirat Arab, dan Namibia divaksinasi dengan vaksin buatan China, mereka malah mengalami peningkatan kasus Covid-19.

Sumber : Sindonews [Kasus COVID-19 di Negara Pengguna Vaksin Buatan China Naik Drastis]

Hal tersebut menunjukkan bahwa ada yang tak beres dengan vaksin buatan China. Ternyata pada 5 Februari 2021 lalu, Sinovac Biotech China mengatakan, data uji coba tahap akhir vaksin Covid-19-nya dari Brazil dan Turki menunjukkan bahwa produk mereka memiliki tingkat kemanjuran yang jauh lebih rendah dalam memblokir infeksi vaksin.

Namun pihak Sinovac membela diri dengan menyatakan bahwa vaksin mereka efektif mencegah rawat inap di rumah sakit dan mencegah kematian pada pasien Covid-19.

Sumber : Liputan 6 [Sinovac Sebut Vaksin Covid-19-nya Punya Kemanjuran Rendah Blokir Infeksi, tapi...]

Pertanyaannya, hal tersebut menunjukkan apa? Apakah vaksin Sinovac dapat mengurangi risiko gejala parah atau bahkan kematian?

Tidak sesederhana itu.

Coba kita tengok, mengapa meski sudah miliaran dosis vaksin yang disuntikkan di seluruh dunia, namun pandemi Covid-19 seolah-olah makin ‘menggila’.

Pada 21 Juni 2021 lalu, Guru Besar Biologi Molekuler dari Universitas Airlangga (Unair) Chairul Anwar Nidom mengatakan kasus Covid-19 ‘menggila’ karena provokasi yang dilakukan terhadap SARS-CoV-2, virus corona penyebab penyakit itu. Provokasi yang dimaksud adalah upaya membunuh virus, misalnya dengan vaksinasi atau pemberian disinfeksi.

Nidom menerangkan bahwa saat ini Covid-19 seperti seolah-olah ditantang, sehingga mengalami mutasi yang tidak terkendali. Selain itu, ketua Tim Laboratorium Professor Nidom Foundation (PNF) itu menilai virus ini masih baru dan belum stabil, sehingga belum ada satu pun cara yang diketahui bisa betul-betul mengatasinya.

“Semakin panik menghadapi situasi saat ini, akan semakin marak virus ini,” tutur profesor dari Fakultas Kedokteran Hewan Unair ini mengingatkan.

Nidom pun menyarankan beberapa langkah di antaranya menghentikan sementara vaksinasi dengan alasan virus merasa terancam yang membuatnya bermutasi tak terkendali. Tujuannya, untuk evaluasi total yang melibatkan semua bidang keilmuan dengan harapan melahirkan strategi baru program vaksinasi yang lebih efektif.

Apalagi terminologi vaksin saat ini yang dianggap sebagai senjata pamungkas sudah melekat pada masyarakat. Akibatnya penerapan protokol kesehatan menjadi longgar dan abai. Hal ini diperparah pula dengan ucapan pejabat yang memiliki konotasi vaksinasi untuk menuntaskan pandemi.

Juru Bicara Vaksinasi dan Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi lantas menanggapi pendapat Nidom dengan menyatakan tidak mungkin menghentikan vaksinasi meski hanya sementara. Ia beralasan bahwa dalam kondisi pandemi, vaksinasi adalah salah satu upaya untuk menurunkan angka kematian dan kesakitan.

Pernyataan Nadia didukung dengan studi-studi di kawasan Inggris Raya yang menyebut vaksin Covid-19 yang ada saat ini memang tak mampu sepenuhnya melindungi re-infeksi, tapi peluangnya berhasil ditekan dan efektif melindungi dari gejala infeksi yang berat. Terutama untuk pemberian dosis yang lengkap.

Sumber : Tempo [Pakar Sebut Mutasi Virus Covid-19 Menggila Karena Diprovokasi, Apa Maksudnya?]

Namun di situlah letak sumber utama persoalannya. Virus Covid-19 akan terus ‘terpaksa’ bermutasi seiring dengan upaya untuk membasminya. Itulah mengapa beberapa negara termasuk Inggris tengah melakukan uji coba penyuntikkan dosis ketiga vaksin corona, untuk memperkuat kekebalan tubuh dari infeksi varian Covid-19 baru yang bermunculan. Sebab kekebalan antibodi dari dua dosis vaksin terhadap virus kemungkinan berkurang.

Sumber : Detik [Waw! Warga Inggris Siap-siap Disuntik Dosis Ketiga Vaksin Corona]

Buktinya dari cepatnya mutasi itu dapat terlihat pada bulan April 2021 lalu, di mana India menjadi negara yang tercepat dalam vaksinasi. India telah menyalurkan 100 juta dosis vaksin hanya dalam waktu 85 hari yang dimulai sejak tanggal 16 Januari 2021.

Sumber : Detik [Tercepat di Dunia, India Salurkan 100 Juta Dosis Vaksin Corona dalam 85 Hari]

Akan tetapi, pada bulan Februari 2021 ditemukan Varian Delta atau B1617.2 yang menjadi penyebab gelombang dahsyat Covid-19 India sekitar dua bulan kemudian. Penyebarannya yang amat cepat menyebabkan lonjakan kasus positif dan kematian besar-besaran. Kita bahkan sempat melihat kengerian akibat varian delta ini dari pemberitaan media.

Sumber : Detik [Dinilai 'Kecolongan' Soal Varian Delta, Ini yang Bisa Dipelajari dari India]

Bukankah penyebab kemunculan varian delta bisa saja disebabkan dari upaya vaksinasi massif yang dilakukan India? Bukankah dengan adanya upaya ‘mematikan’ virus tersebut menggunakan vaksin, maka virus itu terprovokasi untuk menjadi lebih resisten? Ibarat pembasmian hama menggunakan bahan kimia secara massif, hanya akan menghasilkan hama yang kebal terhadap bahan kimia itu sendiri.

Hal ini yang sangat dikhawatirkan jika pemerintah terus mewajibkan vaksinasi bagi masyarakat.

Mari kita bayangkan, orang yang sudah divaksin saat ini di Indonesia, jika tertular maka gejalanya akan lebih ringan. Orang yang positif dengan gejala ringan atau tidak bergejala disebut dengan Orang Tanpa Gejala (OTG). OTG yang telah kembali terinfeksi Covid-19 dapat menularkannya secara tak sadar ke orang-orang sekitarnya. Sebab secara logika, mereka yang merasa sedang sehat tidak akan tes Covid.

Akselerasi vaksinasi dengan produk vaksin yang belum mendapat mencegah penularan Covid-19 seperti sekarang, justru berpotensi meningkatkan jumlah OTG. Sementara vaksinasi dengan vaksin yang belum sempurna kemungkinan dapat mendorong virus bereplikasi menjadi lebih ganas karena ia mampu beradaptasi.

Saat ini ada beberapa varian mutasi dari virus Covid-19 yang masuk ke dalam Variant of Interest (VOI) yakni varian Epsilon (dua varian), Zeta, Eta, Theta, Iota, Kappa, dan Lambda. Lalu ada juga yang beberapa barian yang dikhawatirkan atau Variant of Convern (VOC) yakni varian Alpha, Beta, Gamma, dan Delta. Bahkan varian Delta mulai bermutasi membentuk varian Delta plus.

Vaksinasi dengan vaksin yang belum sempurna akan memicu mutasi ganas varian baru virus SARS-CoV-2. Maka bukan tak mungkin, jika di Indonesia muncul VOC yang ganas akibat pemaksaan vaksinasi. Bisa saja di Indonesia muncul varian Sigma ataupun Omega yang jauh lebih parah dari varian Delta.

Oleh karena itu, sungguh sangat tidak tepat ketika pemerintah menggenjot vaksinasi dengan produk vaksin yang belum sempurna. Seharusnya yang diutamakan pemerintah adalah mencegah menggunakan protokol kesehatan yang ketat. Vaksin adalah pilihan terakhir.

Tapi mengapa menolak vaksin mendapatkan sanksi? Lain hal jika vaksin yang Indonesia gunakan sudah mampu mencegah penularan.

Ingat, Prokes itu ibarat helm, vaksin yang mampu mencegah penularan itu asuransi kecelakaan.

Prokes wajib. Vaksin yang tak dapat mencegah penularan itu pilihan.
Diubah oleh NegaraTerbaru 29-06-2021 06:11
dionovirwan
yukoaldino
anton2019827
anton2019827 dan 2 lainnya memberi reputasi
3
1K
5
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan