Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

ibradconAvatar border
TS
ibradcon
Pandemi COVID di Indonesia: Terror Opini?




“Kebohongan yang diucapkan berulang-ulang akan diterima sebagai kebenaran”
(Goebbels)

Apa sesungguhnya pandemi?
Apakah Indonesia terkena dampak pandemi?
Bagaimana perkembangan terakhir di seluruh di dunia dan di Indonesia?
Mari kita pahami sejenak fakta berikut ini:
Pandemi adalah wabah penyakit yang terjadi pada wilayah geografis yang luas dan mempengaruhi proporsi yang sangat tinggi dari populasi (Merriam-Webster).

Suatu penyakit dapat dinyatakan sebagai epidemi ketika penyakit itu menyebar di wilayah yang luas dan banyak orang jatuh sakit pada saat yang sama.

Jika penyebaran penyakit semakin meningkat, epidemi dapat menjadi pandemi, yang menjangkau wilayah geografis yang lebih luas dan mempengaruhi atau menjangkit sebagian besar populasi.

Berdasarkan definisi pandemi dan epidemi yang sudah diterima luas tersebut di atas, wajar timbul banyak pertanyaan sebagai ungkapan keraguan rakyat Indonesia terhadap keputusan pemerintah menetapkan Covid-19 sebagai bencana nasional, yang disusul dengan berbagai kebijakan seperti pembatasan sosial berskala besar (PSBB) lengkap dengan pemberian sanksi bagi warga yang melanggarnya.

Fakta Covid-19 di Indonesia
Epidemi sebagai fenomena di mana terjadi penjangkitan penyakit terhadap banyak orang di suatu wilayah tertentu pada saat bersamaan (wabah) dan kemudian wabah itu secara cepat menyebar ke wilayah lain, secara faktual tidak terjadi di Indonesia khususnya apa yang dimaksud sebagai pandemi Covid-19.

Berdasarkan data resmi pemerintah sejak awal ditetapkan Covid-19 sebagai pandemoi dan bencana nasional, tidak terlihat sama sekali atau tidak ada bukti terjadi penjangkitan penyakit covid-19 secara massal atau wabah Covid-19 di suatu daerah tertentu dan pada waktu tertentu.

Bukti kedua - berdasarkan data resmi pemerintah juga, tidak terjadi lonjakan jumlah warga yang terjangkit atau meninggal dunia akibat penularan covid, di mana lonjakan itu harus signifikan, mencerminkan deret ukur sebagai hasil penularan masif.

Bukti ketiga, data pemerintah yang menunjukkan jumlah pengidap yang relatif tetap dari hari ke hari dengan penyebaran merata ke hampir seluruh wilayah Indonesia, dapat dimaknai bahwa tingkat penularan/penyebaran covid hingga hari ini belum dapat dikategorikan sebagai epidemi atau wabah jika merujuk batasan atau definisi wabah yang disepakati dan diterima luas di seluruh dunia.

Pasca penetapan wabah corona virus (Covid-1) sebagai pandemi global oleh WHO pada 12 Maret 2020, Presiden Jokowi menerbitkan Keppres Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Covid-19 tanggal 31 Maret 2020.

Keppres ini juga dikenal dengan sebutkan Keppres Darurat Nasional Covid-19. Pada tanggal 12 April 2020 Presiden Jokowi menerbitkan Perppu No. 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Covid.

Keppres dan Perppu terkait krisis pandemi itu diterima DPR dan mayoritas rakyat Indonesia tanpa banyak pertanyaan. Atas dasar itu pemerintah leluasa menerapkan pembatasan sosial skala besar (PSBB) berdalih penanggulangan pandemi dan pencegahan meluasnya penularan covid.

Setelah rakyat Indonesia merasakan berbagai kesulitan dan penderitaan dampak dari PSBB, barulah rakyat mulai melihat fakta dan kebenaran dari segelintir orang yang sejak awal bersuara kritis terhadap kebijakan pemerintah terkait pandemi covid. Bahkan pihak yang lantang menolak eksistensi pandemi covid di Indonesia mulai meraih banyak dukungan.

Pandemi menurut kamus terkemuka Merriam-Webster adalah wabah penyakit yang terjadi di wilayah geografis yang luas dan mempengaruhi proporsi populasi yang sangat besar/tinggi.

Mengutip definisi dari WHO, pandemi adalah epidemi yang terjadi di seluruh dunia atau wilayah yang sangat luas, melintasi batas internasional, biasanya menjangkiti penduduk dalam jumlah besar.

Berdasarkan definisi tersebut di atas, wabah covid dapat disebut sebagai pendemi global namun tidak sertamerta dapat diakomodir sebagai bencana nasional oleh suatu negara tanpa didasarkan pada fakta mengenai dampak pandemi global terhadap negara tersebut.

Indonesia sebagai contoh kasus dapat disimpulkan tidak terkena dampak signifikan dari pandemi global. Tidak ada penularan wabah covid dalam yang menjangkiti penduduk Indonesia dalam jumlah besar.

Berdasarkan data pemerintah dan hasil pengamatan di tengah-tengah masyarakat luas terbukti bahwa pandemi tidak eksis di Indonesia atau jika pun ada penularan covid hanya berdampak minimal di Indonesia.

Analisa pada data pemerintah dan hasil penelitian yang dilakukan berbagai kalangan terbukti bahwa:

Jumlah korban terinfeksi dan jumlah korban mati akibat covid yang dipublikasikan pemerintah diragukan kebenarannya, tidak akurat dan tidak kredibel.

Format data pemerintah yang disampaikan kepada publik tidak sesuai dengan standar WHO dan berbeda dengan negara lain. Penutupan akses publik pada data BPS dan Dinas Kependudukan (Ditjendukcapil/disdukcapil) semakin memperkuat tudingan publik bahwa data pemerintah tidak kredibel.

Berdasarkan temuan di lapangan dan pengaduan warga, banyak ditemukan pelanggaran dalam menghimpun data warga terinfeksi dan korban mati akibat covid. Pasien penyakit lain dimasukan sebagai terinfeksi covid dan penduduk meninggal karena sebab lain dinyatakan sebagai akibat covid.

Temuan paling telak membuktikan pandemi covid tidak eksis di Indonesia adalah dari kesimpulan atas analisa terhadap data harian jumlah korban meninggal dunia akibat covid yang disampaikan pemerintah. Terbukti tidak ada lonjakan tinggi pada angka kematian penduduk.

Di samping itu, jumlah total kematian harian penduduk yang disebut akibat covid sangat kecil di banding kematian disebabkan penyebab lain. Berdasarkan analisa pada data dari pemerintah dan temuan di lapangan dapat disimpulkan pandemi covid tidak terjadi di Indonesia atau wabah covid hanya berdampak minimal. Tidak ada karakteristik dari pandemi yang timbul di Indonesia.
Rezim Opini Pandemi

Opini memang sangat berbahaya jika terbentuk dari hasil rekayasa pihak tertentu apalagi oleh penguasa yang bermaksud menunggangi opini publik untuk meraih tujuan kotor seperti menumpuk dan melanggengkan kekuasaan, memperkaya diri (korupsi), menindas rakyat terutama oposan atau lawan politik.
Lebih berbahaya lagi jika opini digunakan sebagai alat meneror atau menyebarkan ketakutan di tengah rakyat atau alat untuk memudahkan asing mewujudkan agenda politiknya seperti agenda politik China: Sekulerisasi Indonesia.

Berbekal pengetahuan dan bukti yang cukup, penulis berani menantang debat siapa saja, kapan saja dan di mana saja terutama kepada pejabat pemerintah yang ngotot mengatakan bahwa Indonesia terkena dampak pandemi covid.

Tidak ada satu keluarga jadi korban wabah/epidemi/pandemi covid-19 di Indonesia.

Tidak juga satu desa jadi korban pandemi covid-19 di wilayah nusantara.

Tidak juga satu kecamatan, kabupaten, kota terbukti warganya terserang wabah covid.

Jika wabah apalagi pandemi covid 19 di Indonesia dapat dibuktikan, saya siap berhenti jadi manusia!

Pandemi covid-19 hanya ilusi yang diciptakan media melalui opini.
Pandemi covid-19 di Indonesia adalah teror opini.

Lalu apa sebenarnya yang terjadi?
Kenapa rakyat mudah diperdaya opini?


Opini Vs Fakta
Pemerintah sudah menyatakan dan menetapkan Indonesia sebagai negara terkena dampak pandemi covid. Pemerintah sudah menerbitkan berbagai kebijakan, menerapkan aturan, menjalankan strategi, memberikan sanksi dan seterusnya demi mengantisipasi bencana pandemi. Media massa sudah menyebarkan begitu banyak informasi menggambarkan keseriusan pandemi ini. Mayoritas rakyat Indonesia mempercayai informasi pemerintah dan opini yang ditanamkan media.

Permasalahan mencuat karena timbul keraguan dan banyak pertanyaan masyarakat mengenai eksistensi pandemi atau epidemi covid ini di Indonesia karena setelah bahaya pandemi ini digaungkan selama berbulan-bulan, mayoritas rakyat Indonesia tidak melihat dengan mata sendiri, tidak menemui, tidak mengalami sendiri penularan covid.

Sebaliknya, banyak warga diketahui melaporkan berbagai keganjilan seputar penularan covid: banyak warga meninggal dunia biasa, karena penyakit menahun atau penyakit tua, atau tidak ada bukti medis yang memadai namun semua dinyatakan sebagai akibat covid.

Demikian juga pasien-pasien dokter atau rumah sakit, banyak dilaporkan divonis sebagai terjangkit covid padahal tidak cukup bukti medis sebagai pendukung atau dasar vonis itu.

Dari pengakuan warga dan pemberitaan media banyak terungkap bukti bahwa ada anggaran khusus yang dapat dicairkan jika seorang warga dinyatakan meninggal dunia atau terjangkit covid. Anggaran itu dinikmati kontraktor tertentu atau rumah sakit tertentu yang terlibat dalam penciptaan kematian dan penjangkitan covid.

Banyak fakta penting tidak diungkap pihak otoritas seperti keterangan atau data detail terkait daerah asal korban covid yang tercantum dalam data resmi. Fakta bahwa tidak ada penjangkitan massal covid di suatu daerah tertentu pada saat atau waktu bersamaan membuktikan bahwa eksistensi covid sebagai suatu epidemi atau pandemi patut untuk dipertanyakan.

Fakta bahwa tidak ada lonjakan warga terinfeksi covid dengan jumlah yang signifikan dan meningkat berlipat ganda dari hari ke hari sebagaimana lazimnya suatu epidemi atau pandemi, menambah keraguan publik dan merupakan pertanyaan besar yang tidak mampu dijawab otoritas.

Laporan Situasi WHO
Memasuki hari ke -190 pandemi covid, laporan situasi WHO (lapsit) semakin meningkatkan keraguan berbagai kalangan seputar kebenaran penjangkitan covid sebagai pandemi.

Selama 190 hari jumlah kematian yang ‘dilaporkan sebagai akibat covid’ relatif stabil pada kisaran 4.000 – 7000 korban meninggal per hari.

Angka kematian ini jauh lebih kecil di bandingkan tingkat kematian normal dunia yang rata-rata mencapai 175 ribu kematian per hari atau dengan asumsi angka kematian akibat covid yang dilaporkan adalah benar maka tingkat kematian covid hanya 2 sd 3% dari total kematian dunia.

Bahkan jika data kematian akibat covid ditelaah lebih dalam, ditemukan fakta bahwa dari total kematian akibat covid sebagaimana dilaporkan: semuanya korban mati sebelum mengidap penyakit kronis diabetes, paru-paru, kanker, HIV, jantung, darah tinggi, asma, ginjal dan penyakit lever.

Data tersebut juga menyatakan hanya 4,9% korban meninggal akibat covid yang memperburuk penyakit yang diidap sebelumnya berusia 44 tahun ke bawah. Korban meninggal usia 45-64 tahun 23,1%, usia 65 -74 tahun sebanyak 24,6% dan usia 75 tahun ke atas 47.7% di mana semua korban mati adalah pengidap penyakit kronis bawaan sebelumnya.

Data WHO menegaskan bahwa jumlah korban mati akibat covid yang tidak mengidap penyakit kronis adalah 0%.

Sungguh disayangkan pihak otoritas Indonesia tidak pernah mengungkap data detail mengenai korban meninggal yang dilaporkan sebagai akibat covid. Data lengkap itu harus mencakup daerah asal (lebih rinci lebih baik), penyakit kronis yang diidap korban, tingkat kematian di daerah tertentu (cluster) dan penjelasan lengkap untuk menjawab keraguan mengenai eksistensi covid sebagai epidemi atau pandemi.

Berdasarkan uraian singkat di atas, saya mengajak masyarakat luas untuk menumbuhkembangkan kepedulian dan skeptisme terhadap pandemi covid dengan meluangkan waktu untuk menelaah dan menganalisa informasi seputar covid yang disampaikan pemerintah dan media guna menemukan kebenaran yang sesungguhnya.

Kita mudah mendapatkan data WHO seputar pandemi covid, laporan situasi harian WHO, data lengkap terkait pandemi covid dari berbagai negara dan seterusnya. Dengan meluangkan sedikit waktu dan ketelitian, kita mudah menemukan berbagai anomali yang dapat dijadikan bukti bahwa pandemi covid ini terutama di Indonesia adalah lebih merupakan opini ketimbang fakta.
Kesimpulan ini bukan berarti kita menolak eksistensi covid sebagai penyakit yang berisiko tinggi yang dapat membahayakan manusia, melainkan guna mengungkap fakta bahwa Covid-19 tidak termasuk kategori pandemi atau epidemi khususnya di Indonesia sebagaimana digembargemborkan setiap hari.
Dengan rasionalitas dan pembuktian kuat, kita – seluruh rakyat Indonesia akan dapat terhindar dari cengkeraman teror opini yang sudah berlangsung berbulan-bulan dan sangat merugikan kita sebagai warga negara dan bangsa Indonesia.


“Opini terbukti telah menyebabkan penderitaan terhadap umat manusia jauh lebih besar ketimbang bencana alam atau perang”
~ (Voltaire 1694 – 1778 M)

nomorelies
tien212700
tien212700 dan nomorelies memberi reputasi
2
711
6
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan