Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

i.am.legend.Avatar border
TS
i.am.legend.
Rencana Pelibatan TNI Hadapi Terorisme Dianggap Membahayakan HAM


Rencana Pelibatan TNI Hadapi Terorisme Dianggap Membahayakan HAM

TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari sejumlah lembaga yang fokus pada isu hak asasi manusia (HAM) meminta seluruh fraksi di DPR RI menolak rancangan Peraturan Presiden tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme. Mereka berdalih aturan itu berbahaya bagi penegakan hukum dan HAM di Indonesia dan bertentangan dengan Undang-Undang tentang TNI.


Koalisi menilai aturan itu memberikan mandat yang luas dan berlebihan kepada TNI. Terlebih pengaturan tersebut tidak diikuti mekanisme akuntabilitas militer yang jelas untuk tunduk pada sistem peradilan umum.

Menurut koalisi, hal itu membuat penanganan tindak pidana terorisme oleh TNI lewat fungsi penangkalan, penindakan dan pemulihan (Pasal 2 Rancangan Perpres) memberi cek kosong bagi militer dan berbahaya.

"Jika terjadi kesalahan dalam operasi yang mengakibatkan terlanggarnya hak-hak warga negara, mekanisme pertanggungjawabannya menjadi tidak jelas," kata peneliti Imparsial, Husein Ahmad, dalam keterangan tertulis, Sabtu, 9 Mei 2020.

Deputi Koordinator KontraS, Feri Kusuma, menuturkan pengaturan fungsi penangkalan seperti yang tertuang dalam Pasal 3 rancangan ini sangat luas, namun tanpa penjelasan yang lebih rinci. Imbasnya TNI berhak terlibat dalam penanganan tindak pidana terorisme, baik di dalam maupun di luar negeri.

Koordinator Program Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), Julius Ibrani, berujar istilah penangkalan tidak dikenal dalam Undang-Undang No 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Menurut dia, UU tersebut hanya mengenal istilah pencegahan yang dikoordinasikan oleh BNPT, bukan TNI. "Berbeda halnya dengan Rancangan Perpres ini, TNI diberi kewenangan untuk dapat melakukan pencegahan (Pasal 7 Rancangan Perpres)," tuturnya.

Julius mencontohkan masalah yang bisa timbul jika perpres ini sah adalah militer bisa mengambil alih tugas penegak hukum. Padahal hakikat dibentuknya TNI adalah sebagai alat pertahanan negara yang dilatih untuk menghadapi perang. "Bukan untuk penegakan hukum," ujar dia.

Direktur LBH Pers, Ade Wahyudin, menambahkan tugas militer dalam mengatasi kejahatan terorisme selayaknya ditujukan khusus untuk menghadapi ancaman di luar negeri, seperti pembajakan kapal atau pesawat atau operasi pembebasan warga negara Indonesia di luar negeri.

Jika TNI ingin terlibat penanganan terorisme di dalam negeri, maka sifatnya hanya perbantuan kepada aparat penegak hukum. Pelibatannya pun harus melalui keputusan politik negara seperti yang tertuang dalam UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI, yakni keputusan presiden yang dikonsultasikan dengan DPR

"Sementara di dalam Rancangan perpres ini, pengerahan TNI dalam mengatasi tindak pidana terorisme dapat dilakukan hanya melalui keputusan presiden tanpa ada pertimbangan DPR yang disyaratkan oleh UU TNI," ucap Husein.
sumber

*******
Bagi mereka yang tak pernah memgalami hidup masa Orba mungkin melihat TNI itu putih dan bersih. TNI tak pernah terlibat dalam politik. TNI tak pernah terlibat dalam kasus pelanggaran HAM. Sehingga ketika pilpres seorang mantan petinggi TNI jadi capres, maka mereka berharap Indonesia akan kuat, bernyali, hebat, dan gahar. Begitu mungkin pemikiran mereka.

Tapi bagi sebagian dari mereka yang pernah mengalami masa Orba, pasti masih tidak dapat melupakan wajah TNI yang kala itu ikut campur masalah politik, dalam bisnis besar, pelanggaran HAM, hingga menjadi alat kekuasaan.

Namun jika kita hanya melihat ke masa lalu, nampaknya tidak adil. Sebab wajah TNI sekarang ini sudah banyak berubah. Mereka jelas tak lagi dapat porsi di MPR/DPR. Jikapun ingin terjun ke politik, maka seorang anggota TNI harus menjadi masyarakat sipil terlebih dahulu.

Mengenai penanganan terorisme, TNI jelas sudah banyak terlibat, baik itu terlihat maupun tidak. TNI punya satuan anti teror. Dan satuan anti teror jelas untuk menangani sebuah kasus teror yang pastinya dilakukan oleh teroris.

Pastinya banyak masyarakat yang gemas kala melihat kenyataan bahwa penanganan masalah teroris seolah berlarut-larut, tak pernah tuntas hingga keakarnya. Sehingga masyarakat menginginkan TNI turut serta terlibat langsung secara jelas sesuai porsinya. TNI tidak lagi hanya menjadi pemeran pembantu dalam sebuah operasi.

Bicara soal penegakan HAM, sejak lama LSM-LSM pegiat HAM dianggap sebagai ular berkepala 2. Mereka hanya berteriak tentang HAM jika korbannya adalah masyarakat sipil, akan tetapi mereka bungkam ketika aparat kepolisian dan TNI menjadi korban. Merekapun bungkam ketika masyarakat sipil menjadi korban teror.

Kalau sudah begini, siapa yang patut didengar?

Aaplagi TNI juga tak punya peran besar untuk menangani masalah KKB yang sebenarnya adalah pemberontak, sehingga anggota TNI yang bertugas menjaga pembangunan infrastruktur selalu menjadi korban.

Jika harus memilih, apakah sepatutnya TNI ikut serta dalam penanganan teroris atau tidak, TS lebih setuju agar TNI ikut serta.

Agak tergelitik juga dengan ucapan petinggi LBH yang mengatakan bahwa TNI hanya pantas turun dalam operasi penyelamatan WNI di luar negeri atau pembajakan pesawat. Pertama, jelas untuk melaksanakan operasi di wilayah negara sahabat tidak bisa semudah membalik telapak tangan. Yang kedua, bahwa operasi pembebasan dalam pembajakan pesawat sebenarnya adalah operasi menghadapi teroris. Bagaimana petinggi LBH tidak paham dalam hal ini?

Terakhir, kita lihat nanti siapa-siapa anggota DPR yang akan menolak TNI ikut serta dalam penanganan teroris, dan dari golongan mana mereka.

anasabila
onik
zafinsyurga
zafinsyurga dan 59 lainnya memberi reputasi
60
3.2K
94
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan