Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

AF31FRAvatar border
TS
AF31FR
SEBUAH PERMAINAN SEPAKBOLA: PENUH WARNA DAN BERKESAN SEBELUM SEMUANYA TAK LAGI SAMA



Nils Havemann di dalam kuliahnya dengan judul “Die Gesellschaftliche Bedeutung des Fußballs in Deutschland” menegaskan bahwa sepakbola adalah sebuah kultur. Dalam arti ini, kultur berarti cara hidup yang membuat sepakbola telah begitu berkembang dan berurat akar sebagai bagian dari cara hidup banyak orang.


Dunia tampaknya memang jatuh cinta terhadap sepakbola. Beragam orang dari suku dan adat di berbagai belahan benua memainkannya dengan antusias. Bagi beberapa kalangan tidak ada hari tanpa sepakbola. Ketika mereka mulai berhenti bermain, di hari itu juga mereka mati.


Ungkapan tersebut sama sekali tidak berlebihan. Beberapa negara menganggap sepakbola telah menjadi bagian penting dari hidup masyarakat yang menjadi pusat dari hidup mereka. Bahkan, ada beberapa kalangan yang melihat sepakbola sebagai agama yang dibandingkan dengan agama-agama yang ada sebelumnya.


Dalam sisi pandang permainan, sepakbola adalah kegiatan yang menyenangkan yang membuat kita seakan hanya membutuhkan bola sepak untuk menemukan kesenangan itu. Bagi saya dan beberapa orang lainnya, kesenangan dari permainan sepakbola adalah ketika kita memainkannya dengan penuh semangat dan gairah yang berwarna bersama teman saat bocah dulu di desa, kampung, dan perumahan.


Hampir tak ada batas kebahagiaan untuk sepakbola yang dimainkan saat bocah dulu. Kecuali karena tenaga stamina memang telah letih, serta kumandang Adzan telah terdengar, dan ibu yang bersenjatakan sapu lidi serta sendal terompah telah berteriak penuh amarah menyuruh pulang.


Tidak perlu repot dan tidak harus melakukan sesuatu yang sulit jika ingin bermain sepakbola. Yang penting cukup punya insting cerdik dan kreatif. Nah, dalam hal ini dulu biasanya sering patungan uang untuk membeli bola baru jika bola yang lama rusak ataupun hilang. Bola plastik yang harganya murah menjadi pilihan utama ketimbang bola bliter yang harganya cenderung mahal.


Sempit atau luasnya ruang lahan tak akan pernah bisa menghalangi keinginan untuk mengolah si kulit bundar, dan lahan yang berbatu krikil, gersang, kotor sama sekali tak menggentarkan semangat dan gairah untuk terus menerjang laga karena semua sama-sama bergembira dalam bermain sepakbola dan semua sama-sama bergelora melepas beban maupun amarah dengan bermain sepakbola.


HARI YANG BERJALAN DENGAN PENUH WARNA


Sepakbola dimainkan tanpa mengenal waktu. Pagi, siang, sore, bahkan malam hari pun tidak masalah. Namun pada umumnya sore hari setiap jam 16:00 adalah waktu yang sering dijadikan untuk bermain sepakbola karena saat itu matahari tidak lagi terik. Apalagi jika hujan baru saja reda, ada hasrat untuk bermain dengan penuh kebebasan beban. Sebelumnya tidak lupa untuk terlebih dahulu melaksanakan kewajiban Shalat Ashar entah di rumah atau di Masjid maupun Mushala. Tapi ada juga yang dengan sengaja mengabaikan Shalat Ashar karena saking terlalu hobi bermain sepakbola.


Di manapun tempat bermainnya baik di halaman, gang perkampungan, kebun kosong, sawah, hingga lapangan tepi jalanan yang di sudut pinggirnya ada pohon jambu dan mangga, semuanya merupakan arena yang nyaman untuk berandai-andai jadi pesepakbola top dunia yang sedang bertanding di stadion megah. Ya itu 'kan cuma andai, tapi ya setidaknya mungkin bisa sejago seperti Madun dan Ronaldowati yang bertanding di ‘Stadion’ Kampung Bojong.


Pemilik bola adalah raja. Dia akan dijemput oleh banyak orang yang memanggil-manggil namanya di depan rumah ketika waktu bermain tiba. Bocah remaja pengangguran biasanya telah ada di tempat bermain sebelum sang empunya bola datang, bocah kecil hadir untuk ikut-ikutan, dan bocah tanggung yang baru saja menyelesaikan pekerjaan rumah tidak lama kemudian turut bergabung sambil mengobrol, membeli jajanan, dan bercanda.


Di pinggir lapangan cukup banyak orang yang berkumpul seperti kawan-kawan yang lain, anak kecil yang berlarian ke sana ke mari, ibu-ibu yang momong anaknya, kakek-kakek yang asyik sebat rokok kretek sembari seruput kopi hitam, nenek-nenek yang sekadar ngerumpi, para gadis yang memasang wajah manis manja, bujangan dan bapak-bapak yang cari angin segar karena jenuh dengan urusan asmara dan keluarga, ada juga pengendara yang sejenak untuk melihat, dan para pedagang jajanan yang menanti pembeli.


Sepakbola yang dimainkan pun sepakbola yang punya aturan. Meskipun aturan tersebut tak tertulis tetapi semua peraturannya merupakan suatu hal yang wajib.


Alas kaki harus dilepas dan dikumpulkan karena biasanya untuk dipakai menjadi gawang, tapi gawang juga bisa diciptakan dari puing-puing yang disusun bertumpukan, dan batang kayu-kayuan yang ditancap ke tanah. Terkadang alas kaki itu juga digunakan oleh penjaga gawang untuk dijadikan sarung tangan. Yang menjadi penjaga gawang biasanya adalah anak yang badannya gemuk dan besar karena dianggap pergerakannya lambat dan tak piawai mengolah bola. Lantaran gawangnya tidak ada mistar, maka mistar "virtual" dirumuskan melalui tinggi badan sang penjaga gawang. Artinya gol dianggap tidak sah jika bola tidak dapat dijangkau oleh penjaga gawang karena terlalu melebihi tinggi badannya.


Untuk ukuran gawang dan lapangan dihitung manual. Soal jumlah pemain dalam satu tim pun tidak perlu 11 orang. Jadi, lebih kepada disesuaikan dengan banyaknya orang yang ada dan yang ingin bermain. Malah kadang sejadinya saja, semisal 5 lawan 7.


Ada corner-kick dan throw-in, tapi aliran bola dianggap belum berhenti dan keluar dari arena pertandingan jika bola itu belum masuk ke semak-semak, tersangkut di pepohonan dan atap rumah, atau nyemplung ke comberan tetangga sebelah. Pemain yang menendang bola terlalu jauh juga harus menggambil kembali bolanya dengan sendiri. Serta tidak ada aturan off-side karena seluruh pemain bermain tanpa formasi, strategi, taktik. Hanya saling grasak-grusuk berebut bola. Siapa yang berhasil merebutnya dia akan berlari menggiringnya menuju gawang untuk menciptakan gol.


Ada hand-ball dan free-kick, tapi pertandingan tidak mengenal yang namanya pelanggaran berarti. Jika seorang pemain dikasari, harus dibalas dengan cara secerdas mungkin ketika berebut bola. Tidak ada aturan seragam dan pelindung betis. Setiap orang berpakaian bebas. Kadang ada yang bermain bertelanjang dada dengan hanya memakai kolor. Mereka harus pintar berkelit untuk menjaga kaki serta tulang kering.


Teknologi seperti Goal Line Tecnology dan Video Assistant Referee itu tidak ada. Yang ada adalah para orang-orang di pinggir lapangan tadi yang akan berteriak, “Woy enggak gol tuh, weh jangan kasar pelanggaran noh”. Mereka adalah para hakim dan saksi terbaik pertandingan sepakbola yang tengah digelar.


Tidak ada akumulasi kartu merah dan kuning. Tapi hukumannya adalah akan dimusuhi oleh lawan. Hukuman yang paling parah, ketika tidak sengaja adu jotos atau menempeleng lawan, maka resikonya akan terjadi keributan, entah ribut antar kawan atau juga ribut antar warga dan keluarga.


Tak ada wasit dan peluitnya yang menjaga pertandingan. Bola terus bergerak dari satu pemain ke pemain lain lalu bola liar itu tak sengaja mengarah dan menghujam anggota tubuh lawan.


Ya namanya juga bermain secara bebas. Jika haus ya melipir ke pinggir lapangan untuk membeli minuman es di warung sekitar atau ambil minum pulang ke rumah. Jika lelah ya ngacir saja ke tepi lapangan lalu rebahan dan senderan.


SUASANA YANG BERKESAN


Ya, itu salah satu bagian terindah dari permainan sepakbola. Sepakbola yang dilakukan saat itu memang bertujuan untuk bermain dan sama sekali tak ada pikiran melakukannya karena olahraga. Kadang permainan dimulai tanpa adanya kick-off, langsung tendang saja. Juga tak ada babak-babakan karena permainan berlangsung bablas tanpa ada babak satu dan dua. Tidak peduli seberapa banyak tim mencetak gol, karena pemenangnya adalah yang mencetak gol paling terakhir.


Semakin seru permainan, semakin meriah suasana. Tak jarang pula saling tertawa terbahak-bahak jika ada hal yang konyol seperti kawan yang usil menarik dan melorotkan celana kolor lawan ketika berebutan bola. Situasi juga sesekali menegangkan ketika saling berdebat karena gol dan pelanggaran.


Sampai tak terasa, langit telah senja. Bukan suara speaker, “Tambahan waktu lima menit”. Tapi suara tarkhim, “Assholatu wassalammu alaik...”, dan juga suara kaset pengajian ceramah K.H. Zainuddin M.Z. dari toa Masjid dan Mushala yang jadi waktu ‘injury time’ pertandingan yang diberitahu oleh marbot.


Tak lama berselang, Adzan Maghrib berkumandang. Permainan harus selesai karena Adzan Maghrib adalah peluit panjang yang tidak bisa diganggu gugat, kecuali para bocah yang kesambet setan mereka bakal terus melanjutkan permainan.


Orang yang berkumpul pun bubar. Anak-anak, ibu-ibu, gadis-gadis, nenek-nenek, dan beberapa kawan serta kakek-kakek telah lebih dulu hengkang. Para pengendara perlahan sepi berseliweran. Pedagang pun mulai bersiap beres-beres. Kecuali bujangan dan bapak-bapak yang tadi, pulang larut senja adalah alasan bagi mereka untuk mengelak dari sosok yang terkadang menyebalkan bagi mereka, perempuan.


Bocah-bocah yang bermain pun cabut satu per satu. Para bocah remaja pengangguran pulang berjalan santai sambil merencanakan malam yang panjang di warung kopi. Bocah kecil terbirit-birit pulang dengan penuh rasa cemas lantaran takut kena omel orangtua dan berharap tidak terlambat berangkat belajar ngaji. Sedangkan bocah tanggung ada yang masih ngobrol melepas lelah di pinggir lapangan kemudian baru bergegas pulang ketika hari telah benar-benar gelap.


HARI DAN SUASANA ITU KINI BERUBAH DAN TAK LAGI SAMA


Siapapun kita pasti pernah merasakan serta menikmati hari dan suasana itu. Kita yang tubuhnya berkeringat yang bercampur jadi satu dengan ingus meler yang terasa asin di bibir saat asyik bermain sepakbola indah yang lebih indah dari sepakbola Catenaccio, Gegenpressing, Jogo Bonito, Kick and Rush, Tiqui Taca, Totaal Voetbal.


Tapi sekarang entah kenapa gairah dan semangat itu sepertinya telah hilang direnggut oleh perkembangan jaman.


Beberapa bocah lebih memilih menyewa lapangan futsal untuk memainkan sepakbola dengan sepatu dan seragam KW yang lebih keren ketimbang dulu dengan kaki-kaki nyeker dan cuma memakai kolor.


Sedangkan bocah lain yang kurang suka bermain futsal memilih mengasah skill sepakbola mereka dalam bentuk permainan gim FIFA, PES, Play Station.


Sementara bocah yang nolep asyik bersama gadgetnya. Dengan skill bacotannya mereka sibuk baku hantam berdebat di media sosial membanding-bandingkan siapa pemain yang terhebat antara Cristiano Ronaldo dan Lionel Messi, serta saling sindir-menyindir mana klub yang terbaik antara FC Barcelona dan Real Madrid CF.


Mungkin tetap masih ada yang melakukannya seperti dulu. Tapi memainkannya dengan cuma-cuma, karena baru juga beberapa menit rebutan bola ujug-ujug ada yang ngajakin mabar gim online.


Orang-orang yang tadi berjejer di tepi lapangan pun masing-masing punya kegiatannya yang baru. Anak-anak kecil kini dijajah oleh kecanggihan Android, gadis-gadis sekarang lebih senang tampil eksis di Instagram, ibu-ibu dan anaknya tengah asyik berjoget TikTok, kemudian kawan-kawan yang lain memiliki urusannya sendiri, lalu kakek dan nenek bernostalgia masa muda dengan menyaksikan film romantis Dilan dan Milea, para bujangan dan bapak-bapak menuangkan unek-uneknya di WhatsApp, pedagang lebih senang membuka kedainya di situs belanja online, sedangkan para pengendara sibuk merias tampilan kendaraannya.


Bagaimanapun juga semua tetap bergembira, namun barangkali kegembiraan itu tidak lagi sama seperti keceriaan bermain sepakbola ketika dulu.


Semua merindukan masa-masa itu. Masa-masa ketika kehidupan masih sangat sederhana. Tidak ada masalah pencitraan sosial, tidak ada masalah perbedaan pilihan politik, dan tidak ada masalah pusing memikirkan si dia yang telah bahagia bersama gebetan barunya.


Kita saat ini mampu untuk mengingat kenangan tentang sepakbola itu. Tetapi mungkin kita tidak akan pernah bisa mengulang kebahagiaannya, saat mengejar merebut bola lebih menyenangkan daripada mengejar cinta, dan ketika luka di kaki lebih perih sakitnya dibanding luka di hati. Maka dari pengalaman tadi jadikanlah hal itu sebagai sebuah tradisi budaya kepada generasi penerus agar sebuah permainan yang sangat merakyat itu tetap eksis meski terdesak oleh serangan teknologi.


Terpenting, lahan yang dulu menjadi saksi sebuah permainan sepakbola semoga tetap terjaga dan terawat agar jangan sampai beralih fungsi dijadikan gedung atau bangunan yang hanya untuk meraup keuntungan pribadi tanpa memberi manfaat bagi orang di sekitarnya. Sebab jika itu terjadi, akibatnya tak ada lagi tempat sederhana untuk membahagiakan diri, karena seperti yang diutarakan oleh jurnalis legendaris Uruguay, Eduardo Galeano, “Tidak ada hal yang menyenangkan selain melihat anak-anak bermain sepakbola.”
Diubah oleh AF31FR 06-01-2021 01:45
madjezzt
mainanuang
yusufym
yusufym dan 3 lainnya memberi reputasi
4
978
5
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan