Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

dwindrawatiAvatar border
TS
dwindrawati
BAHAGIA SETELAH PERCERAIAN
Part 1


"Mei, ini baju Mas kok masih kusut, sih? Nggak kamu setrika?" Mas Arya muncul dari dalam kamar. Di tangannya, tersampir sehelai kemeja putih bergaris horizontal yang memang dalam keadaan masih kusut.

"Oh iya, Mas. Maaf. Mei belum sempat nyetrika, Valetta rewel sekali kemarin. Nggak mau lepas, maunya digendong terus," jawabku memberi alasan yang sebenarnya.

Mas Arya mendengkus. Tergambar kekesalan pada wajah bersih yang tampaknya habis bercukur itu.

"Kan bisa kamu titipin ke ibu?" ujarnya. Tampak masih tak puas dengan alasan yang kukemukakan barusan.

"Ibu darah tingginya lagi kambuh, Mas. Memang kuminta beliau beristirahat, jadi aku seharian full ngurusin Letta." Kutatap wajah mas Arya, berharap ia juga melihat gurat lelah di wajah ini, lalu memberi pengertian sedikit saja pada kelalaianku kali ini.

"Baju yang lain kan banyak, Mas. Yang udah kusetrika. Ada kan, di lemari?" ucapku lagi.

"Tapi Mas maunya pakai yang ini, Mei. Hari ini Mas ada meeting sama calon client perusahaan, dan baju ini yang Mas anggap paling sesuai untuk dipakai. Citra dari seorang wakil perusahaan kan juga berpengaruh dalam meyakinkan calon client." Mas Arya berkata. Nada suaranya terdengar kesal.

Aku menghela napas berat. Tak mengerti dengan jalan pikiran Mas Arya yang bisa dibilang ribet.

"Ya sudah sini, biar Mei setrika bajunya yang mau Mas pakai itu." Aku berdiri, menjulurkan tangan untuk meraih kemeja ditangannya. Namun tanpa kuduga, ia justru menepis tanganku dengan kasar.

"Udah nggak usah! Biar kusetrika sendiri!" tukasnya tajam. Ia lalu berbalik kembali ke kamar. Samar kudengar ia berkata, 'percuma saja diurus dan dikasih nafkah kalau hal begini saja masih aku yang harus mengerjakan!'

Astaghfirullah ....

***

"Mas, uang bulanan yang Mas transfer kok cuma 2 juta?" Aku bertanya pada mas Arya yang sedang asik bermain dengan Valetta, bayi kami yang berusia delapan bulan, ketika selesai mengecek mutasi rekening pada aplikasi mobile banking-ku.

"Memangnya kenapa? Kurang?" sahut mas Arya dengan wajah dingin.

"Biasanya kan lebih, Mas. Aku tahu loh, gaji kamu berapa, Mas. Dan dua juta ini nggak ada seperlima gaji kamu, Mas." Aku menyuarakan protes.

"Kamu ini, dikasih segitu nggak ada bersyukurnya jadi istri. Kemarin aku kasih uang banyak juga percuma."

"Loh, percuma kenapa, Mas?" tanyaku bingung.

"Ya percuma, lah. Baju kerja juga aku yang nyetrika sendiri."

"Ya Allah Mas ... cuma karena masalah itu? Kan aku sudah kasih alasannya ...." Aku merasa lemas hingga kedua bahuku terkulai mendengar jawaban mas Arya.

"Kamu aja yang gak pinter bagi waktu, Mei. Pas si adek tidur kan, kamu bisa ngerjainnya. Jadi anak rewel menurutku nggak bisa kamu jadikan alasan."

Mas Arya bangkit dan berjalan keluar. Tak lama, terdengar deru mesin mobil dinyalakan, lalu menderum pelan dan suaranya makin menjauh pergi.

Tinggal lah aku berdua Valetta di sini. Aku kemudian duduk menggantikan mas Arya mengasuh Valetta. Tapi pikiranku kemana-mana. Memikirkan uang dua juta yang dijatah mas Arya. Bagaimana aku bisa menutup biaya pengeluaran dengan uang segini?

Bukannya aku tidak bersyukur dengan rejeki yang kuterima. Tapi sungguh, tanggunganku cukup berat karena harus membiayai kuliah adikku, juga membiayai pengobatan rutin ibu untuk terapi sebulan sekali. Sedang ayahku telah lama tiada. Ibu dan Lany adikku, hanya bergantung padaku saat ini.

Dulunya aku adalah wanita bekerja. Kebetulan, aku dulu sekantor dengan mas Arya. Ketika ia meminangku menjadi istri, ia memintaku untuk berhenti bekerja. Ia ingin, aku nantinya hanya fokus sebagai ibu rumah tangga saja.

Saat kukatakan mengenai kondisi keluargaku, mas Arya mengatakan bahwa ia siap mengambil alih tanggungjawabku untuk membiayai segala keperluan ibu dan juga Lany. Maka aku pun menyetujuinya untuk berhenti bekerja.

Padahal, saat itu aku sedang dipromosikan untuk menjadi manajer marketing oleh perusahaan. Tapi kupikir tak apalah, sudah selayaknya seorang istri harus patuh pada suami, bukan? Apalagi, mas Arya benar-benar membuktikan ucapannya.

Tapi kenapa sekarang mas Arya berubah? Lalu bagaimana kuliah Lany yang hanya tinggal dua semester lagi? Bagaimana aku membiayai pengobatan rutin yang harus ibu jalankan tiap sebulan sekali?

***

"Kenapa Mei, kok kamu ngelamun gitu?" Ibu menyapa saat aku duduk tepekur di atas ayunan yang terletak di samping kanan rumah, berhadapan dengan taman yang cukup luas dan kami tanami dengan aneka tanaman bunga hias.

"Nggak ada apa-apa, Bu," jawabku, lalu bergeser ke samping agar ibu bisa duduk.

"Kamu ribut, sama Arya?" tebak ibu. Hatiku serasa langsung mencelos mendengar tebakan ibu yang akurat itu. Aku pun terdiam, entah harus menjawab apa.

"Ibu kemarin nggak sengaja mendengar perdebatan kalian." Ibu berkata. Jeda sesaat sebelum ibu melanjutkan.

"Kasihan kamu, Mei. Sejak ayahmu meninggal, kamu yang harus jadi tulang punggung keluarga. Hanya rumah ini satu-satunya peninggalan almarhum ayahmu." Aku berpaling ke arah ibu yang pandangannya menatap lurus ke depan.

"Jangan bilang kasihan, Bu. Itu sudah jadi kewajiban Mei sebagai anak." Kugenggam erat tangan ibu yang mulai keriput.

"Ibu tak usah risau. Semua akan baik-baik saja, Mei akan cari cara." Kuyakinkan ibu sambil menatap matanya yang mulai kelabu.

****

"Mas, Mei mau kerja saja jika Mas nggak mau nambah uang bulanannya," ucapku pada mas Arya yang tengah bersiap-siap tidur.

"Kerja? Lalu Valetta?" Ia bertanya, urung merebahkan badan.

"Aku akan cari pengasuh untuk Valetta."

"Tega kamu ninggalin anak sama pengasuh sementara kamu di luar sibuk mengejar materi cuma untuk membiayai keluargamu? Mereka lebih penting dari aku dan Valetta? Ibu dan adikmu itu, sampai kapan mau jadi beban di punggungmu?"

Aku terpelongo mendengar ucapan mas Arya barusan. Teganya ia berkata begitu tentang keluargaku. Kutahankan sesak di dada ini. Jangan sampai ada air mata yang tumpah. Aku tak ingin terlihat lemah di depan mas Arya.

"Kamu yang tega, Mas. Sebelum kita menikah pun kamu sudah tahu mengenai kondisi keluargaku. Jika waktu itu kamu tak memintaku berhenti kerja, maka yang kamu anggap baban itu tidak akan berpindah ke kamu!" seruku penuh emosi.

"Jadi sekarang kamu nyesel menikah sama aku?" sinisnya sambil memicingkan mata kepadaku.

"Ini bukan soal menyesal atau tidak. Tapi di sini kamu yang mulai ingkar dari janjimu sendiri, Mas. Jika kamu tidak mau repot-repot membiayai ibu dan adikku yang kamu anggap 'beban', ya biarkan aku bekerja. Aku jadi tidak akan merepotkanmu lagi untuk masalah kebutuhan mereka." ungkapku.

"Ibuku perlu berobat, sedang Lany tinggal setahun lagi kuliahnya akan selesai. Aku tak mau kuliah Lany terhambat hanya karena tak ada biaya," lanjutku.

"Kan bisa cuti sebentar, lalu cari kerjaan dan nabung untuk membiayai kuliahnya sendiri. Kamu itu terlalu memanjakan adikmu. Kalau dia sukses nanti belum tentu dia mau membalas jasamu, Mei!"

"Lalu pengobatan ibuku? Kamu mau suruh ibu cuti berobat dan bekerja juga supaya bisa nabung untuk membiayai pengobatannya sendiri?" tukasku cepat.

Mas Arya bungkam setelah mendengar pertanyaanku yang menyindirnya itu.

"Pokoknya kamu nggak kuijinkan bekerja. Kamu di rumah aja ngurusin Valetta. Ibumu itu, diobatkan atau tidak diobatkan juga tetep saja ujung-ujungnya akan mati juga." Santai sekali lidah mas Arya mengucap kalimat sampah yang membuat darah mendidih dalam sekejab.

Tanpa sadar tanganku melayang ke wajah mas Arya. Sebuah tamparan cukup keras kudaratkan di pipi kanannya hingga meninggalkan bekas kemerahan. Lelaki itu terkejut, matanya membelalak lebar sambil menatapku.

"Kamu berani nampar aku, Mei? Dasar istri durhaka!" sentaknya dengan suara tinggi.

"Iya. Kamu memang pantas mendapatkannya, Mas," ucapku dengan ekspresi wajah dingin, sedingin es.

"Tak pantas kata-kata itu keluar dari mulut seorang menantu tentang mertuanya. Bagaimana jika posisi kita dibalik? Bagaimana perasaanmu jika aku yang bicara begitu tentang mamamu, Mas?"

Mas Arya segera turun dari ranjang. Ia bergerak menuju lemari pakaian lalu dengan cepat membereskan baju-bajunya ke dalam koper.

"Aku akan pergi dari rumah ini, dan baru akan kembali ketika kamu minta maaf dan bersujud di bawah kakiku, Mei. Kita lihat, bisa apa kamu kalau nggak ada aku!" ujarnya setelah selesai membereskan seluruh pakaiannya.

"Silahkan, Mas. Jangan mimpi aku mau melakukannya. Tanpamu pun aku tak takut karena ada Allah di sisiku. Lelaki sepertimu, sungguh tak sebanding jika harus kutukarkan dengan ibu dan adikku. Pergilah," jawabku sambil melipat kedua tangan di dada.

Mas Arya melempar tatapan bengis sebelum akhirnya keluar dari kamar kami, menyeret koper yang berisi pakaiannya.




Part 2

Aku terduduk di tepian ranjang sesaat setelah mas Arya menghilang dari balik pintu kamar. Kutundukkan wajah menatap lantai sambil kedua tangan bertumpu di atas lutut.

Berkali-kali ku hela nafas agar sesak di dada sedikit berkurang. Aku tidak sedang dalam keadaan sedih saat ini. Justru aku sangat marah pada mas Arya hingga air mata pun enggan keluar. Tak dapat kupercaya apa yang kudengar dari mulutnya tadi. Terutama yang dikatakannya tentang ibu.

Wanita yang telah melahirkan, mendidik, serta membesarkanku. Sungguh, jika kuberikan seisi dunia sekali pun, tak kan cukup untuk membayar semua jasa ibu yang rela bertaruh nyawa demi melahirkan aku ke dunia.

Teganya mas Arya. Hanya karena masalah sepele, ia melukai hati ini begitu dalamnya. Pengorbananku dengan selalu menuruti pintanya seakan sia-sia. Ia sendiri yang meyakinkan aku bahwa ia sanggup diandalkan. Ia pula yang menyodorkan bahu untuk tempat bersandar.

Tapi mengapa saat semua terasa aman dan nyaman ia justru berulah? Berbagai pikiran memenuhi ruang dalam benakku. Kata-katanya seakan terus menggema di telinga. Hingga malam makin beranjak larut, tanpa sadar aku pun tertidur. Melepaskan diri sejenak dari kemelut hati.

****

"Mana Arya, Mei? Kok nggak ikut sarapan?" Pertanyaan dari ibu yang sangat aku takutkan pagi ini pun akhirnya terlontar. Entah apa yang harus kujelaskan pada ibu yang begitu menyayangi mas Arya karena merasa berhutang budi pada lelaki itu.

Dia dianggap pahlawan oleh semua orang di rumah ini, termasuk aku, karena sudah membiayai pengobatan ibu selama ini, juga kuliah Lany.

"Mbak, ditanyain malah bengong?" Ucapan Lany menyentakku yang secara tak sadar jadi sibuk dengan pemikiran sendiri.

"Ada apa, Mei? Semua baik-baik saja, kan?" Ibu menyambung. Ada sorot khawatir di matanya yang sudah dikelilingi oleh kerutan itu.

"Iya, Bu. Semua baik-baik saja," kujawab cepat, namun semua orang pun tahu bahwa aku tak pandai berbohong. Gugup adalah salah satu ciriku jika sedang berbohong atau menyembunyikan sesuatu.

Kuambil Valetta dari pangkuan Lany untuk menyibukkan diri.

"Ibu dan Lany makanlah. Aku mau mengganti popok Valetta sebentar," ucapku sambil berjalan menggendong Valetta menuju kamar. Kupikir aku telah selamat dari interogasi ibu. Namun yang terjadi selanjutnya membuat upayaku untuk menjaga perasaan ibu malah jadi sia-sia.

Suara ketukan yang lebih menyerupai gedoran di pintu rumah mengagetkan kami semua. Langkahku terhenti, beralih menatap ibu dan Lany yang juga menatapku.

"Biar aku saja Mbak, yang buka," cegah Lany ketika dilihatnya aku hendak menuju ke arah pintu. Kuanggukkan kepala sambil berdiri diam, menerka-nerka siapa gerangan yang datang mengetuk pintu dengan cara kurang sopan itu.

"Mas Arya?" Terdengar suara Lany setelah pintu terbuka.

"Mana kakakmu?" Sebuah suara lain terdengar pula. Lalu tak lama, suara langkah-langkah kaki terdengar berjalan mendekat.

Betapa terperanjat aku ketika melihat mas Arya datang bersama mamanya yang adalah mertuaku juga.

"Hei, Meira!" Lantang suara perempuan yang kupanggil mama itu saat memanggil namaku. Ibu langsung berdiri ketika melihat besannya datang pada waktu dan situasi yang tak terduga.

"Ada apa ini, Bu? Kenapa teriak-teriak begitu? Mari kita duduk dulu," ucap ibu yang sebenarnya merasa terkejut.

"Alah ... nggak usah! Aku ke sini untuk memberi perhitungan dengan perempuan tak tahu diri ini!" tegas suara mama sambil menudingkan telunjuknya padaku.

"Hei, Meira! Kau pikir siapa kau berani-berani menampar Arya anakku, hah? Dasar istri bodoh, tak tahu malu! Sudah selama ini kau dan keluargamu dibiayai oleh Arya anakku, malah seprti itu balasanmu! Dasar istri durhaka!"

Ibu dan Lany saling pandang sebelum akhirnya tatapan mereka jatuh padaku yang sedari tadi hanya diam. Bagaimana aku tak diam, sedari tadi mama terus mencerocos memaki-maki diriku yang dianggapnya paling berdosa karena sudah menampar mas Arya.

"Benar kamu menampar suamimu, Mei?" Ibu bersuara mengemukakan tanya. Aku terpaksa mengangguk mengakuinya. Sepertinya masalah sudah tak bisa lagi ditutupi.

"Tapi kenapa, Mei?" Ibu seakan sulit percaya pada tuduhan mama, lebih-lebih pada pengakuanku barusan. Lany mendekatiku lalu mengambil Valetta dari gendongan. Adikku itu kemudian membawa Valetta masuk ke dalam agar aku bisa menyelesaikan masalah yang tengah menghampiriku.

****

"Jadi begitulah ceritanya, Bu, Ma," ucapku setelah mengungkap hal yang menyebabkanku 'terpaksa' menampar mas Arya tadi malam.

"Apa pun kesalahan Arya, tak sepantasnya kau menampar anakku ini, Meira! Bagaimana pun, kau dan adik serta ibumu ini makan dari hasil keringat Arya. Aku saja ibunya yang melahirkan dan membesarkan dia tak pernah menjatuhkan pukulan pada Arya!" sembur mama penuh emosi.

Kulirik mas Arya yang sedari tadi juga diam, asik berlindung di bawah ketiak ibunya yang terus saja meluapkan amarah.

"Tolong maafkan anak saya, Bu. Meira sedang khilaf. Salahkan saja saya yang tak becus mendidik Meira." Aku sungguh terkejut mendengar penuturan ibu.

Mertuaku itu mendengkus keras oleh permintaan maaf ibu.

"Meira hanya akan meminta maaf pada Mama. Tapi Meira baru meminta maaf pada mas Arya jika dia sudah meminta maaf pada ibuku juga."

"Tidak bisa begitu, dong! Pokoknya kau harus meminta maaf pada Arya. Atau kalau tidak ...."

Mama menggantung ucapannya.

"Kalau tidak apa, Ma?" tantangku. Sudah cukup, aku tak mau merasa diintimidasi oleh siapa pun termasuk mertua sendiri. Manusia diciptakan tidak untuk diperlakukan begini oleh sesama hamba-Nya.

"Kalian cerai saja," pungkas mama. Ia melempar tatapan angkuh, dengan senyum penuh percaya diri menghiasi bibirnya. Mas Arya juga melakukan hal serupa. Baiklah, mereka jual aku beli.

"Baiklah, aku lebih pilih cerai. Percuma juga aku punya suami jika dia selalu mengungkit semua hal yang pernah dia berikan untukku dan keluargaku."

"Meira!" seru ibu terkejut dengan keputusanku. Tapi apa pun yang akan ibu katakan, aku terpaksa harus menolak kali ini. Tak kubiarkan siapa pun merendahkan kami.

Mama mas Arya mendengkus kasar, tatapannya sungguh meremehkan.

"Lihat, Meira. Ibumu saja tahu, jika kau sampai diceraikan Arya, maka tak akan ada lagi yang akan membiayai hidup kalian," ujarnya angkuh.

Kulempar senyum ke arahnya. "Apa Mama lupa, bahwa Allah telah menjamin rejeki semua makhluk-Nya? Tak perlu Mama repot-repot memikirkan bagaimana hidup kami ke depan. Aku yang akan membiayai keluargaku. Daripada ada yang membiayai tetapi dia tidak ikhlas!" Sengaja kutekankan kalimat terakhir tadi sambil memandang mas Arya. Wajah lelaki itu seketika memerah.

"Dasar perempuan sombong! Rugi kau melepaskan berlian seperti Arya. Hidupmu akan melarat. Kalian akan mati kelaparan!"

Wanita yang kuhormati setelah ibuku itu kembali melontarkan makian.

"Ayo Arya, kita pergi dari sini. Biar perempuan angkuh ini cari makan sendiri. Tak perlu kau susah payah menghidupi keluarga ini lagi, Nak."

Mama menarik tangan mas Arya untuk segera berdiri. Kubiarkan saja keduanya berlalu pergi sambil menghentak-hentakkan kaki.

"Meira, kenapa kamu memilih menuruti emosimu, Nak? Ibu tak ingin kamu bercerai bukan karena takut kita tak bisa makan seperti kata mertuamu tadi. Tapi ibu memikirkanmu dan juga Valetta," ucap ibu setelah kedua orang tadi benar-benar telah pergi.

Kutatap wajah ibu lalu menggenggam tangannya erat.

"Bagaimana aku bisa hidup dengan laki-laki yang tak bisa mencintai keluargaku, Bu?" ucapku lembut. Mata ibu seketika berembun. Cepat kuusap sebelum air matanya jatuh.

"Ibu dan Lany adalah harta paling berharga yang aku punya. Menukar nyawa demi kalian pun aku rela, apalagi sekedar melepas lelaki seperti mas Arya? Jangan menangis, Bu. Anakmu ini kuat, jadi Ibu juga harus ikut kuat."

Bukannya berhenti, ibu malah terlihat kian sebak. Berguncang tubuhnya karena tangis yang disembunyikan dalam pelukannya di tubuhku.

Jangan khawatir tentang esok, Bu. Selagi aku masih bernafas, tak kubiarkan kalian sampai kelaparan. Aku akan berjuang demi kalian, demi Valetta juga.

Mas Arya, kau lihatlah nanti. Kau salah jika mengira aku akan jatuh terpuruk setelah perpisahan kita. Justru peristiwa ini akan menjadi cambuk bagiku untuk bangkit dan berlari.

Akan kubuktikan, tanpamu pun kami semua akan baik-baik saja. Tanpamu kami akan tetap bahagia, karena aku tak sudi mengemis demi cinta.

****

"Serius lo mau come back, Mei?" suara Arin terdengar begitu riang saat aku menghubunginya melalui sambungan telepon untuk menanyakan lowongan pekerjaan di perusahaan lama tempatku dulu pernah bekerja.

"Iya, Rin. Gue serius. Kira-kira, masih ada nggak ya tempat buat gue di sana?" tanyaku ragu.

"Hmm ... kalau itu sih gue kurang tahu, Mei. Tapi nggak ada salahnya dicoba. Lo dulu kan pernah dapat penghargaan sebagai karyawan teladan. Sampai-sampai lo dipromosiin untuk jadi manager, malah. Tapi sayang ...."

Aku menghela nafas, paham kemana arah bicara sahabat baikku semasa bekerja dulu itu.

"Jangan bicarakan masa lalu, Rin. Semua sudah terjadi," ucapku sambil mendesah pelan. Arin terkikik.

"Ya sudah, cepet kirim sini lamaran lo. Gue yang akan usahakan lo diterima lagi. Percuma lo punya temen bagian HRD kalo urusan beginian aja gue gak bisa bantu," ujar Arin yang membuatku seketika bernafas lega.

"Tapi, Mei." Suara Arin terdengar lagi.

"Tapi apa?" sahutku.

"Hmmm anu, boss kita udah bukan pak Ridwan lagi. Beliau sudah dipindahkan ke cabang lain. Dan penggantinya sekarang adalah pak Farhan. Mmm ... ganteng sih, ganteng banget malah."

"Rin, to the point aja, deh," potongku. Tak sabar mendengar cerita Arin yang menurutku kurang penting mengenai boss baru yang dibilangnya ganteng itu.

"He he, iya iya, maaf. Duh dasar emak-emak, sukanya serba cepet. Mau ngelonin anak, Bu?"

Duh, Arin!

"Gue tutup nih teleponnya," ancamku kesal campur gemas.

"Ehh ... ya udah, ya udah, maaf. Gini, pak Farhan itu biar cakep tapi mukanya kaku kayak kanebo kering. Irit ngomong juga. Pokoknya parah dah. Jadi gue kasih dulu sebelum elu ketemu langsung sama tu orang, biar bisa nyiapin mental dari sekarang," jelas Arin akhirnya.

"Iya, gampang. Lu belom tau aja the power of emak-emak, Rin. Ya udah ya, gue tutup dulu. Bye."

Klik. Sambungan kumatikan. Kutatap langit-langit kamar sembari berdoa dalam hati pada Tuhan agar aku bisa diterima bekerja lagi di kantor lama. Perkara boss baru yang gak friendly seperti cerita Arin tadi, itu hal lain. Jika aku mampu bekerja dengan baik, kenapa harus takut pada atasan? 

BERSAMBUNG ke HALAMAN INI
Diubah oleh dwindrawati 08-04-2021 05:08
pulaukapok
yudhi0412
mmuji1575
mmuji1575 dan 10 lainnya memberi reputasi
9
2.8K
15
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan