Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

Jin.XalibAvatar border
TS
Jin.Xalib
Ada Indikator Yang Munculkan Dugaan Jokowi Dukung Kebangkitan PKI


Jakarta, Dekannews- Mantan penasehat KPK Abdullah Hehamahua mengatakan, ada indikator-indikator yang memunculkan dugaan kalau Presiden Jokowi mendukung atau membiarkan kebangkitan PKI atau komunis gaya baru.

"Tak lama setelah terpilih dan dilantik menjadi presiden pada 2014, dalam salah satu pidatonya Jokowi mengatakan jangan hubungkan politik dengan agama. Ini berarti memisahkan politik dengan agama. Padahal sila pertama Pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, menurut Bung Karno, merupakan prima causa untuk sila kedua hingga kelima, yang artinya sila pertama merupakan inti yang menapasi sila kedua hingga kelima," katanya di Hotel Sofyan, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (22/6/2020).

Dengan memisahkan agama dari politik, memisahkan agama dari ekonomi dan memisahkan agama dari pemerintahan, lanjut Abdullah, berarti melepaskan sila pertama Pancasila dari sila kedua hingga kelima.

Indikator kedua, jelas mantan anggota Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) itu, ketika pada 2015 anggota DPR dari Fraksi PDIP, Ribka Tjiptaning, menerbitkan buku berjudul 'Aku Bangga Jadi Anak PKI', Jokowi membiarkannya dan tidak melakukan apa-apa. Padahal apa yang dilakukan Ribka itu bertentangan dengan UUD 1945, Pancasila, dan TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran PKI dan Pelarangan Menyebarkan Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme.

"Itu antara lain indikator-indikator yang memunculkan dugaan kalau Jokowi mendukung atau membiarkan kebangkitan PKI atau komunis gaya baru. Karena itu dia harus diproses untuk mengungkap apakah dia memang tidak tahu, dia itu agen, atau apa? Itu harus diproses di MK (Mahkamah Konstitusi)," tegas Abdullah.

Pria kelahiran Ambon 18 Agustus 1949 ini mengakui, keistimewaan PKI sehingga dapat bangkit lagi saat ini adalah, meski partai itu dibubarkan dan para tokohnya ditangkapi pada 1965, namun ajarannya tetap hidup dan dilanjutkan oleh generasi-generasi penerus para tokoh tersebut.

Saat para tokoh PKI ditangkapi, anak-anaknya ada yang masuk pesantren, madrasah hingga UIN (Universitas Islam Negeri) untuk melindungi diri dan melanjutkan misi orangtua dan kakek, nenek serta buyut mereka untuk menjadikan Indonesia sebagai negara komunis seperti China.

"Selama 32 tahun Orde Baru berkuasa, mereka masuk kemana-mana, ke semua sektor kehidupan masyarakat, dan setelah negara ini masuk Orde Reformasi, pada 2014 mereka muncul dalam kekuatan baru melalui PDIP," imbuhnya.

Abdullah mengingatkan sejumlah peristiwa yang pernah tejadi di Tanah Air yang dia yakini mengandung unsur PKI/komunisme gaya baru, seperti larangan menggunakan cadar di kampus-kampus UIN, seperti di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada 2017; terbitnya buku 'Aku Bangga Jadi Anak PKI' karya Ribka Tjiptaning; dan yang paling mutakhir adalah diangkatnya Rektor UIN Sunan Kalijaga Yudian Wahyudi menjadi kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), meski tim penguji disertasi pasca sarjana universutas rektor itu pernah bikin heboh karena meloloskan disertasi yang menghalalkan seks dan zina di luar nikah.

Setelah diangkat menjadi kepala BPIP, Yudian juga kembali membuat kehebohan karen mengatakan bahwa musuh Pancasila adalah agama.

"Pernyataan dia itu mengindikasikan kalau dia komunis, karena komunis memang tidak mengakui adanya agama," katanya.

Ketika ditanya apakah dia melihat bahwa inisiatif DPR menerbitkan RUU HIP ada kaitannya dengan BPIP?

Abdullah menjelaskan bahwa BPIP merupakan bentuk baru dari BP7 (Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) di era Orde Baru, dan BP7 merupakan bentuk baru dari Nasakom (Nasional, Agama dan Komunis) di era Orde Lama.

Meski demikian, kata Abdullah, apakah BPIP punya andil atau tidak dalam penerbitan RUU HIP oleh DPR, hal itu yang harus diusut.

"Kalau ide RUU HIP itu dari BPIP, maka harus dibubarkan, dan karena BPIP dibentuk oleh Presiden, maka Presiden harus diimpeachment," katanya.

Abdullah tak menampik kalau banyak keturunan PKI di DPR, namun ia yakin RUU itu terbit semata-mata bukan hanya karena hal itu, melainkan juga karena dampak penerapan demokrasi liberal sejak Orde Reformasi bergulir pada 1998.

Demokrasi liberal tersebut, kata Abdullah, membuat biaya mengikuti Pilkada, Pilpres dan Pileg di Indonesia menjadi yang termahal di dunia, karena di daerah-daerah, untuk menjadi kepala desa saja dibutuhkan dana minimal Rp1 miliar, sementara di Bekasi sekitar Rp5 miliar, di Tangerang sekitar Rp7 miliar, dan di Bogor sekitar Rp4 miliar.

"Kalau untuk menjadi kepala desa saja biayanya segitu, bagaimana kalau ingin menjadi bupati, gubernur, presiden, wakil presiden dan anggota DPR? Bisa ratusan miliar, karena untuk jadi anggota DPRD di tingkat provinsi saja biayanya bisa Rp50-100 miliar," jelas dia.

Dengan biaya sebesar itu, menurut Abdullah, jarang orang dapat memenuhinya sendiri, sehingga dibutuhkan sponsor. Konpensasinya, setelah terpilih dan menjabat, utang kepada sponsor harus dibayar. Caranya, antara lain dengan membuat aturan perundang-undangan yang mengakomodir kepentingan sponsor, seperti misalnya UU Minerba yang sudah disahkan DPR, dan Omnibus Law yang masih dibahas DPR dan menuai penolakan masyarakat.

Ketika ditanya siapa yang "memesan RUU HIP" kepada DPR? Abdullah meyakini kalau si pesan adalah pihak-pihak yang berhaluan komunis, dan pihak itu mungkin saja PKC (Partai Komunis China) karena hampir semua Parpol pendukung pemerintah telah memiliki kerjasama dengan PKC.

"Karena itu, siapa inisiator dan konseptor RUU HIP harus diusut dan dipidanakan, karena bukan saja akan mengganti Pancasila menjadi Trisila dan Ekasila, tapi juga untuk memberi peluang kepada PKI agar eksis lagi. Ini membahayakan kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara di Indonesia, dan juga bentuk makar terhadap Pancasila," tegasnya.

Data yang dihimpun menyebutkan, RUU HIP dibuat oleh Panitia Kerja (Panja) RUU HIP yang dipimpin politisi PDIP Rieke Dyah Pitaloka. Panja ini beranggotakan 80 anggota DPR dari sembilan fraksi di lembaga legislatif tersebut, namun hanya ditandatangani tujuh fraksi, yakni PDIP, Gerindra, Golkar, PAN, PPP, PKB dan NasDem, karena dua fraksi menolak RUU tersebut, yakni PKS dan Demokrat.

RUU HIP ditolak karena Panja RUU ini tidak menjadikan TAP MPRS Nomor 25/MPRS/1966 tentang Pembubaram Partai Komunis Indonesia dan Larangan Menyebarkan Ajaran Komunisme/Marxisme/Leninisme sebagai pertimbangan dalam penyusunannya, sehingga dicurigai memberi peluang kepada PKI untuk bangkit kembali.

Selain itu, RUU ini memeras Pancasila menjadi Trisila yang terdiri dari sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, dan ketuhanan yang berkebudayaan, dan Trisila itu diperas lagi menjadi Ekasila, yakni gotong royong.

Pemerasan Pancasila menjadi Trisila dan kemudian Ekasila ini dinilai sebagai upaya terselubung untuk melumpuhkan sila pertama Pancasila, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa.

Yang juga penting untuk dicatat, terbitnya RUU HIP dinilai hanya akan menurunkan derajat Pancasila sebagai ideologi bangsa, karena jika RUU ini disahkan DPR, maka Pancasila diatur dalam sebuah undang-undang, yakni UU HIP.

Pada bagian menimbang huruf c UU Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab Undang-undang Hukum Pidana Yang Berkaitan Dengan Kejahatan Terhadap Negara, dinyatakan "bahwa paliam dan ajaran Komunisme/Marxisme/Lenimisme dalam praktek kehidupan politik dan kenegaraan menjelmakan diri dalam kegiatan-kegiatan yang bertentangan dengan asas-asas dan sendi-sendi kehidupan bangsa Indonesia yang bertuhan dan beragama serta telah terbukti membahayakan kelangsungan hidup bangsa Indonesia".

Pasal 107 dan 108 UU ini mengatur sanksi yang tidak ringan bagi orang-orang yang menyebarkan paham Komunisme/Marxisme/Leninisme dan yang bekerjasama dengan partai komunis di luar negeri.

Pasal 107a menyatakan; "Barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan, dan atau melalui media apapun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan perwujudan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun".

Pasal 107d menyatakan; "Barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan dan atau melalui media apapun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/
Marxisinc-Leninisme dengan maksud mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar Negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun".

Sedang pasal 107 e menyatakan: "Dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun:
a. barang siapa yang mendirikan organisasi yang diketahui atau patut diduga menganut ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme atas dalam segala bentuk dan perwujudannya; atau
b. barang siapa yang mengadakan hubungan dengan atau memberikan bantuan kepada organisasi, baik didalam maupun di luar negeri, yang diketahuinya berasaskan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme atau dalam segala, bentuk dan perwujudannya dengan maksud mengubah dasar negara atau menggulingkan Pemerintah yang sah".

Isu yang beredar menyebutkan, saat ini ada lima Parpol yang menjalin kerjasama dengan PKC, yang semuanya merupakan partai pendukung pemerintahan Jokowi. Di antaranya PDIP dan Golkar. (rhm)


NEO PKI


Soekarno bukan komunis dia nasionalis.. tp PKI mesra sama beliau.

Jangan sampai terulang lg Neo-PKI menempel sama kekuasaan, memangkas pancasila menjadi trisila dan ekasila, KYME dinistakan menjadi ketuhanan yang berkebudayaan. Golongan yg pernah terluka oleh PKI siap melawan, People Power....!!!
bontakkun
cacarakan
kelazcorro
kelazcorro dan 10 lainnya memberi reputasi
-9
1.7K
37
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan