Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

lonelylontongAvatar border
TS
lonelylontong
Demi Konten


"Jadi gimana? Berani gak?"

Armand memonyongkan bibirnya, kesal. "Denger ya, ini bukan masalah berani, atau nggak. Cuman apa gunanya? Jaman udah modern, teknologi udah maju, kalian masih percaya hantu?"

"Bah!" seru Armand, melampiaskan rasa kesal di hatinya.

Melihat Armand kesal, teman-temannya pun tertawa keras.

Rudi yang jangkung, kurus dan berkacamata memanasi Armand. "Ngaku aja, benernya dalem hati, kamu takut juga kan?"

"Bentar Mand, kalau alasanmu itu ga ada gunanya, kenapa ga sekalian pembuktian ini, kita jadiin konten channelmu?" Salah seorang teman Armand menyeletuk.

"Bener juga tuh kata Ricko, channelmu sampai sekarang subscriber-nya segitu-segitu aja. Nah cobalah ganti kontennya, gua yakin kalau tantangan-nya pembuktian nyali. Bakalan lebih banyak viewer daripada konten pendidikan lo."

Mendengar usulan kawan-kawannya, Armand terdiam. Kesal di wajahnya perlahan tersapu bersih.

"Hmm...." Armand bergumam, kepala-nya setengah tertunduk, berpikir.

"Kita bantu share deh," ujar seorang dari kawannya.

"Iya, betul betul. Setuju ama Joko, ntar kita bantu ramein," sahut yang lain.

"Tantangan kalian tadi apa? Coba kalian ulang." Armand mengangkat wajahnya dan bertanya.

------

Hampir sebulan berlalu sejak percakapan Armanda dan kawan-kawannya.

"Yang mana Rud, rumahnya?" tanya Ricko yang memegang kemudi sebuah Jeep Katana tua.

Semua jendela mobil sudah dibuka lebar, tapi empat orang yang mengisi mobil kecil itu masih mengucurkan peluh, merasakan panasnya Kota Surabaya.

"Lurus aja sampai ketemu pertigaan, lalu belok kiri," jawab Rudi.

Armand melihat ke kiri dan kanan. "Jok, emang lo yakin itu rumah berhantu?"

Yang ditanya Armand menjawab dengan yakin. "Kau liat rumah-rumah di sini, perumahan elit kan? Nanti rumah yang kita datangi, masih lebih mewah lagi dari rumah-rumah yang kita lihat sekarang."

Setelah membiarkan kalimatnya menggantung beberapa saat, Joko bertanya dengan suara rendah, "Tapi tau ga?"

"Kenapa?" tanya Armand, tak terasa ikut merendahkan suaranya.

Debar jantung Armand naik beberapa level.

"Sudah bertahun-tahun pewaris rumah itu berusaha menjualnya, sampai dibanting harganya pun ga ada yang mau beli," jawab Joko dengan suara semakin rendah.

"Kemarin waktu kita bertiga minjem kunci, kita denger banyak cerita serem tentang rumah itu," sahut Ricko menambah bumbu.

Matanya melirik sekilas mengamati raut wajah Armand, sebelum kembali menaruh perhatiannya ke jalanan.

Armand menengok ke arah dua orang kawannya itu. Melihat mereka semua sedang mengamati dirinya.

'Sialan,' pikirnya dalam hati.

"Halah.... Aku ra percoyooo...," ujar Armand berlagu sambil menegakkan tubuh dan memonyongkan mulutnya.

Suara tawa mereka meledak, sampai membuat beberapa orang yang kebetulan ada di pinggir jalan menengok. Suara tawa membuat suasana seram yang terbangun hilang tersapu pergi.

Ketika tawa mereka mereda, Ricko terlihat serius saat berkata, "Mand, aku pikir, mungkin ada baiknya kita batalin aja rencana ini."

Suhu di mobil kembali terasa turun beberapa derajat celcius, keheningan mengikuti ucapan Ricko itu.

"Iya Mand, sudah dua kali kejadian, orang yang disuruh jaga rumah itu mati gak jelas. Makanya sekarang rumah itu dibiarin saja kosong, cuma sebulan sekali dibersihkan." ujar Joko memecahkan keheningan, kali ini dengan nada serius.

Armand terdiam, dengan sorot mata menyelidik dia memandangi tiga orang teman dekatnya itu.

Mereka sudah berkawan sejak mereka masih SMP.

Ngeprank sesama teman sudah jadi hal biasa. Menginap di rumah angker kali ini pun bisa jadi upaya mereka untuk mengerjai dia.

Dia tidak akan kaget seandainya semua cerita itu cuma karangan mereka, dan nanti malam ketiganya sudah bersiap 'bertamu' untuk merekam dia sedang menjerit-jerit ketakutan.

"Sudah sampai." Tiba-tiba Armand mendengar suara Rudi, membangunkan dia dari lamunannya.

Katana hitam itu perlahan berhenti, tepat di depan sebuah rumah tiga lantai. Rumah besar itu dicat putih bersih. Terhampar rumput golf yang rapi di taman depan rumah, diselipi tanaman bunga dan pepohonan yang rindang. Langit yang cerah, terang benderang, membuat suasana rumah itu terlihat asri mengundang.

Armand dan kawan-kawannya turun dari mobil. Mereka berdiri memandangi rumah yang katanya angker itu, sambil menggeliat meluruskan pinggang.

Dada Armand terasa lapang, rumah itu terlihat asri dan mewah.


"Itu yang meninggal di sini, meninggalnya karena apa? Dibunuh? Kecelakaan? Sakit?" tanya Armand.

Matanya bergerak ke sana-sini, mengamat-amati situasi di sekitar rumah, tempat dia akan menghabiskan malam ini sendirian.

"Serangan jantung," jawab salah seorang temannya.

"Kedua-duanya?"

"Iya Mand. Dua-duanya kena masalah jantung."

Untuk sesaat Armand terdiam, berdiri memandangi rumah yang berdiri diam di depannya itu.

Semuanya terlihat tenang dan damai di bawah cerahnya matahari. Secerah hati Armand saat ini.

"Ayolah masuk, panas nih." ujar Armand dengan ringan sambil berjalan menuju ke pintu pagar yang tinggi dan kokoh.

Ketiga temannya saling pandang beberapa saat.

Rudi mengangkat bahu, "Dua orang itu sudah tua, wajarlah mati kena serangan jantung."

Joko dan Ricko saling pandang.

"Hei, siapa yang bawa kunci?" tanya Armand setengah berteriak.

Dia sudah berada di depan pintu pagar, satu tangannya memegang gembok besar yang mengunci slot pintu itu.

"Ayolah," ujar Joko.

Sambil berjalan dia mengeluarkan serenceng kunci dari kantong jaketnya.

----

Siang itu pun mereka habiskan dengan membersihkan kamar tidur untuk Armand nanti malam, memasang tabung gas kecil dan kompor di dapur dan berbagai hal kecil lainnya.

Ketiga orang temannya hanya menemani Armand sebentar saja, sebelum kemudian meninggalkan dia sendirian di rumah itu.

Armand mengantar mereka sampai ke mobil.

"Kau hati-hati aja Mand. Langsung telpon kalau perlu bantuan," pesan Ricko sebelum menyalakan mobil tuanya.

"Tenang, paling-paling nanti malam aku telpon grabfood karena lapar," jawab Armand ringan, tersenyum lebar tanpa rasa takut sedikit pun.

Melihat Armand tak menanggapinya dengan serius, Ricko cuma bisa menggelengkan kepala.

Ketika akhirnya tiga orang temannya itu pergi, Armand berjalan masuk ke dalam rumah, menghindari teriknya matahari.

"Masih jam dua siang...," gumam Armand melihat jam tangannya.

"Untung aku sudah download banyak ebook buat ngabisin waktu," ujar Armand pada dirinya sendiri sambil melangkah menuju kamar tidur yang sudah dibersihkan.

-----

"Lari Mand, lari! Jangan sampai tertangkap!"

<Hosh...hosh...hosh...>

Nafas Armand terdengar menderu, mengiringi langkah kakinya melompati dua tiga anak tangga sekaligus.

Gbr diambil dr DeviantArt

'Bukankah ini rumah cuma tiga lantai?'seru Armand tanpa suara.

Dia ingin berlari ke lantai dasar dan meninggalkan rumah terkutuk ini, tapi sudah sekian lama dia berlari menuruni tangga dan melewati beberapa lantai, jangankan melihat pintu keluar, sampai ke lantai dasar saja tidak.

'Seingatku, tadi siang, tangga rumah ini tidak seperti ini.' Selintas pikiran itu lewat dalam benar Armand.

Sesekali Armand menengok ke belakang, terasa ada sesuatu yang mengikutinya, namun tiap kali dia menengok tidak ada apa-apa di belakangnya.

Dadanya terasa makin sesak.

Kakinya terasa berat dan susah digerakkan.

Tiba-tiba Armand merasa tubuhnya menggigil kedinginan dan bulu kuduknya berdiri.

Ia merasakan sesuatu menepuk pundaknya.

Refleks dia menengok ke belakang.

Tak ada apa-apa di sana, tapi sesaat kemudian kakinya tak tepat menapak ke anak tangga yang dia tuju.

Sekian kejap berikutnya, Armand merasa tubuhnya meluncur ke bawah. Seluruh lantai rumah seperti lenyap dan dia terjatuh, melayang deras ke bawah.

"Ya Tuhan!" jerit Armand di luar sadarnya.

Dengan terengah-engah dia melompat bangun dari tidurnya.

Tubuhnya sudah basah oleh keringat. Bulu kuduknya masih merinding. Perlahan kesadarannya kembali.

Armand mulai ingat, dia sedang membaca salah satu serial kesukaannya ketika matanya terasa berat.

"Ah... sialan, aku ketiduran. AC-nya terlalu dingin pula," gumam Armand, denyut jantungnya perlahan kembali normal.

Dalam gelap, Armand meraba-raba permukaan tempat tidurnya, mencari HP, ingin melihat waktu.

"Jam berapa ini? Sial... kenapa bisa tertidur..." Armand kembali bergumam.

Meskipun sendirian, dia ingin berkata-kata, ingin mendengar sesuatu di telinganya.

Suasana rumah ini sekarang terlalu sunyi dan kosong. Sisa-sisa mimpi buruk itu masih mencekamnya, bulu kuduknya masih terasa berdiri dan sesuatu terasa menekan di dalam dada.

Dari ujung matanya, Armand merasa ada sosok yang berdiri dalam gelap mengamati dirinya.

Pemuda itu menggertakkan gigi dan bergumam, "Cih..! Tak ada hantu. Tak ada roh gentayangan."

Armand menggelengkan kepalanya kuat-kuat, terasa masih ada bagian dari mimpi buruk itu yang menggelayut di sudut benaknya.

Kesal tak juga berhasil menemukan HPnya, Armand memutuskan untuk terlebih dahulu menyalakan lampu.

Mungkin karena posisi kamar ini terlalu jauh di dalam rumah, tak ada sedikitpun cahaya dari luar yang bisa memberi dia sedikit penerangan.

Gbr diambil dr Quora

Dingin... itu yang Armand rasakan saat telapak kakinya menapak ke atas lantai yang terbuat dari marmer. Sekali lagi hatinya terasa berdesir.

Menggertakkan gigi, dia menepuk mukanya dan berusaha mengusir perasaan yang terus menerus mengganjal dalam dadanya.

Entah perasaannya saja, atau kamar itu yang semakin lama semakin pekat.

Ada sesuatu membuat Armand sulit melupakan mimpi buruknya tadi.

'Seingatku... saklar lampu ada di sebelah situ.'Armand berusaha mengingat-ingat letak barang-barang di dalam kamar itu.

Terlalu gelap ...

Armand berjalan tak nyaman, permukaan lantai marmer yang dingin itu terasa sedikit basah dan lengket, seperti lantai yang baru ketumpahan sup dan mulai mengering.

'Bau ini ....,' tiba-tiba Armand tersadar.

'Aku mencium bau yang sama dalam mimpiku tadi,' pikir Armand.

Bau itu samar-samar tercium. Armand tak dapat menjelaskan bau yang mengganggu dan masuk ke dalam mimpinya itu.

'Gas bocor...? Bukan... baunya beda...,' Armand seperti ditarik kembali ke dalam mimpi buruknya.

Nafasnya mulai memburu.

Semakin lama, semakin sulit bagi Armand untuk memisahkan kenyataan dari mimpi buruknya. Bau itu perlahan seperti mengisi seluruh kamar dengan keberadaannya.

'Seperti bau besi berkarat...', gumam Armand dalam hati.

Tangannya menggapai-gapai ke depan.

'Mestinya aku sudah sampai ke dinding kamar', Armand bergumam tanpa suara, tenggorokannya terasa kering.

Seperti ada balon yang perlahan-lahan mengembang di tenggorokannya. Sementara dalam dadanya justru terasa seperti dicengkeram keras-keras.

Nafasnya memburu.

Langkah kakinya semakin lama semakin pendek dan lemah, seakan tak ingin melangkah lebih jauh ke depan.

Bau itu tiba-tiba semakin tajam.

"Cari saklar lampu kak...?" Tiba-tiba terdengar suara lembut seorang gadis bertanya.

"Iya, betul." Armand tanpa sadar menjawab.

Kata-katanya masih bergaung, bergema di antara dinding kamar itu, ketika jantungnya terasa jatuh, melompat turun ke perut.

Tak ingin dia menengok, tapi tak bisa dia menahan dirinya untuk menengok ke arah suara itu. Seluruh tubuhnya menegang, hanya lehernya yang perlahan bergerak memutar kepala.

Terdengar suara, <klik>

Sebuah lampu kecil di ujung ruangan menyala.

Menyinari seraut wajah.



Armand membeku di tempatnya. Otaknya kosong tak bisa memikirkan apa-apa. Hanya bisa memandangi seraut wajah yang tak mungkin berasal dari dunia manusia itu.
Diubah oleh lonelylontong 21-03-2021 15:55
giegieya
tien212700
tirtaarta
tirtaarta dan 14 lainnya memberi reputasi
15
1.8K
42
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan