nataliadennoupaAvatar border
TS
nataliadennoupa
Menjaring Angin
Berdiri di tepi balkon lantai tiga, kita bercerita sesekali tergelak ria. Menertawakan dunia dengan segala pelik yang tak mengenal kata sudah. Kau menunjuk-nunjuk orang yang berlalu-lalang di jalan. Katamu, mereka hanya sekumpulan orang bodoh yang berjuang dalam kesia-sian. Bangkit pagi, menyulam hari, dan terlelap untuk melakukan hal yang sama tanpa henti.

Kuakui, opinimu sama sekali tak salah. Setiap hari kita menjaring angin. Berupaya sekeras tenaga, hanya untuk memperoleh lelah dan setumpuk emas yang akan hilang ditelan kepentingan.

“Menjaring angin adalah takdir.” Kau berkata dengan penuh keyakinan. “Kita pun melakukan hal yang sama seperti mereka.” Mendongakkan kepala—menatap langit keperakan yang sebentar lagi berubah jingga—kau berdesis pelan.

Aku ikut menengadahkan kepala. “Namun, apa lagi yang bisa dilakukan? Duduk diam dan memandangi orang menjaring angin adalah kebodohan yang paling bodoh.”

“Aku bosan.”

Siapa yang tidak bosan dan jenuh terjebak dalam ketetapan yang menjemukan? Membangun kenaifan dengan dalih kepuasan. Belum lagi tekanan yang tidak pernah berhenti menekan perasaan. Kita terus-menerus diperhadapkan pada ketidaksejalanan—tendensi pada perselisihan.

“Adakah pilihan yang ditawarkan selain rasa bosan?” Aku bertanya dengan wajah datar, menatapnya dan kemudian tersenyum lebar. “Bisakah kita mengakhiri kejemuan—berhenti terjebak dalam rutinitas menjaring angin?”

Kau mengangguk, tanpa memandangku—masih menatap mega yang perlahan memucat tanpa sebab, menyingkirkan senja. “Bertarung hingga titik darah penghabisan pun tak ada hasilnya. Satu-satunya jalan mengakhiri ini semua adalah lenyap dari peredaran semesta.”

Aku tertawa. Mengembuskan napas pelan dan merentangkan tangan lebar-lebar. “Lari dari peredaran semesta, kemudian menjaring kesia-sian yang lebih tidak berguna?”

Kau tak menjawab tanya—mendadak bermuram durja. Aku tidak tahu apa yang saat ini berkelindan di kepalamu. Kau membisu seperti batu.

“Kau tahu apa yang lebih bodoh dari diam dan memandangi orang menjaring angin?” Aku memejamkan mata. Menikmati sendalu menabrak wajah. Rasanya damai dan menenangkan. Selaksa jenuh yang mengimpit dada terbang dalam kesunyian. “Berpikir bahwa lenyap dari semesta adalah jalan terakhir untuk menyelesaikan masalah. Itulah kebodohan sejati. Ciri pecundang yang akan memilih lompat dari lantai tiga daripada menjaring angin.”

Meskipun menjaring angin adalah kesia-sian belaka. Tak seharusnya makhluk berakal menyerah. Menikmati takdir itu mudah—asal kita menerima dan tidak memusingkan masalah.
ikatrisnand
iskrim
muyasy
muyasy dan 2 lainnya memberi reputasi
3
1.2K
38
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan