Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

NegaraTerbaruAvatar border
TS
NegaraTerbaru
Distopia Orwellian ala Rezim Jokowi
Spoiler for akibat UU ITE:


Spoiler for Video:


kritik/kri·tik/ n kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat, dan sebagainya.

Kamus Besar Bahasa Indonesia telah menuliskan bahwa setiap tanggapan terhadap apapun adalah suatu hal yang bersifat kritik. Tentu tanggapan itu tak selalu positif, ada kalanya negatif sesuai dengan gaya bahasa yang dimiliki tiap individu.

Maka ketika seorang individu memberikan tanggapan yang dianggap kasar, itu tetaplah masuk ke dalam kategori tanggapan. Ucapan kasar adalah kritik.

Sumber : Kemdikbud[Kritik]

Namun, tanggapan ‘kasar’ terhadap sesuatu acap kali dikategorikan sebagai ujaran kebencian. Terutama apabila ia menyangkut tanggapan negatif terhadap pemerintah. Hal inilah yang menjadi kenyataan dalam kehidupan di negara ini.

Pada tanggal 13 Maret 2021, pihak Kepolisian mengatakan bahwa Virtual Police turut mengawasi konten bermuatan ujaran kebencian yang diunggah melalui WhatsApp, khususnya di grup WA. Seseorang yang menjadi anggota grup dapat melaporkan kepada polisi dengan melampirkan bukti berupa tangkapan layar. Pihak kepolisian selanjutnya akan mengkaji apakah unggahan tersebut memenuhi ujaran kebencian atau tidak.

Pihak Kepolisian mengaku telah ada satu konten di WA yang dilaporkan.

Sumber : Tempo [Polri Ikut Awasi Konten Ujaran Kebencian di Grup WhatsApp]

Dari paparan pihak Kepolisian, tandanya kritik dengan nuansa negatif dapat ditindak selama tanggapan tersebut dianggap sebagai ujaran kebencian.

Hal seperti inilah yang dikhawatirkan Ketua SAFEnet Damar Juniarto terkait munculnya virtual police. Keberadaannya justru akan mengesankan adanya penjara di dunia maya.

Pada 25 Februari 2021 lalu, Damar memandang virtual police layaknya panopticon, sebuah sistem yang dicetuskan Filsuf Prancis, Michel Foucault yang berakar dari metafora konsep arsitektur bangunan yang dapat mengawasi penghuni di dalamnya karya Filsuf Inggris, Jeremy Bentham. Dengan adanya virtual police segala tindak-tanduk masyarakat akan diawasi.

Damar melanjutkan, kondisi ini layaknya Orwellian State, sebuah frase yang digali dari ide dalam buku 1984 karya penulis Inggris, George Orwell. Kondisi di mana masyarakat diawasi secara penuh untuk patuh.

Hal ini justru akan menyebabkan kehadiran virtual police malah akan dianggap menakutkan.

Padahal mulanya Damar menyambut positif inovasi virtual police, jika meraba dari niatnya. Namun dalam praktiknya virtual police justru bertindak terlalu jauh.

"Bukan lagi bentuk kontrol lagi kalau udah sampai Orwellian State, sebenarnya sudah sampai punishment ya. Panopticon itu kan ketika ada sesuatu yang tidak sesuai dengan pandangan orang yang ada di dalam tower (ruang kontrol metafora bagi pemilik kuasa), dia kan diberi tindakan. Itu yang lebih dari sekedar kontrol. Ini memang betul-betul sudah diikat ya kalau dikatakan," tegas Damar.

Sumber : Liputan 6 [SAFEnet soal Polisi Virtual: Ruang Siber Sekarang Jadi Penjara Kita]

Dari pernyataan pihak SAFEnet, sebenarnya virtual police memiliki niat yang baik dari konsep awalnya. Tapi mengapa kini justru berubah? Bukankah awalnya virtual police dibentuk guna menciptakan rasa keadilan? Bukankah virtual police dibentuk karena adanya keinginan dari presiden yang mendorong masyarakat melakukan kritik terhadap pemerintah namun takut karena terganjal UU ITE?

Lantas salahnya dimana?

Agaknya kekacauan konsep virtual police bermula dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) yang alih-alih mendukung pemerintah melakukan revisi terhadap UU ITE, justru membuat pedoman interpretasi resmi terhadap penafsiran UU ITE. Ia tak lebih dari sekedar petunjuk teknis pelaksanaan UU ITE.

Maka interpretasi UU ITE yang menjadi pedoman virtual police hanya akan menyebabkan polisi mendefinisikan ujaran kebencian sesuai dengan yang koridor interpretasi tersebut, tanpa mampu mendefinisikan ujaran kebencian sesuai kaidah bahasa.

Bukankah Kominfo adalah Lembaga Pemerintah? Bagaimana bisa lembaga milik pemerintah dapat membuat interpretasi yang tidak sesuai kaidah bahasa? Kenyataannya, Kominfo saja tak mampu membedakan yang mana hoax dan yang mana fakta ilmiah. Acap kali informasi yang dilabeli hoax merupakan hasil dari benturan sumber informasi resmi dan atau pernyataan pemerintah. Contohnya terkait klorokuin sebagai obat Covid-19 yang sempat dilabeli hoax oleh Kominfo namun statusnya dicabut setelah Presiden Jokowi mendorong penggunaannya.

Sementara ujian kebencian di Indonesia terlalu luas, sungguh mudah untuk dimanfaatkan. Bahkan hingga saat ini, tidak ada definisi tunggal yang digunakan secara global untuk mendefinisikan ujaran kebencian.

Laporan dari UNESCO pada 2015 menyebutkan bahwa meskipun terdapa beberapa kesepakatan internasional terkait definisi ujaran kebencian, namun tetap diperlukan ruang untuk pendefinisian berdasar konteks lokal masing-masing daerah.

Berdasarkan beberapa konvensi internasional, definisi ujaran kebencian dikelompokkan menjadi empat kategori. Pertama, penyebaran pesan yang mengandung kebencian atas rasa tau etnis tertentu. Kedua, seruan terhadap permusuhan, diskriminasi, dan kejahatan. Ketiga, hasutan untuk melakukan tindakan terorisme. Keempat, hasutan untuk melakukan genosida.

Tiga dari empat kategori tersebut mengkategorikan ujaran kebencian apabila memiliki unsur ajakan untuk melakukan tindakan kekerasan.

Lantas bagaimana dengan Indonesia? Di negeri ini, ujaran kebencian dapat ditemui di UU ITE. Undang-Undang itu melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).

Berdasarkan SE Kapolri tahun 2015, ujaran kebencian dapat berupa tindak pidana yang diatur dalam KUHP dan ketentuan pidana lainnya di luar KUHP. Bentuk tindak pidana tersebut adalah penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, hasutan, penyebaran berita bohong, dan tindakan yang memiliki tujuan atau bisa berdampak pada tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, atau konflik sosial.

Berbeda dengan konvesi internasional, definisi di Indonesia memiliki bentuk tindakan dan cakupan yang luas. Definisi yang luas ini berpotensi menjadikan dua aturan tersebut sebagai aturan karet yang dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu.

Sumber : The Conversation [Definisi ‘ujaran kebencian’ di Indonesia terlalu luas, gampang dimanfaatkan]

Kini kondisi itu mau diubah dengan adanya virtual police, namun Kominfo yang memilih menggunakan interpretasi UU ITE ketimbang mendorong revisi UU ITE tentu akan menyebabkan kepolisian tetap berpegang pada UU ITE dan SE Kapolri, bedanya hanya sesuai dengan interpretasi Kominfo tentang ujaran kebencian.

Seperti yang penulis katakan sebelumnya, ada keraguan terhadap Kominfo mampu memilah antara yang mana ujaran kebencian dan mana yang tidak.

Mari kita ambil salah satu kosakata yang dapat didefinisikan pemerintah sebagai ujaran kebencian, yakni kata anjing. Berdasarkan KBBI:

1. anjing n binatang menyusui yang biasa dipelihara untuk menjaga rumah, berburu, dan sebagainya; Canis familiaris;

Menggunakan hewan berkaki empat ini tentu berpotensial didefinisikan sebagai ujaran kebencian ketika penggunaan kosakatanya tidak berkaitan dengan peribahasa tertentu. Namun perlu juga dipahami konteks bahasa, seperti:

a. Kalimat, “Istana baru saja sahkan kebijakan X. Anjing juga nih Jokowi.”
Kalimat ini dapat dikategorikan sebagai ujaran kebencian yang ditujukan kepada Jokowi (dalam arti : Presiden). Namun penegakan hukum ujaran kebencian seperti ini hanya berlaku bagi platform non sosmed.

Sebab sosmed misalnya Twitter memiliki sistem penamaan sendiri, yakni menggunakan username dan mekanisme mention. Maka kalimat contoh di atas akan berbeda dengan kalimat “Istana baru saja sahkan kebijakan X. Anjing juga nih @jokowi.”

Ingat, Jokowi tidak mematenkan nama Jokowi, maka tidak ada pondasi faktual yang dapat digunakan untuk menyamakan kedua kalimat tersebut.

Dari sisi ini, hukum telah kehilangan pondasi jika UU ITE memaksakan definisi Jokowi = @jokowi di sosmed, sementara sistem algoritma platform sosmed deperti Twitter, Facebook, dan Instagram memiliki sistem username dan mention untuk menjadi bukti perujukan nama secara pasti. Maka jika ingin adil, penyeragaman Jokowi dengan @jokowi dan Presiden hanya dapat digunakan di platform blog forum dan chat yang tidak memiliki sistem perujukan nama yang pasti.

b. Kalimatt “DPR baru saja sahkan undang-undang X. Anjing juga nih para wakil rakyat.”

Kalimat ini dapat dikategorikan sebagai ujaran kebencian yang ditujukan kepada para wakil rakyat (jamak), dan tidak merujuk pada satu target, sehingga otomatis tergolong ujaran kebencian yang tidak dapat dilaporkan ataupun digugat.

c. Kalimat “Rocky Gerung / @rocky_gerung_official ngebacot terus. Anjing!”

Kalimat ini tergolong ujaran kebencian tanpa target, kata anjing hanyalah ekspresi diri terhadap situasi, artinya tanpa sasaran, karena ujaran kebencian untuk mengungkapkan situasi, bukan menghardik.

d. Kalimat "Istana baru saja sahkan Kebijakan X. Anjay / anjir / anjis nih Jokowi / @jokowi,"

Kalimat ini bukan ujaran kebencian, sebab kosakata tersebut tidak dikenal dalam KBBI, bukan bahasa baku.

2. Keledai. Dalam KBBI, keledai bermakna salah satu spesies fauna. Namun koskata ini dapat berkonotasi negatif jika digunakan dalam peribahasa, seperti “Hanya keledai yang jatuh di lubang yang sama dua kali”. Maka orang yang jatuh ke lubang yang sama sebanyak dua kali atau lebih, setara atau lebih dungu dari keledai.

Maka jika seseorang menuliskan kalimat, "Presiden Jokowi / @jokowi berkali-kali gagal memprediksi akhir dari pandemi, artinya sudah setara keledai, malah bisa lebih dungu." Kalimat seperti ini tidak dapat didefinisikan ujaran kebencian karena peribahasa adalah salah satu dari ilmu pengetahuan, adat, dan norma yang digunakan untuk menjadi petunjuk dalam menilai baik dan buruk. Peribahasa itu bertujuan agar masyarakat dapat mencegah dirinya jatuh ke kesalahan yang sama. Selain itu, ia juga bertujuan agar masyarakat dapat memberi penilaian secara gamblang menunjuk siapa yang menyerupai keledai.

Oleh karena itu, jika UU ITE memaksakan penyamaan Presiden dengan keledai soal penanganan pandemi sebagai pelanggaran hukum, maka saat itu pula hukum telah teralienasi dari akarnya, yakni norma, adat, dan sains. Padahal peribahasa adalah bentuk kebudayaan dan kearifan lokal masa lalu, sebelum hukum berlaku seperti di era sekarang. Peribahasa adalah salah satu pagar penjaga nilai utama.

Hal seperti ini yang takkan pernah mencapai garis definitif yang dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan oleh Kominfo dalam UU ITE dan interpretasi UU ITE. Tidak ada gunanya menegakkan hukum yang berlawanan dengan pagar penjaga nilai yang telah ada lebih dahulu di masyarakat, jauh sebelum hukum modern lahir.

Berbeda ketika UU ITE dan penegakan hukum ITE hanya berlaku pada forum resmi dan bergengsi di mana acara semacam itu menggambarkan kewibawaan negara.

Namun jika UU ITE dan penegakan hukumnya tetap diberlakukan dalam ruang obrolan dan opini publik, maka persoalannya tidak hanya ‘Bagaimana cara mengawasi ruang privat publik?’ tetapi juga ‘Bagaimana cara pendefinisian yang sesuai koridor sains dan kultural’. Sesuatu yang mustahil untuk dilakukan.

Tolong jangan bikin rakyat sendiri berbohong di ruang privat digital (chat, sosmed, blog, dsb). Menjaga perasaan orang lain itu urusan moral dan nurani. Bukan urusan Kementerian dan apparatus hukum.

Ketika kita kembalikan lagi ke deifinisi dari kritik, maka rezim yang sibuk membatasi ujaran kebencian dimana ujaran kebencian diartikan sebagai penggunaan kosakata negatif untuk penilaian buruk adalah rezim anti kritik.
Diubah oleh NegaraTerbaru 15-03-2021 13:52
keniapardede
keniapardede memberi reputasi
1
2.9K
16
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan