Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

jakarta0909Avatar border
TS
jakarta0909
Para Perempuan di Garis Depan Pertempuran
Mortir telah berdentoem/Tandanja moelai kami bikin berangkat ke medan perang/Seandainja beta goegoer di medan pertempoeran/selimoetilah badan ini dengan Sang Merah Poetih.

Demikian salah satu syair yang tersimpan dalam saku baju salah seorang anggota Laswi di Ciparay, Jawa Barat, yang gugur suatu hari pada Agustus 1946.




---

Perempuan di Garis Depan

Sebenarnya, jauh sebelum Perang Kemerdekaan juga sudah ada perempuan kombatan di Nusantara. Dari Aceh, misalnya, bisa disebut nama Laksamana Keumlahayati, Cut Nyak Dien, dan Cut Meutiah. Di Minagkabau ada Siti Mangopoh (Manggopoh), yang memimpin Pemberontakan Kamang 1908.

Maluku juga  punya Martha Christina Tihahu, yang terlibat dalam pertemuran di Desa Ouw, Saparua, ketika terjadi Pemberontakan Saparua pada 1817. Di Jawa ada Nyi Ageng Serang atau Raden Ajeng Kustiyah Wulaningsih Retno Edi, Panglima Perang Sultan Hamengku Buwono I dan ikut berperang melawan pasukan Belanda ketika pecah Perang Jawa atau Perang Diponegoro, 1825-1830.

Yang menarik, dalam Perang Kemerdekaan, keikutsertaan perempuan di medan tempur justru sempat mengundang polemik di media yang terbit di masa itu, apakah bisa dibenarkan atau tidak sesuai “kodrat” perempuan. Kenyataannya, sejumlah perempuan membuktikan mereka sama saja dengan laki-laki.


Jakarta dan Sekitarnya

Kronik Revolusi 1946 (1999) menyebut, aksi heroik kaum perempuan lainnya terjadi pada 17 Agustus 1946. Diungkapkan dalam buku itu,  Wanita Republik mencoba memprakarsai berdirinya Tugu Proklamasi di Jalan Pegangsaan Timur 56. Para perempuan pelajar dipimpin Maria Ulfah Santoso nekat menerobos penjagaan tentara Inggris, yang berupaya mencegah masuknya penduduk Jakarta ke tempat kediaman Perdana Menteri Sjahrir.

Sekelompok Pandu Putri itu tak peduli. Mereka menerobos kordon yang dipasang polisi-tentara dari India. Akhirnya tugu itu berhasil diresmikan oleh Perdana Menteri Sutan Sjahrir. Tidak terjadi sesuatu apa pun.

Wali Kota Jakarta Suwiryo sempat mengkhawatirkan tindakan tersebut mengandung risiko karena reaksi dari tentara Serikat (yang diboncengi NICA)  tidak bisa diduga. Tetapi, salah seorang tokoh perempuan Jakarta, Jo Masdani, mengatakan dengan ucapan yang terkenal, “Kalau kaum laki-laki takut, ya, biarlah perempuan yang tidak takut mati.”

Selain peristiwa pembangunan Tugu Prokalamasi, sejumlah literatur juga mengungkap Barisan Srikandi dengan tokohnya bernama Nyimah. Dicatat, Nyimah terluka karena bayonet NICA dalam sebuah pertempuran. Akibatnya, ia cacat seumur hidupnya.

Keberadaan Barisan Srikandi ini disebutkan dalam buku Indonesianis asal  Australia, Robert Cribb, Gangsters and Revolutionaries: The Jakarta People Militia and the Indonesian Revolution 1945-1949 (2009). Cribb  mengatakan, Nyimah dan Barisan Srikandi bermarkas di daerah Pucung, Cikampek.  


Aceh dan Daerah Lain

Perempuan kombatan ada banyak dalam sejarah Aceh. Perang yang panjang dengan Belanda selama puluhan tahun sejak 1873 membentuk militansi yang tidak dibatasi gender. Sesudah generasi Cut Nyak Dien dan Cut Meutiah, pada masa setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dibentuk Pocut Baren, sayap Barisan Rencong. Organisasi ini sebeutlnya bentukan Pesindo, organisasi yang dalam sejarah Indonesia di beberapa tempat diidentifikasi sebagai “sayap kiri”, namun di Aceh agak berbeda.

Komandannya bernama Zahara. Perempuan tentara (kebanyakan masih remaja) ini disebut secara terang-terangan dalam buku Sumatera Utara yang diterbitkan Kementerian Penerangan (1953) dan sebuah buku Perang  Kemerdekaan di Aceh 1945-1949. Namun, tidak dijelaskan dalam pertempuran apa resimen ini terlibat.

Selama Perang Kemerdekaan, Aceh merupakan daerah yang tidak berani dimasuki Belanda. Pada 1945 dan 1946 malah terjadi konflik berdarah dalam kelompok uleebalang dengan ulama. Tapi, resimen perempuan ini memang dilatih kemiliteran.

Nama pasukan Pocut Baren diambil dari Pocut Baren (1880-1933), seorang pahlawan dan perempuan kombatan yang gugur dalam Perang Aceh. Pocut Baren masih berusia 18 tahun ketika kehilangan suaminya pada 1898. Dia melanjutkan perjuangan melawan Belanda. Tentara Belanda menjadikan dia sebagai salah satu prioritas, karena keberadaannya dianggap berbahaya.

Pada 1906, dalam suatu pertempuran di Kuala Bhee, Baren tertembak di kakinya dan ditawan pasukan Marsose.Dia kemudian dibuang ke Jawa.

Keberadaan Pocut Baren memang jarang diungkap dalam penulisan sejarah Indonesia. Dalam artikel yang ditulis Elsa Clave Celik  dalam jurnal  Archipel 87 tahun 2014., “Silenced Fighters: AnInsight into Woman Combatans History in Aceh (17th-20th)”, ada kisahnya.

Masih banyak perempuan kombatan atau kiprah perempuan di garis depan pertempuran. Ada juga Soemartini (tokoh Laskar Puteri Indonesia) dan Sri Koeshartini yang bergabung di Brigade Pelajar Ke-17 di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Namun, seperti halnya Pocut Baren, kiprah mereka juga hanya disebutkan sepotong-potong.






emineminna
emineminna memberi reputasi
1
596
8
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan