i.am.legend.Avatar border
TS
i.am.legend.
Isu Utama Sidang Kasus Novel Tertutup Trend Bintang Emon Diserang Buzzer


Isu Utama Sidang Kasus Novel Tertutup Trend Bintang Emon Diserang Buzzer

Suara.com - Pakar media sosial dari Drone Emprit dan Media Kernels Indonesia, Ismail Fahmi menyebut isu komika Bintang Emon diserang buzzer telah mengalahkan isu utama terkait persidangan kasus penyiraman air keras penyidik KPK Novel Baswedan.

Ismail menjelaskan isu tentang kasus Novel Baswedan awalnya meningkat sejak Jaksa Penuntut Umum menjatuhkan tuntutan hanya satu tahun penjara terhadap terdakwa penyiram air keras, puncaknya 12 Juni 2020 dengan 44 ribu mention.

Kemudian, reaksi publik atas tuntutan tersebut menimbulkan tren kata "Gak Sengaja" pada 13 Juni dengan 67 ribu mention. Komika Bintang Emon juga turut membuat konten video materi lawakan terkait isu ini.

Satu hari kemudian 15 Juni 2020, Bintang Emon mendadak diserang oleh segelintir buzzer yang membuat publik bereaksi hingga isu utamanya tersingkirkan, total ada 233 ribu mention reaksi atas serangan buzzer ini.

"Dari trend di atas, tampaknya netizen bergeser perhatiannya, dari membahas isu esensial (Novel Baswedan) menuju isu penyerta," kata Ismail melalui twitternya @ismailfahmi dikutip Suara.com, Selasa (16/6/2020).

Ismail kemudian memaparkan berdasarkan peta SNA (Social Network Analysis), ada satu cluster besar yang membahas kedua kata "Gak Sengaja" dan "Emon" lebih banyak dibuat oleh netizen biasa dan para top influencer.

"Dari peta SNA di atas, akun-akun (akun-akun) dalam sub cluster Pro Oposisi lebih banyak fokus pada frasa "Gak Sengaja" sedangkan netizen umum lebih banyak bahas "Emon"," ujarnya.

Total pengguna yang membicarakan "gak sengaja" ada sebanyak 119 ribu akun. Ismail pun berhasil menganalisis 58 persen akun atau 69 ribu akun dengan angka 1,65 yang berarti akun-akun tersebut natural bukan akun bot.

Lebih lanjut, Ismail juga memaparkan bahwa media online kebanyakan lebih banyak membahas isu utama ketimbang isu serangan buzzer ke Bintang Emon.

"Sementara netizen di media sosial dalam periode yang sama lebih banyak membahas isu penyerta yaitu "Gak Sengaja" dan "Emon"," pungkasnya.
sumber

***********

Tuhan itu Maha Adil. Dan Tuhan membuktikan keadilannya dengan melihat, bukan dengan mata tertutup. Jika kita melihat lambang peradilan yang dilambangkan dengan sebuah timbangan, terkadang ada sesosok wanita disana dengan mata tertutup. Dialah Dewi Themis, Dewi Keadilan yang diambil dari mitologi Yunani. Kenapa Dewi Themis digambarkan dengan mata tertutup? Itu adalah perumpamaan bahwa sebuah hukum peradilan harus menimbang dengan seadil-adilnya, dan memutus sebuah perkara tanpa melihat siapa yang diadili, apa kasusnya.

Adil. Itu hal yang utama yang kini tengah disuarakan oelh banyak masyarakat Indonesia.
Menuntut keadilan? Mungkin bagi anak kemarin sore yang suka komen alay di sosmed sekedar ikut-ikutan, bicara keadilan hanya bicara soal Novel Baswedan. Mereka tak pernah tahu berita soal Sengkon dan Karta jaman Orde Baru yang menderita karena salah tuduh dan akhirnya dipenjara bertahun-tahun. Atau kasus Pakde yang diseret dalam kasus kematian model montok Ditje yang ditenggarai didalangi oleh keluarga untouchable. Atau kasus Marsinah yang kemaluannya dirusak oleh oknum aparat akibat membela kaum buruh. Atau Sum Kuning yang menjadi korban pemerkosaan yang melibatkan orang besar. Atau kasus-kasus yang lainnya yang bukan hanya membawa derita tubuh bagi korbannya, tetapi juga sampai membawa kematian!

Plissss.... kalau mau bicara keadilan, bicaralah terlebih dahulu dengan adil. Bukan memihak kubu ini atau kubu itu. Bukan pro ini atau pro itu. Kalau mau bicara keadilan tapi ente semua sudah memposisikan diri menjadi pendukung salah satu kubu, maka suara yang keluar menjadi subjektif! Menjadi bias! Karena bisa saja suara ente-ente yang keluar adalah berdasarkan kebencian semata.

Tuhan Maha Adil. Dan Tuhan membuka mata semua orang dengan caraNya sendiri. Ketika sebuah kasus mengemuka di masyarakat, pasti banyak orang yang kepo. Mereka berlomba-lomba mencari jejak digital siapapun yang terlibat kasus tersebut, terutama tokoh utama yang terlibat dalam sebuah kasus.

Betapa banyak orang yang marah ketika Novel Baswedan seolah teraniaya dengan begitu pedihnya, dirudapaksa hukum yang selama ini dibelanya. Begitu marahnya orang ketika mereka para penganiaya Novel Baswedan hanya dituntut 1 tahun penjara oleh JPU. Maka dicarilah jejak digital JPU tersebut, berharap dari sana, serangan akan berlipat ganda buat mendeskreditkan pemerintah.

Dan ketika mereka tahu siapa JPU tersebut, mereka terdiam. Ternyata JPU yang menuntut 1 tahun penjara orang-orang yang membuat Novel Baswedan cacat adalah orang yang pro dengan Gerakan 212, orang yang juga sekubu dengan mereka, yang mungkin sekawan dengan Novel Baswedan, bahkan sekawan dengan orang-orang yang menghantarkan saudara Novel Baswedan, yaitu Anies Baswedan menduduki kursi Gubernur DKI jakarta.

Terpukul? Jelaslah.
Ditambah lagi, ternyata JPU tersebut adalah orang yang sama yang menuntut Ahok dalam kasus penistaan agama, yang bagi sebagian orang juga, yang pastinya tidak sekubu dengan mereka yang bersuara dalam kasus Novel Baswedan ini, benar-benar menuntut dengan tidak adil.

Coba kita pikir bersama. Pakai hati nurani.
Orang yang menuntut penjara hanya 1 tahun kepada penganiaya Novel Baswedan adalah orang yang juga menuntut Ahok. Ketika Ahok dituntut penjara, banyak yang memuji JPU ini. Menganggap bahwa tuntutannya adil. Mereka mendukung dengan senang. Dan ketika dia menuntut lagi dalam kasus Novel Baswedan, mereka bilang JPU ini tidak adil. Bayangkan. Sebutan adil dan tidak adil disematkan kepada orang yang sama. Kalau sudah begini, masihkah ingin menuntut keadilan? Keadilan yang seperti apa yang diinginkan? Yang seperti menuntut Ahok? Kacamata adil yang mana yang mau dipakai? Keadilan berdasarkan kebencian? Atau keadilan berdasarkan keberpihakan?

Banyak yang lupa, bahwa dalam sebuah pengadilan, yang menentukan sebuah putusan adalah Hakim, bukan JPU. Bisa saja Hakim memutus perkara dengan putusan hukuman yang lebih besar kepada para terdakwa. Bisa juga lebih kecil dari tuntutan JPU. Tapi banyak contoh bahwa seorang Hakim ternyata memutus sebuah perkara berbeda dengan tuntutan JPU, yang pada akhirnya memutus terdakwa dengan hukuman penjara yang lebih besar atau lebih lama dari tuntutan JPU. Lalu kenapa ente semua udah ribut duluan? Hakim belum memutus perkara. Sabar brur. Dan tak jarang juga, seorang Hakim "mungkin" mendengar juga tuntutan dari masyarakat yang besar. Bisa jadi itu masuk dalam pertimbangan seorang Hakim. Kita tak pernah tahu isi hati seorang Hakim. yang jelas, dia dituntut untuk memutus perkara dengan seadil-adilnya, dengan mata "tertutup" tanpa melihat apa dan siapa. Begitu kan? lalu kenapa ente udah pada ribut seperti kebakaran jembud?

Dan ketika mata masyarakat tengah fokus terhadap kasus Novel Baswedan. Ketika masyarakat tengah gencar mengkritisi tuntutan JPU yang dulu pernah menuntut tidak adil terhadap Ahok......., eh ujug-ujug ada orang yang ngoceh lewat keahliannya bermonolog di panggung, menyindir soal kasus ini, kasus yang masih berjalan.

Ketika komentarnya mendapat serangan dari akun-akun anonim yang tidak jelas, yang semua tidak tahu siapa dia, dengan followers segelintir, semua membela dengan satu suara, menyalahkan pemerintah. Bahwa mereka yang menyerang di dunia maya itu adalah buzzer pemerintah. Mereka membela orang ini yang difitnah, tapi dengan cara memfitnah juga. Waras?

Dan wusssss, otomatis pandangan tertuju kepadanya. Semua justru lupa dengan kasus yang tengah dikawalnya. Novel Baswedan yang kemarin-kemarin masih berdiri didepan dan terlihat terang benderang, tiba-tiba terhalang oleh seseorang ini, yang secara langsung atau tidak langsung mendapat tempat tersendiri di dunia maya, nambah followers, nambah ngetop.

Orang ini stress. Nampaknya dia tidak siap diserang di dunia maya. Seolah dunia komika hanyalah dunia tawa-tiwi, dunia lucu-lucuan saja. Tak perlu diseriusin. Lantas kenapa dia anggap serius serangan tersebut? Kenapa tidak dianggap sebagai candaan semata? Komentari saja dengan tawa-tiwi seperti biasanya. Toh dengan adanya serangan itu, berkahnya bisa nambah followers kan? Rugi? Ya gak. Bahkan bisa jadi modal mengendorse produk. Iya gak sih?

Yang miris, ada sekelompok orang koplak yang mensejajarkan kasusnya dengan Marsinah, Widji Thukul.
Eh, bodoh! Marsinah mati! Kemaluannya dikoyak! Dia disiksa! Dia memperjuangkan buruh dijaman Orde Baru!
Eh tolol! Widji Thukul hilang tak tentu rimbanya. Mungkin juga dia sudah mati ditanam dalam tanah disebuah tempat oleh pihak-pihak yang terganggu dijaman Orde Baru.
Lha ini dia, yang cuma komentar lalu mendapat followers banyak, lu sejajarin dengan kedua orang tersebut? Luka kagak! Cacat kagak! Mati kagak! Malah dapat undangan postcast yang pasti dapat duit, dibayar. Lu waras?

Justru lu harusnya heran. Ketika kasus orang ini mengemuka, justru masalah utama soal Novel Baswedan jadi terkubur. Kenapa gak ada cucokmologi atau dugaan konspirasi?

Sekali lagi, jika mau bicara soal keadilan, singkirkan dulu keberpihakan. Lu teriak buzzer ke pihak lain, bisa jadi lu justru buzzer buat pihak lain. Kan gak enak jadinya.

Kita memang punya Pancasila. Dan Pancasila sekarang ini tengah dirongrong oleh isu neo komunisme, yang justru disuarakan oleh para pengusung Khilafah. Sadari itu. Dan Sila kelima, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, masih sebatas angan-angan. Keadilan di Indonesia masih sebatas mimpi. Kalau mau kita raih, bersihkan dulu hati. Gak usah sok iye di dunia maya. Ketidakadilan banyak kita temui didepan mata, dalam kehidupan sehari-hari. Coba sentuh itu aja dulu, baru bicara hal yang lebih besar.

Begitu.
Diubah oleh i.am.legend. 19-06-2020 08:06
phyu.03
saltnic
iamnoone
iamnoone dan 74 lainnya memberi reputasi
67
8.5K
178
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan