Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

sriwijayapuisisAvatar border
TS
sriwijayapuisis
Cerpen True Story Sriwijaya
Jangan Panggil Aku Guru

Ilustrasi: Pintarest

Taukah kamu apa itu menyebalkan? Menyebalkan adalah saat dirimu belum siap kembali, tapi seolah ada medan magnet yang menarik untuk datang. Ketika memutuskan untuk melupakan, nyatanya terperosok ke dalam jurang untuk terus teringat dan mengingat setiap peristiwa yang ingin dilupakan. 

Seperti saat ini, aku kembali dengan kebekuan hati berselimut senyum palsu di atas panasnya bara api. Namun, sapa hangat itu meredamkan bara. Ternyata keberadaanku masih diharap dan dinanti begitulah pikirku saat itu. Saat seorang teman maya tetiba meng inbox dan bertanya benar tidak jika akunku kembali aktif lagi. 

'Sudah on? Jangan off lagi, ya?! Nanti, Aku tidak punya guru,' ucapnya.

Aku mengerutkan dahi sambil berpikir untuk menjawab pertanyaannya.

'Iya nih! Udah on. Jangan panggil aku guru, ya?! Aku bukanlah seorang guru. Lagian, esok hp mu disita pihak pondok, kan? Karena ketahuan menyimpan ponsel, jadi ucapkan bay-bay sementara waktu,' kilahku menghela napas dalam-dalam. Ada sebongkah sesak di dada ini saat kata guru terlontar di seberang sana. 

Ah! Kata itu bagai racun saja, pun diri ini merasa tak pantas di panggil demikian. Bagi seorang yang miskin ilmu ini, mana cocok kata itu ditujukan padaku, lagi pula filosofi guru mengandung makna teramat dalam. Tak ada dalam diriku, pantaskah bila aku disebut guru? 

'Iya juga, sih! Esok hp ini sudah disita pihak pondok. Makanya tadi aku pamit out dari grup serta menjelaskan alasanku out dari sana. Jika tidak mau dipanggil guru, terus maunya dipanggil apa? Bunda, kakak, atau mak.'

Celoteh remaja itu membuatku mengeryitkan dahi sambil menahan tawa.

Dialah Roji remaja yang tinggal di Semarang tapi menempuh pendidikan di Kudus sambil nyantri. Dari cerita anak itu, Roji memang sering berpindah tempat tinggal sedari kecil, entah apa alasannya aku kurang tahu pun segan jika harus mengusik privasi orang. Sesuatu yang tak aku suka memang, yaitu mencari tahu kehidupan orang lain.

'Panggil biasa aja. Bunda oke. Kakak, boleh juga, asal jangan mak. He he he,' balasku sambil nyengir kuda.

'Baiklah,' jawabnya agak lesu, seolah ada nada kecewa dalam katanya.

Namun, aku percaya anak tersebut mengerti maksudku pun kami memang belum kenal terlalu lama, jarang berkomunikasi secara pribadi hanya sering cicit cuit di grup yang sama. Dan itu membuatku agak terkejut saat tiba-tiba di inbox olehnya.

Entah, remaja tersebut orang keberapa yang memanggilku demikian. Namun, panggilan itu sungguh tak pernah aku suka. Tahu kenapa? Karena faktanya aku bukan seorang guru atau menyandang profesi tersebut. 

Selain itu, aku hanya manusia biasa yang memiliki seujung kuku ilmu. Teramat jauh dari kata guru yang notabennya berwawasan luas dan sudah tentu memiliki segudang pengetahuan.

Sisi lain aku mengerti kenapa Roji memanggilku begitu, teringat saat pertama kali kami berkenalan ia sering bertanya mengenai tulisan. Bagaimana caranya agar bisa menulis, mencari ide juga mengembangkan apa yang ada dalam pikiran untuk dijadikan sebuah tulisan.  

Aku tak mengajari ia teknik menulis karena itu bukan ranaku pun sendiri masih belajar tentang hal itu. Aku hanya memberikan dia dorongan motivasi dan mengarahkannya saja. Siapa aku yang berani mengkritik tulisan orang lain yang jauh di atasku tulisannya. Aku hanya manusia miskin ilmu pun merasa tak layak jika harus memberi krisan pada orang lain. Terkesan naif memang. Faktanya aku sekarang sering memberikan krisan bagi mereka yang membutuhkan di balik layar. Lucu, ya? Dan aneh. Entahlah! Seperti ada medan magnet yang menarikku untuk berada di sana. Walau sejatinya harus aku akui masih suka pilih-pilih dalam memberikan krisan.

Sebalik itu semua, ada pergulatan batin yang aku alami saat mengkritik tulisan orang. Pertama minder merasa ilmu masih seujung kuku tapi sudah berani memberi komentar pada postingan orang lain.

Kedua --- Ah … ini jadi perdebatan panjang pada diri sendiri saat seorang senior meminta aku memberi saran tulisannya. Beliau adalah seorang guru agama dan sudah banyak jam terbang dalam hal menulis cerita baik fiksi pun non fiksi, sedangkan aku apa? Hanya remahan rengginang yang melempem saat terkena setitik air. 

Alih-alih menolak memberi masukan secara halus karena merasa minder, beliau malah memberi wejangan padaku. Ia bilang," Sedikit ilmu asal bermanfaat bagi orang lain, itu lebih berarti daripada segudang ilmu yang didapat tapi dibungkus untuk diri sendiri." Kata-kata itu sampai sekarang masih terngiang-ngiang di benakku walau harus aku akui, diri ini masih pilih-pilih dalam berbagi ilmu dengan yang lain.

Bukan karena tak mau berbagi ilmu tapi batin seolah perang dengan logika. Satu sisi diriku berpikir positif mungkin krisanku bisa bermanfaat bagi orang lain, tapi dalam lain keadaan ada saja yang memandang negatif karena sepak terjang di dunia literasi yang masih abu-abu. Tak seperti kawan lain, terlihat hasilnya juga jalan kepenulisan mereka yang sudah mencetak nama.  

Selain itu, orang-orang di sekitar membicarakanku dari belakang perihal kritikan kepada mereka. Ketika mengetahui apa yang diucapkan mengenai diri ini, itu sangat menyakitkan jendral. Sungguh! Jika ada pilihan, aku lebih memilih mereka berbicara tentang diriku dari depan dari pada lewat belakang. 

Pun saat menjalin keakraban pada sesama teman di salah satu grup puisi WA, aku tak mengerti mengapa mereka berpikir jika yang sering berinteraksi denganku memiliki keakraban secara intens, padahal kami hanya berinteraksi via grup saja jika lewat japri---- aku terbilang orang yang jika tak ada perlunya tak mau ngechat seseorang.

Walau tak jarang yang sudah mengenalku mereka sering ngechat secara pribadi denganku, meski hanya untuk sebuah krisan tulisan saling bertanya kabar atau bersenda gurau semata. Semua tak masalah, aku bisa menerima selama masih dalam batas kewajaran. 

Satu hal yang mereka catat dari dalam diriku ini, aku sering memanggil mereka dengan panggilan khas seperti; rara ayu, babang tak tamvan, babang tersayangnya akoh, akang kasep, say, ayang beib dan beberapa panggilan lainnya. Bahkan salah satu di antara mereka hafal jika tidak menggunakan panggilan tersebut yang menjawab chatnya bukanlah diriku tapi orang lain.

Seperti saat itu, ketika aku sedang kecewa berat hingga bertindak tengil ngerjain salah satu tema maya, karena kesal bin jengkel atas sikapnya yang keterlaluan dan nyaris fatal (jangan ditiru, ya!). Aku bilang jika hp kuhilang dan membalas chat orang tersebut seolah-olah isinya dari orang lain dengan nada ketus dan kasar.

Menggunakan nada sindiran dan ejekan aku memuaskan diri membalas perbuatannya padaku dengan cara berpura-pura menjadi orang lain. Mirisnya orang itu mudah sekali percaya, meski diawal tak sempat percaya dengan kata-kataku. Kata-kataku seolah ditelan mentah-mentah olehnya, tapi bisa jadi karena nada chat yang menyakinkan akhirnya ia percaya juga.

Setelah menjahilinya tetiba rasa tak tega hinggap dalam dadaku. Rasa bersalah, kasihan menghias benak ini, tapi jika ingat akan perbuatannya yang nyaris fatal aku benci padanya. Ah! Maya--- sadismu melebihi dunia nyata.

'Ah, aku tega sekali sama anak orang,' gumamku pada diri sendiri. 

Aku berharap tidak diganggu lagi olehnya setelah dijahili, tetapi kenyataan berbanding terbalik dengan harapan. Hingga salah satu teman lainnya meng inbox ku dan bertanya untuk memastikan jika ini benar-benar diriku bukan orang lain.

'Apa kabar? Gi apa, nih!' tanyanya basa basi mengawali obrolan.

Kaget. Tak ada angin pun hujan lelaki itu mendadak meng inbox diriku. Padahal, sebelumnya nyaris tak pernah kecuali ada keperluan mendesak mengenai grup.

'Santai, Bang,' jawabku sekenanya.

Aku menerka-nerka keadaan. Berpikir keras merasa mencium gelagat yang tak wajar.

'Apa benar hp mu, hilang?' tanyanya lagi yang membuat mataku terperanjat setengah tak percaya dari mana ia bisa tahu, pikirku saat itu.

Tebakan langsung tertuju pada satu orang yaitu dia. Manusia nyebelin yang aku kerjain tadi, seperti busur yang melesat mengenai sasarannya tebakanku pasti tidak salah. Yakinku pada diri sendiri.

'Nggak, Bang. Abang dapat kabar hoaks dari mana.'

'Dari si M, katanya hpmu hilang. Tolong dong panggil aku dengan panggilan khasmu."

Sejenak aku berpikir kenapa tiba-tiba ia mau dipanggil dengan sebutan itu. Padahal, itu panggilan khusus di grup saja. Dengan gurau aku berusaha meledeknya untuk mencari tahu ada apa gerangan.

'Hai ... tumben? Ada apa ,nih! Hmmm. Wah … mimpi apa nih aku semalam, tiba-tiba di chat Bang Oe,' candaku pura-pura tidak tahu.

"Nggak. Aku kangen aja ma kamu,' guraunya sambil berusaha menyakinkanku. Namun, dia tidak tahu jika aku sudah bisa menebak arah pembicaraannya akan berakhir dimana.

'Jangan kangen, Bang! Rindu itu berat . Biar Dilan aja,' jawabku sambil memberikan emot nyengir memperlihatkan gigi.

'He he he. Seperti biasa kamu suka hiperbolis.'

'Itulah aku.' Kupasang emot so cool padanya sambil terus berusaha mengulur waktu agar dia semakin ragu.

'Ayo dong panggil aku dengan panggilan khasmu. Aku pengen denger, nih!' kilahnya mencari alasan. Namun, aku tahu dan bisa menebak jika memang ada yang tak beres di sana.

Aku terus mencoba menjawab dengan gurauan untuk semakin mengusik keraguannya. Akhirnya sampailah pada puncak obrolan. Aku menyebut nama panggilan tersebut setelah ia berkali-kali mendesak. Kemudian ia berucap.

'Hampir saja kamu aku outkan dari grup jika nggak mau nyebutin panggilan itu. Sekarang aku yakin jika ini benar-benar dirimu bukan orang lain.'

Aku nyengir kuda sambil garuk-garuk kepala. Sepenting itukah arti sebuah nama panggilan? Padahal nama panggilan itu buat seru-seruan di grup saja tak ada arti special pun maksud lainnya.

Guna mengusir rasa ingin tahu, aku memberanikan diri untuk bertanya lebih jauh padanya.

'Lha, memangnya kenapa Bang dengan nama panggilannya. Babang tak tamvan nggak suka, ya? Aku panggil begitu. Maaf.'

Dalam rasa penasaran yang entah, degup jantungku tak karuan detaknya. Khawatir, cemas, takut salah-salah kata dalam bertanya memenuhi benakku saat itu. Kini, aku bisa bernapas lega saat jawabannya mengejutkan. Jauh dari kecemasan yang dikhawatirkan.

'Bukan begitu, justru karena panggilan itu aku jadi tahu yang chat denganku ini beneran kamu atau bukan. Nama itu adalah ciri khasmu di grup kami. Karena yang manggil aku dengan sebutan babang tak tamvan cuma kamu doang, nggak ada yang lain.'

Terperaga mendapati jawaban seperti itu. Mataku nyaris tak berkedip membaca balasan chat darinya.

Kini, aku mengerti kenapa ia terkesan mendesak agar aku memanggilnya sama seperti di grup, rupaya itu alasannya. Ya. Bisa jadi ia merasa bertanggung jawab atas keikutsertaan ku dalam menjaga keamanan grup. Mengingat jika dirinya yang telah menyeret diri ini ke dalam grup tersebut.

'Bagus Babang tak tamvan, berarti nggak mudah percaya dengan kabar yang beredar di luaran sana sebelum mencari tahu kebenarannya terlebih dahulu. Pertahankan kepemimpinan yang seperti itu,' ucapku memujinya sambil memberikan emot cap jempol satu.

Ia memberikan emot nyengir dan tertawa, kemudian menjelaskan secara detail padaku mengenai kabar yang barusan ia dapat.

Ah, lagi-lagi dia bikin kisruh aja. Seharian ini aku menerima inbox an rata-rata bertanya benar tidak jika hp ku hilang, dari cara mereka bertanya sudah bisa dipastikan jika memang benar dia orang yang menyebarluaskan berita tersebut.

Entah apa maunya itu orang. Tingkahnya membuatku geleng-geleng kepala sambil mengelus dada.

***


'Mbak, ajari aku menulis puisi.'

Lagi satu inbox masuk mengejutkanku.

'Aku nggak bisa ngajarin, tapi mengarahkan aku bisanya.'

'Wes, opo ae jenenge. Pokoknya ajarin diriku.'

Aku membalasnya dengan emot ketawa. Dalam hati bergumam, 'ini orang maksa banget keknya. Hmmm.'

'Jadi, gimana Mbak?! Mau apa nggak."

'Udah aku bilang. Aku gak bisa ngajarin bisaku ngarahin. Ayo kita belajar nulis bareng aja.'

'Pokoknya ajarin. Titik.'

'Ai, kok maksa, sih!'

'Nggak mau tahu. Pokoknya ajarin! Please.'

Aku membalas chatnya dengan emot menepuk jidat dilanjutkan menggunakan stickers berpikir.

Setelah menimbang masak-masak pertimbangan, aku putuskan mengiyakan kemauannya.

Seiring berjalannya waktu ia mulai terasah kemampuannya walau tak jarang kami harus berargumen mempertahankan prinsip dan keyakinan masing-masing. Tulisannya mulai tertata meski dengan perombakan sana sini.

Ia memang gigih belajar tapi berwatak keras dalam hal prinsip. Tak segan wataknya itu diungkapkan secara gamblang padaku sambil meminta maaf karena sering ngeyel saat diberikan masukan.

Suatu hari tetiba ia kembali menginbox diriku.

'Makasih guru. Berkatmu tulisanku tertata. Jangan kapok ngajarin aku, ya?! Meski akunya bandel saat dibilangin.'

Dengan gurau aku balas emotnya dengan kasar.

'Dasar lho ….'

Ia nyengir kuda dan membalasnya dengan canda. Kemudian aku memberi ia wejangan.

'Jangan panggil aku guru. Sudah berapa kali aku bilang. Jangan panggil dengan sebutan itu. Aku bukan guru. Titik,' jawabku panjang kali lebar.

'Bagiku, kau guruku. Dan akan tetap aku panggil begitu.'

'Hd. Ngeyel.' 

Emot tanduk muncul sampai ngeluarin asap memenuhi chatnya tapi tidak digubris sama sekali membuatku terheran-heran.

'Sekali Kau panggil guru lagi, aku tak mau mengajarimu,' rajukku pasang emot kesal dan marah.

'Jangan dong! Aku belum bisa bener-bener nulis, nih! Iya deh iya. Guru .…'

Asem! Ini anak malah ngeledek.

Antara menahan geli dan kesal akhirnya aku membalas chatnya dengan stikers tanduk hip hop keluar asap.

'Wah, bu guru terlalu cinta ma aku,' balasnya sambil memberikan emot nyengir kuda.

'Bocah gemblung,' balasku.

'Karenamu.'

Aku nyengir sambil menahan geli membaca balasanya.

Akhirnya kami tertawa, bercanda ria membahas hal yang tidak penting dan konyol.

Sebenarnya, aku memang segan jika disuruh memberi krisan, hanya saja saat melihat kalimat tidak pada tempatnya ambigu atau semacamnya nurani ini terketuk untuk membetulkan. Sayangnya, aku sendiri tak lebih baik dari yang dikrisan. Tulisanku masih ancur-ancuran banyak typo, kalimat tak efektif dsbg.

Selain itu, masih banyak kekurangan sana sini dalam pembenahan. Parahnya lagi, saat aku meminta krisan balik mereka seolah tidak mau, mungkin segan, sengaja menghindar atau memang begitu adanya, manalah tahu. Yang jelas itulah yang sering terjadi padaku. Untuk itulah aku jadi segan sendiri saat diminta untuk mengkritisi karya orang. Bukan karena tidak mau tapi merasa kerdil ilmu.

Pernah ketika aku meminta saran dari senior, ia berkilah sudah ada orang lain yang memberi saran. Memang benar demikian, tapi aku berharap ia mau memberikan sedikit saja arahan agar tulisanku lebih bagus lagi. Apa mau dikata jika harapan tak sesuai dengan kenyataan, ya … begitulah akhirnya. Kecewa. Ditambah saat teringat awal-awal aku belajar nulis sering minta krisan pada senior tapi ya--- begitulah nada jawabannya, bukan ranaku memberi kritik. Maaf. Sudah ada Yang krisan. Udah bagus, kok! Dan entah apa lagi alasan mereka saat dimintai berbagi ilmu.

Sering mendengar kalimat penolakkan aku jadi bosan, serasa ingin nulis ancur-ancuran seperti ceker ayam melanggar ketentuan PUEBI dan KBBI  biar para komentator keluar dan membantai tulisanku dengan sadis. Namun, kembali harus mengelus dada dengan kata sabar. Aku urungkan niat tersebut karena merasa itu bukanlah diriku. Pansos demi mencuri perhatian komentator? Ah! Licik sekali, pikirku saat itu.  

Benar kata sebuah petuah bijak, ilmu itu mahal. Mengemis pun belum tentu bisa mendapatkannya, apalagi hanya sekedar meminta tolong.

Nyesek sudah pasti tapi si fakir ilmu ini berpikir positif saja, jika satu tangan tak bisa mengulurkan bantuan maka akan ada tangan lain yang siap mengulurkan jemarinya ke arah kita. Itulah hal yang aku yakini sampai sekarang dan itu memang terbukti telah terjadi.

Anggap saja menanam benih di tempat lain pada waktu tertentu akan ada panen yang menghampiri. Dan jujur aku lebih suka berada di belakang layar daripada menampakkan diri di depan. Karena aku yakin akan tiba masa dimana tanpa menunjukkan diri akan terlihat sendiri. Naif, ya? Pemikiran yang kerdil. Mungkin dan bisa jadi demikian.

Jadi, jangan panggil aku guru, karena aku bukan seorang guru pun tak ingin jadi guru kecuali untuk buah hatiku. Pun aku tak ingin ada kata guru menjadi sebagai penyekat antar sesama teman baik di grup maupun di luaran sana. Tak mau ada kata guru murid senior junior atau hal apapun yang menjadi celah sebagai penyekat.

Aku lebih senang jika berada di suatu tempat baik komunitas atau lainnya dengan sistem berdiri sama tinggi duduk sama rendah. Belajar bersama, saling bahu membahu, yang bisa ngajarin yang belum bisa. Jika ada salah yang lain membenarkan bagi yang lupa ada yang mengingatkan. Menurutku itu lebih bisa mengeratkan tali persaudaraan diantara sesama anggota. Jangan sampai karena adanya perbedaan diantara sesama menjadi sekat.

Tamat
Diubah oleh sriwijayapuisis 29-06-2020 03:49
makola
abahekhubytsany
adnanami
adnanami dan 20 lainnya memberi reputasi
21
5.6K
162
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan