enyahernawatiAvatar border
TS
enyahernawati
Jalan-jalan ke Pakistan, Yuk .... (2)
Aliran gletser yang mengalir ke jalan raya

Journey to Northern Areas of Pakistan

Assalamualaikum semuanya ....
Ketemu lagi, ya, di thread Enya, jalan-jalan di Pakistan. Sebagaimana thread sebelumnya, maka thread ini adalah kelanjutan dari pengembaraan Enya sekeluarga menuju daerah utara Pakistan. Aih, keren banget, ya, pakai istilah pengembaraan segala. Jadi mirip Upin-Upin, deh. Pengembaraan Bermula, hehe. Eh, tapi ini udah episode dua, ya? šŸ˜šŸ˜šŸ˜

Pemberhentian Kedua; Basal, Kota Chillas, dan Gilgit Baltistan

Yuk, ah ... diintip lagi!

ā¤ļøā¤ļøā¤ļø

Setelah menikmati indah dan dinginnya Babusar Top, kami pun segera melanjutkan perjalanan menuju Kota Chillas. Dari Naran ke Kota Chillas ini tidak ada angkutan umum sehingga kami harus menyewa mobil.

Jip yang banyak terparkir lebih sering disewa ke lokasi yang tidak bisa dilalui mobil biasa dan masih sekitaran Naran, salah satunya ke Danau Saiful Maluk. Jalur ke danau ini memang terbilang berat dan sulit. Pendakian curam dengan jalan yang sempit dan berbatu. Tidak hanya berupa kerikil, tetapi bahkan juga batu-batu besar, ditambah jurang yang sangat dalam. Di beberapa tempat malah terlihat seperti ada selokan kecil di tengah jalan yang mirip jalur aliran air yang turun dari gunung sehingga membuat jalan tersebut semakin menyeramkan untuk didaki. Wow!

ā¤ļøā¤ļøā¤ļø

Awal-awal perjalanan ke Chillas ini, beberapa kali kami berhenti untuk mengambil gambar. Tiga puluh menit berkendara, kami melihat satu spot cantik, sebuah restoran terbuka, unik, di pinggir sungai. Kami pun menyempatkan diri mampir sebentar di lokasi yang berada di Lembah Basal tersebut.

Kami duduk bersantai sejenak, bermain air ditemani suara gemercik aliran sungai yang dinginnya seperti air es, sambil memandang hamparan lembah dari Gugusan Pegunungan Himalaya yang luar biasa memanjakan mata.
Lembah Basal

Lembah Basal

Selain itu, kami juga berhenti dan melihat-lihat peternakan lebah yang banyak terlihat di sepanjang jalan menuju Kota Chillas ini.
Peternakan lebah

Jika kita perhatikan lebih seksama, gunung dan lembah yang kami lewati tersebut, sedikit banyak mirip dengan pemandangan alam yang ada dalam film India-Pakistan, Bajrangi Bhaijaan. Tentu saja, karena daerah itu sama-sama berada di jalur Pegunungan Himalaya yang sungguh sangat memesona. Rasanya saat itu, hati ini ingin tinggal sebentar, sehariii saja untuk menikmati semua karunia kecantikan bentala ini. Namun sayang, kami harus segera ke Gilgit, mengejar tujuan utama kami jalan-jalan ke perbatasan China.
Restoran pinggir sungai di Lembah Basal

Atas anjuran Bapak Driver, kami tidak jadi transit dan menginap di Chillas. Alasannya ... di Chillas tidak banyak spot wisata yang bisa kami lihat. Satu hal lagi, Chillas termasuk daerah Gilgit yang panas saat summer. Jadi, tidak akan nyaman buat kami. Itu menurut beliau.

Oh ya, selain itu, Bapak Driver rupanya juga bersedia mengantar kami langsung ke Gilgit karena waktu masih menunjukkan pukul 17.00 dan jarak dari Chillas ke Gilgit bisa ditempuh dalam waktu sekitar empat jam sehingga jika kami langsung meneruskan perjalanan, maka tidak akan terlalu larut sampai di kota itu.

Perjanjian awal, memang, kami hanya minta diantar sampai ke Chillas saja. Akan tetapi, setelah menimbang-nimbang, akhirnya kami pun setuju dengan saran Pak Supir karena benar, setiba di kota Chillas, cuacanya memang luar biasa membara. Mungkin karena efek pancaran balik sinar matahari dari gunung batu, disertai daerah yang tandus, selain juga sedang puncak-puncaknya musim panas. Mungkin, lho, ya ....

ā¤ļøā¤ļøā¤ļø

Saat sampai di awal jalur Karakoram High Way (KKH) Chillas ke Gilgit, kami berhenti sebentar untuk mengisi bensin dan mengecek kondisi mobil. Di sinilah kami kenal dengan pemilik pom bensin ini, seorang Pakistani yang bisa berbahasa melayu. Ternyata dulu beliau pernah tinggal dan bekerja lama di Malaysia. Tentu saja kami dikenalkan oleh Bapak Driver yang sudah berteman lama dengan beliau.

Tak menyangka, Bapak Pemilik Pom Bensin ini--Abang Malak--terlihat sangat senang bertemu kami. Seperti mengenang kembali romantika dan nostalgia beliau saat dulu tinggal di Malaysia, katanya. šŸ˜Š

Saking bahagianya, kami pun di traktir makan siang menjelang sore di rumah makan dekat pom bensin tersebut. Beliau menjamu kami dengan sangat luar biasa, memesan hidangan terbaik yang ada di restoran itu, juga mengenalkan kami ke sang pemilik restoran.

Memang, beginilah sifat Pakistani. Sangat memuliakan tamu. Masyaallah ....
Ditraktir Abang Malak, pemilik pom bensin
Gunung batu depan restoran di Chillas
Gunung batu di belakang restoran di Chillas

***

Sebenarnya, banyak sekali spot cantik yang ingin saya foto dalam perjalanan menuju Gilgit Baltistan ini. Namun, setelah memasuki jalur Karakoram, pemandangan pun mulai berubah.

Di sini, kami hanya melihat tanah yang kering, berdebu, dengan gunung coklat tandus berbatu nan curam. Semua berwarna coklat, tanpa pepohonan. Berbeda sekali dengan daerah sebelumnya.
Mulai nuansa coklat

Daerah Naran yang kami lewati hingga ke Basal sebelum Chillas, malah justru hijau, dingin, bersalju, dan menyejukkan mata, juga sangat subur. Di sisi gunung, kami sering sekali melihat domba-domba yang berkeliaran. Sungguh membuat takjub. Sampai-sampai saya berpikir, kenapa domba itu tidak pusing atau jatuh, ya, karena miringnya pegunungan tersebut? šŸ˜šŸ˜šŸ˜

Oh ya, di jalur KKH ini, mobil kecil yang kami tumpangi bukannya melambat, malah melaju semakin cepat di kondisi jalan yang kian menyempit, berbatu, dengan jurang yang curam di salah satu sisinya, dan gunung batu di sisi yang lain.
Serba batu

Seperti yang kita tahu, di Pakistan ini, hampir semua pengemudi kalau berkendara betul-betul sangat ngebut dan sering membikin kita syok.

Demikian juga dengan Bapak Driver kami ini. Sudah seperti pembalap formula satu. Sungguh sangat lihai. Di jalur sempit dan berkelok tajam saja, rata-rata kecepatan masih diatas 80 km/jam. Kami serasa melayang dengan mobil kecil tersebut. Tentu, hanya berdoa saja yang bisa kami lakukan.

Oh ya, biasanya mereka sering tersenyum bahkan tertawa lho, jika kita meminta mereka untuk melambatkan laju kendaraan meskipun mereka tetap memenuhinya. Mungkin karena mereka tidak terbiasa kali, ya, sebab rata-rata Pakistani ini memang sangat menikmati euforia tersebut. Beda dengan kami. Walaupun sudah berusaha mencoba, tetapi tetap saja belum bisa menikmatinya seperti mereka. šŸ˜€

Jadi, kami pun tidak banyak cerewet meminta ini itu. Sangat sulit jika ingin berhenti karena khawatir akan sangat berbahaya jika beliau harus stop mendadak dalam kecepatan tinggi di jalur, yang mana sebelah kirinya adalah jurang dan di sebelah kanannya adalah gunung batu. Wuih, seram, 'kan?
Jalur Karakoram

Memang, di jalur yang sempit dan berdebu ini, jelas, tidak akan memungkinkan untuk kita berhenti sembarangan. Akhirnya, saya terpaksa lebih sering memotret dan memvideokan semua eksotika pemandangan indah di jalur KKH ini hanya dari dalam mobil saja.

ā¤ļøā¤ļøā¤ļø

Terus terang saya tidak menyangka, di jalur berbahaya seperti ini, kecepatan dan ketangkasan Bapak Driver dalam mengendarai mobil kecil ini tetap luar biasa.

Bapak Driver kami ini memang hebat. Tanpa diminta, beliau akan berhenti sendiri di tempat-tempat yang lazim bagi turis untuk berfoto. Bahkan, beliau juga memberitahu dan meminta kami untuk turun agar juga berfoto di titik yang biasa disebut 3M, persimpangan tiga jajaran gunung terbesar di dunia--rentang Himalaya, rentang Karakoram, dan rentang Hindu Kush. Tidak seperti seorang supir, tetapi beliau malah lebih mirip guide benaran. šŸ‘

Tempat pertemuan tiga jajaran gunung terbesar

Tempat pertemuan tiga jajaran gunung terbesar

Tempat pertemuan tiga jajaran gunung terbesar


Namun, sayangnya tipe saya bukan yang seperti itu. Saya cenderung memilih tempat berhenti untuk mengambil gambar, sesuai dengan kata hati saya saja. Indah dalam pandangan mata saya. Sehingga, meskipun berada di tempat yang sama, hasil fotonya seringkali tampak berbeda. Apalagi jika berada dan difoto di tempat yang berbeda. Sudah pasti tidak akan sama, hehehe.

ā¤ļøā¤ļøā¤ļø

Kembali saya memaklumi saja kondisi ini karena kami semua ingin segera sampai di tujuan. Dari pukul 11.00, kami masih berkendara hingga jam delapan malam. Tentu sangat melelahkan. Apalagi berkendara di jalur sulit seperti itu. Kami saja yang duduk sebagai penumpang merasakan letih yang teramat sangat, bercampur dengan kecemasan tingkat tinggi karena mobil yang super duper ngebut. Apalagi Bapak Driver-nya, hahaha ....

Malam hari jam 10, akhirnya kami sampai di Gilgit. Kami dicarikan dan diantar ke hotel yang lumayan bagus, hotel kenalan Pak Supir.

Atas lobi-lobi beliau, kami dapat harga teman, dari 4000 rupes menjadi setengah harga, 2000 rupes saja alias sekitar 200 ribu rupiah. Alhamdulillah ....
Hotel di Gilgit

ā¤ļøā¤ļøā¤ļø

Hotel yang kami tempati sangat nyaman. Kamarnya lumayan besar dengan fasilitas TV, kulkas, kipas angin, pemanas, coffee maker lengkap dengan teh dan kopinya, juga kamar mandi yang sangat luas. Tak boleh ketinggalan, free wifi. Oh ya, kebanyakan kalau di Pakistan ini, rumah atau kamar yang dikhususkan untuk tamu memiliki dua WC dalam satu kamar mandi. Satu WC duduk, satunya lagi WC jongkok. Menurut kami, sih, itu demi kenyamanan tamunya.

Namun begitu, fasilitas itu tak terpakai juga karena perjalanan yang lumayan melelahkan ini memaksa kami harus segera beristirahat agar besoknya bisa menikmati hari di kota Gilgit ini.

Jadi wajar saja ya, kalau para backpacker sering mencari hotel yang simpel hanya untuk menaruh bawaan atau sekadar beristirahat barang sebentar guna memulihkan tenaga.

Tak perlu hotel mewah dengan fasilitas segudang karena tak akan sempat digunakan jika kegiatan kita lebih banyak out door, berburu dan mengeksplor kota. Yang paling penting bagi traveller, sih, biasanya kamar dan kamar mandi yang nyaman juga bersih, sih, sih, sih, hehe.

ā¤ļøā¤ļøā¤ļø

Pagi yang cerah, cenderung hangat. Meski gunung-gunung yang terlihat sebagiannya tetap berselimut salju, tetapi cuaca saat summer di Gilgit masih terasa panas. Bahkan kalau siang hari, sinar matahari sangat menyengat seolah-olah masuk, hingga menembus ke dalam kulit. Butuh baju lengan panjang jika kita jalan-jalan di tempat terbuka.
Gilgit Bsltistan

Sebenarnya, kami lumayan banyak menukar uang rupes. Jika hanya digunakan untuk angkutan publik saja, sepertinya uang itu cukup. Namun ternyata, proyeksi liburan ini kadang berubah-ubah, bahkan juga memanjang.

Banyak tempat tujuan yang tidak memiliki transportasi umum. Hal itu tentu saja membuat kami harus menyewa mobil atau taksi dengan harga yang lumayan tinggi. Yah, kembali lagi ke hukum ekonomi, hukum demand dan supply.

Selain itu, rasa penasaran mencoba semua kuliner baru, mencari tempat-tempat yang unik, membuat rupes juga semakin cepat menipis. Namanya travelling, tentu saja itu jalan-jalan dan makan-makan, hehehe.

Mana kami semua ... sedikitpun tidak bisa melihat makanan yang enak-enak menganggur, hahaha ....

ā¤ļøā¤ļøā¤ļø

Sesampai di Kota Gilgit ini, kami berencana akan menukar dolar untuk berjaga-jaga agar jangan sampai kehabisan rupes saat ber-travelling. Ternyata, nilai tukar di kota kecil ini sangat rendah. Namun, karena butuh, ya, terpaksa kami tukarkan juga. Kan, enggak lucu, saat sedang jalan-jalan, naik angkot, atau lagi makan di warung, eh, kaminya enggak bisa bayar karena kehabisan rupes, hehehe. Bisa malu, euy. šŸ˜€šŸ˜€šŸ˜€

Seperti biasa, kami selalu sengaja berjalan kaki ke mana pun, termasuk mencari money changer ini. Menurut Mbah Google, money changer-nya ada di post office, tidak terlalu jauh dari hotel tempat kami menginap.

Sesampai di sana, ternyata zonk. Informasinya enggak bener. Mungkin itu info yang sudah usang, informasi lama. Petugas kantor pos malah memberi tahu kami kalau tidak pernah ada money changer di kantor pos itu sejak dulu. "Money changer adanya di bazar atau di pasar induk Gilgit. Itu pun juga hanya ada satu!" Begitu deh, kata petugas kantor pos.

Baiklah kalau begitu ....
Kota Gilgit

ā¤ļøā¤ļøā¤ļø

Berdasarkan informasi tersebut, kami pun berencana akan berjalan kaki saja ke sana. Namun, petugas kantor pos menganjurkan untuk naik angkot.

Dasar kami, tetap saja mencoba berjalan kaki terlebih dahulu.

Meskipun Kota Gilgit ini berada di lembah pegunungan Himalaya, diapit dan dikelilingi oleh pegunungan yang sebagian masih bersalju, tetapi saat summer, ternyata sama saja. Udara juga sangat panas hingga membakar kulit. Qassam pun mulai rewel merasa kegerahan. Akhirnya, kami pun memutuskan untuk naik transportasi publik.

Subhanallah, ternyata naik angkot adalah pilihan yang tepat. Bagaimana tidak? Bazarnya lumayan jauh. Lebih dari 30 menit di angkot, barulah kami tiba di bazar, hehehe.

ā¤ļøā¤ļøā¤ļø

Matematika Allah, memang tidak sama dengan matematika manusia. Kekurangan nilai tukar rupes kami, langsung terbayar saat itu juga, ketika kami makan pagi menjelang siang di bazar tersebut.

Kami menemukan warung kecil yang menjual mantou, alias dumpling. Nama lainnya dimsum. Atau kalau di kita, biasa disebut siomay. Rasanya miriiip banget dengan taste yang biasa kami makan di Indonesia. Duh ... sedikit terbayar, lho, rasa kangen menikmati makanan dengan cita rasa tanah air.
Mantou rasa Indonesia

Saat makan mantou tersebut, kami bertemu mahasiswa Pakistani dari Rawalpindi yang juga sedang berlibur di Gilgit. Tak menyangka, mereka malah mentraktir kami. Abang penjual mantou pun tak mau kalah, ikut pula mentraktir kami 'big kebab' yang dijual di warung sebelah. Masyaalah ....
Bhaijan mantou membelikan kebab

Yang kami tidak habis pikir, total belanja yang dibayarkan oleh Pakistani tersebut, sama jumlahnya dengan kekurangan nilai tukar uang rupes kami tadi. Subhanallah ....

Rezeki memang tak pernah tertukar. Jika memang kita harus menerima sejumlah tertentu, maka insyaallah, kita pasti akan mendapatkannya, sesuai dengan jumlah tertentu yang sama tersebut meski dengan cara yang berbeda. Subhanallah ....

Oh ya, karena 'pascok' nya rasa mantou tersebut, membuat kami memesan hingga tiga dirgen alias tiga dozen. Ditambah dengan jus mangga murni yang merupakan buah musim panas kalau di Pakistan. Bisa sekilo hanya dua ribu rupiah. Wow!

Eh ya, ini lapar apa doyan? Yang jelas, tentu dua-duanya. šŸ˜‚šŸ˜‚šŸ˜‚
Jus mangga murni yang lezat

Pulang ke hotel, kami otomatis memilih naik angkot lagi. Ya, jelaslah, soalnya jauh, sih.

Oh ya, hampir lupa. Angkot di sini lumayan jadul, lho, ya. Sebenarnya, hampir semua angkot di Pakistan mirip jadulnya. Mobil Suzuki Carry los bak atau pick up yang dimodifikasi sedemikian rupa. Atas dan sisi-sisinya ditutup dengan terpal, tanpa pintu. So pasti, karena diatapi plastik, di dalamnya juga menjadi poool puanasse .... šŸ˜œ
Angkot berpenutup terpal tanpa pintu

Pukul 14.00 kami check out dari hotel, rencana perjalanan kami selanjutnya menuju Hunza.

Hunza, we are coming ....

ā¤ļøā¤ļøā¤ļø

Tunggu kelanjutan kisah jalan-jalan kami di thread berikutnya, ya, ke Khunjerab Pass, Perbatasan Pakistan-China ....

Keterangan: Pic. pribadi
Diubah oleh enyahernawati 18-11-2020 23:09
Cahayahalimah
limpahkurnia280
limpahkurnia212
limpahkurnia212 dan 12 lainnya memberi reputasi
13
7.9K
62
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan