Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

ZenMan1Avatar border
TS
ZenMan1
Gawat! Fitch Ramal Rupiah ke Rp 15.000/US$ di Akhir 2020


Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah melemah 0,11% melawan dolar Amerika Serikat (AS) Rp 14.085/US$ sepanjang pekan ini, sekaligus mengakhiri kinerja tak pernah melemah dalam 9 pekan terakhir. Rinciannya, menguat 8 pekan dan sepekan stagnan.
Tekanan bagi rupiah sudah muncul sejak awal pekan, setelah kasus Covid-19 mencetak rekor penambahan harian 6.267 kasus pada hari Minggu (29/11/2020). Rekor tersebut kemudian pecah lagi pada Kamis (3/12/2020), jumlah kasus baru tercatat sebanyak 8.369 orang dan hari ini, Minggu (6/12/2020) jumlah penambahan kasus baru mencapai 6.089 kasus.
Dalam 2 pekan terakhir, rata-rata penambahan kasus juga meningkat menjadi 1,03% per hari, dibandingkan 2 pekan sebelumnya 0,92% per hari.

Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19, Prof Wiku Adisasmito, bahkan mengatakan penambahan kasus tersebut tidak bisa ditoleransi.
"Kita bisa melihat dalam beberapa hari terakhir kita mencatatkan rekor-rekor baru. Sebelumnya kita belum pernah mencapai di atas 5.000, tapi sayangnya kasus positif semakin meningkat bahkan per hari ini menembus lebih dari 8.000 kasus. Ini angka yang sangat besar dan tidak bisa ditolerir," ujar Prof Wiku, dalam konferensi pers Kamis (3/12/2020).
Lonjakan kasus tersebut tentunya membuat investor cemas jika Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) akan kembali diketatkan, yang dapat menghambat pemulihan ekonomi Indonesia.

Kabar buruknya lagi, Fitch Solutions memprediksi rupiah akan melemah di sisa tahun ini, bahkan cukup signifikan.

Dalam laporan Asia Monthly Outlook edisi November, Fitch Solutions memprediksi rupiah akan berada di level Rp 15.000/US$, artinya melemah 6,5% dari level saat ini. Prediksi tersebut bahkan lebih lemah dari konsensus bulan Oktober Rp 14.600/US$.

Sayangnya, Fitch Solutions tidak memberikan alasan kenapa rupiah akan melemah. Tetapi jika dilihat dari perkembangan belakangan ini, ledakan kasus Covid-19 jika sampai membuat PSBB diketatkan lagi menjadi ancaman terbesar bagi rupiah.

Jika penyebaran Covid-19 berhasil dikendalikan kembali, maka rupiah masih akan cukup perkasa, dan tidak menutup kemungkinan malah bisa menguat ke bawah Rp 14.000/US$, aliran modal masih cukup deras masuk ke dalam negeri, meski Bank Indonesia (BI) memangkas suku bunga acuan menjadi 3,75% pada 19 November lalu.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, sepanjang bulan November kepemilikan asing atas Surat Berharga Negara (SBN) naik sebesar Rp 15,56 triliun menjadi Rp 970,51 triliun.
Data tersebut menunjukkan aliran modal masuk ke pasar obligasi Indonesia, belum lagi di pasar saham yang bisa menopang penguatan rupiah.
Selain itu, dolar AS sejak dalam tren menurun yang bisa dimanfaatkan rupiah untuk menguat.

Seandainya kasus Covid-19 tidak meledak di pekan ini, rupiah sepertinya berpeluang melakukan kinerja impresifnya. Sebab indeks dolar AS yang mengukur kekuatan mata uang Paman Sam ini menyentuh level terlemah dalam 2,5 tahun terakhir.
Risk appetite pelaku pasar yang sedang bagus-bagusnya, plus stimulus fiskal dan moneter di AS membuat sang raja mata uang ini nyungsep.
Melansir data Refinitiv, indeks dolar AS di pekan ini merosot 1,2% ke 90,701, level tersebut merupakan yang terendah sejak 23 April 2018. Sepanjang tahun ini, atau secara year-to-date (YtD) indeks dolar ambrol nyaris 6%.

Kemerosotan dolar AS sepertinya masih belum berkahir, banyak analis yang memprediksi penurunan masih akan berlanjut hingga tahun depan.
"Kami memperkirakan dolar AS akan melemah sekitar 5% hingga 10% di tahun 2021 karena The Fed (bank sentral AS) membiarkan perekonomian AS melesat," kata kepala ekonom ING, Carsten Brzeski, dalam sebuah catatan yang dikutip CNBC International, Kamis (3/12/2020).
Maksud pernyataan tersebut adalah The Fed akan tetap mempertahankan suku bunga tetap rendah, meski perekonomian AS melesat dan inflasi naik cukup tajam. Memang bank sentral pimpinan Jerome Powell tersebut sebelumnya mengatakan suku bunga < 0,25% akan dipertahankan hingga tahun 2023.
Indeks dolar AS sebenarnya sempat melesat hingga nyaris 7% YtD ke 102,99 pada 20 Maret lalu akibat aksi jual masif di aset berisiko (saham) dan aset aman atau safe haven (emas) hingga muncul istilah "cash is the king". Namun, bukan sembarang cash, melainkan dolar AS.
Hal tersebut terjadi setelah virus corona menyerang dunia dan dinyatakan sebagai pandemi.
Tetapi setelahnya, The Fed bertindak guna menyelamatkan perekonomian AS dengan membabat habis suku bunga acuannya menjadi < 0,25%, serta memberikan stimulus moneter lainnya dengan melakukan program pembelian aset (quantitative easing/QE) dengan nilai tak terbatas. Artinya berapa pun nilainya akan dilakukan selama dibutuhkan perekonomian AS.
Alhasil, dolar AS berbalik merosot.

"Tidak ada keraguan kebijakan The Fed sukses membuat dolar AS merosot sejak musim semi tahun ini," kata Jane Foley, ahli strategi di Rabobank, sebagaimana dilansir Reuters, Jumat (4/12/2020).
Tekanan bagi dolar AS bertambah besar setelah pemerintah Washington menggelontorkan stimulus fiskal dengan nilai fantastis, US$ 2 triliun pada bulan Maret lalu. Dalam perjalanannya, nilai stimulus tersebut bertambah menjadi nyaris US$ 3 triliun.
Kini pemerintah AS berencana untuk kembali menggelontorkan stimulus fiskal. Dalam keterangan tertulis, Ketua House of Representatives (salah satu dari dua kamar yang membentuk kongres) Nancy Pelosi mengatakan Menteri Keuangan Steven Mnuchin akan mengkaji proposal yang diajukan kubu Partai Demokrat. Salah satunya adalah pemberian vaksin anti-virus corona harus gratis dan bisa dinikmati oleh siapa saja.
Selain itu, Pelosi dan Pemimpin Partai Minoritas di Senat, Chuck Schumer mendukung paket stimulus fiskal senilai US$ 908 miliar. Ini siap digolkan oleh kedua partai politik mayoritas di AS untuk menyokong bisnis kecil dan pengangguran di AS.
Keputusan stimulus harus cepat, karena tenggat waktu pengesahan anggaran tahun fiskal 2021 adalah 11 Desember 2020.
Selain itu, The Fed juga akan mengumumkan kebijakan moneter pada Kamis 17 Desember dini hari WIB. Ada peluang The Fed akan menambah stimulus moneternya dengan meningkatkan nilai QE.
Saat stimulus fiskal atau moneter tersebut cair, maka jumlah uang yang beredar tentunya akan semakin banyak, secara teori dolar AS akan semakin terdevaluasi.
Selain itu, stimulus tersebut membuat sentimen pelaku pasar membaik dan kembali masuk ke aset-aset berisiko, dolar AS yang menyandang status safe haven menjadi tak menarik lagi.
Selain stimulus moneter dan fiskal, sentimen pelaku pasar semakin membaik merespon kabar vaksin virus corona.
Perusahaan farmasi asal AS, Pfizier dan Moderna melaporkan vaksin buatannya sukses menanggulangi virus corona hingga lebih dari 90%.
Selain perusahaan di AS, perusahaan farmasi asal Inggris, AstraZeneca, juga mengumumkan vaksinnya sukses menanggulangi virus corona hingga 90% tanpa efek samping yang serius.
Selain itu, Pfizer dikabarkan sudah mendapatkan ijin dari pemerintahan Britania Raya untuk penggunaan darurat bagi vaksin Pfizer dan partnernya BioNTec Sedangkan ijin dari pemerintahan AS akan datang sebentar lagi, bahkan banyak yang beranggapan bahwa vaksin Pfizer akan disetujui untuk penggunaan darurat sebelum tahun 2021.
Citigroup memprediksi di tahun 2021, ketika vaksin virus corona didistribusikan dan perekonomian global mulai bangkit, maka dolar AS akan ambrol 20%. Citigroup mengatakan ada banyak alasan untuk optimistis dari pengembangan vaksin saat ini, dan ketika didistribusikan ke masyarakat akan menjadi awal penurunan dolar AS. 

sumur

https://www.cnbcindonesia.com/market...i-akhir-2020/1
meooong
tien212700
tien212700 dan meooong memberi reputasi
2
642
11
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan