Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

LordFaries3.0Avatar border
TS
LordFaries3.0
ABK Jadi Korban Budak di Kapal Ikan China,Negara Dimana dan Buat Apa?

Jakarta, law-justice.co - Ditengah mewabahnya virus corona, bangsa Indonesia dikejutkan oleh berita duka dari mancanegara. Sebanyak 18 anak buah kapal (ABK) asal Indonesia diduga telah dijadikan budak oleh sebuah kapal ikan China. Berita duka itu menyebar setelah tanggal 6 Mei 2020 lalu, televisi Korea Selatan MBC menyiarkannya.

Dari 18 warga negara Indonesia itu, 4 ABK dikabarkan meninggal dunia. Satu orang mengembuskan nafas terakhirnya di Korea Selatan dan 3 ABK jenasahnya dilarung di tengah Samudera. Peristiwa ini tentu saja membuat geram bangsa Indonesia disaat memanasnya isu kedatangan WNA China yang tetap masuk ke Indonesia ditengah wabah corona.

Seperti apa gambaran kekejaman praktek perbudakan yang dialami warga negara Indonesia diatas kapal ikan China ?, Mengapa kasus perbudakan diatas kapal penangkap ikan ini masih terus berulang untuk yang kesekian kalinya ?. Bagaimana aspek hukum perbudakan di atas kapal China ?

Kejamnya Mereka
Gambaran kekejaman yang dialami oleh warga negara Indonesia di atas kapal penangkap ikan China dapat disimak melalui cerita yang disampaikan Pimpinan Pusat (PP) Gerakan Pemuda (GP) Ansor Gus Yakut yang mendapatkan kabar itu dari Ketua Serikat Pekerja Perikanan Indonesia (SPPI) Korea Selatan, Ari Purboyo sebagaimana dikutip nusadaily.com 7 /05/.20.

Gus Yaqut menceritakan, ia mendapat kabar dugaan TPPO yang menimpa 18 ABK asal Indonesia tersebut langsung dari Ketua Serikat Pekerja Perikanan Indonesia (SPPI) Korea Selatan, Ari Purboyo. Ari mengatakan, ke-18 ABK tersebut sudah mengarungi lautan lepas hampir setahun lamanya. Menurut keterangan salah satu ABK yang disampaikan ke Ketua SPPI Korea Selatan, mereka hanya digaji sebesar 140.000 won atau setara Rp1,7 juta setelah 13 bulan bekerja.

Menurut Gus Yaqut, kabar ini juga dibenarkan Ketua Umum SPPI, Ach. Ilyas Pangestu. Keterangan Ilyas, kapal tuna bernama Longxing 629 itu berbendera Republik Rakyat China dan milik perusahaan bernama Dalian di China.

Kata Ilyas, Longxing 629 berangkat dari Busan, Korea Selatan, pada 14 Februari 2019, menuju samudera. Setelah 15 hari berada di laut lepas di sekitar Samoa, kapal ini mulai menangkap ikan tuna. Kapal tersebut menangkap ikan selama 8 bulan dan berhenti menangkap ikan tuna setelahnya.

Kata Ilyas menjelaskan bahwa pada bulan Desember 2019, dua ABK asal Indonesia jatuh sakit. Karena sakitnya semakin serius, para kru mendesak kapten kapal untuk melabuhkan kapal agar kedua ABK tersebut mendapatkan penanganan medis sebagaimana mestinya. Akan tetapi kapten kapal menolak dengan alasan tidak mendapatkan otorisasi dari perusahaan yang menugaskannya.

Menurut keterangan Ilyas, tanggal 22 Desember 2019 pagi, seorang ABK dengan inisial (S) meninggal dunia. Kapten kapal lantas melarung jenasah (S) ke laut pada sore di hari yang sama. Kemudian pada tanggal 27 Desember 2019, seorang ABK lain yang sakit dipindahkan ke kapal lain, Longxing 802 yang sedang perjalanan menuju pelabuhan terdekat di Samoa. Setelah 8 jam berada di di Longxing 802, ABK yang berinisial (Al) menyusul meninggal dunia, dan mayatnya juga dilarung ke tengah Samudera.

Karena kejadian ini, lanjut Ilyas seperti dikutip Gus Yaqut, kru Longxing 802 panik dan minta dipulangkan saja. Longxing 802 berlayar kembali ke Busan Korea. Pada tanggal 27 Maret 2020, para ABK tersebut dipindahkan ke kapal lain yang bernama Tian Yu 8 yang sedang perjalanan ke Busan. Pemindahan ini untuk menghindari kemungkinan penolakan berlabuhnya kapal Long Xing karena adanya insiden kematian ABK-nya.

Dikatakan Ilyas, pada 29 Maret 2020 ketika Tian Yu 8 mendekati perairan Jepang, seorang ABK yang berinisial (Ar) meninggal dunia dimana mayatnya juga dilarung ke laut sebagaimana 2 teman yang telah mendahuluinya . Kapal akhirnya tiba di Busan pada 24 April 2020. Melalui tugboat semua ABK dibawa ke imigrasi, setelah itu dikarantina di sebuah hotel dikarenakan adanya pandemi virus corona.

Masih menurut Ilyas, ada satu ABK lagi atas nama (Ef) yang meninggal dunia saat perjalanan ke rumah sakit pada tanggal 27 April 2020, sehingga total ABK yang gugur dalam tugas ada 4 WNI. Adapun yang tersisa di Busan ada 14 orang sedang menjalani karantina.

Pada prinsipnya selama menjadi budak mereka diperlakukan tidak manusiawi sehingga melanggar hak hak azasi manusia. Mereka bekerja dalam waktu yang sangat panjang dan menerima upah hanya 150.000 sebulannya.Kalau meninggal karena penyakit, jasad mereka dilarung atau dihanyutkan ke tengah Samudera.

Selain itu, ABK WNI di kapal asing tersebut juga mengaku mengalami ekspoitasi yang berlebihan. Mereka harus berdiri selama 30 jam untuk menangkap ikan. Waktu kerjanya, berdiri itu 30 jam. Setiap 6 jam makan, saat jam makan itulah yang dimanfaatkan untuk duduk setelah berjam jam berdiri menopang tubuhnya

Diskriminasi pun harus mereka rasakan di kapal tersebut. Mereka mengaku ABK China meminum air botolan dari darat, sementara para WNI minum air laut yang disuling sehingga mengganggu kesehatannya. Karena setiap kali minum air tersebut, para ABK warga negara Indonesia mengaku sakit tenggorokannya.

Bukan Yang Pertama
Kasus perbudakan di kapal penangkap ikan itu sebenarnya bukan kali ini saja terjadinya. Gejala perbudakan sebenarnya sudah terjadi sejak bulan Desember 2019 lalu ketika salah seorang ABK Indonesia meninggal diatas kapal nelayan China.

Saat itu salah seorang ABK yang bernama Alfatah sedang menderita sakit diatas kapal tanpa pengobatan sebagaimana layaknya orang sakit pada umumnya. Akhirnya Alfatah meninggal dalam keadaan menderita. Oleh Kapten Kapal China Long Xing 902 mayat Alfatah diperintahkan untuk dibuang ke tengah samudera.


Kasus Muhammad Alfatah saat itu membuat kita sangat berduka. Tak ada respon pemerintah untuk menyelidiki kasus alfatah yang merupakan seorang ABK / pelaut asal Enrekang, Sulawesi Selatan Indonesia. Yang paling menyedihkan alasannya, karena daratan masih jauh dan ketakutan penyakitnya menular ke kru kapal lainnya. Ini sebuah anomali yang konyol dan mengada ada. Lalu alasan itu untuk memperkuat niat mereka membuang Muhammad Alfatah ke samudera.

Dalam kasus ini seyogyanya Pemerintah harus menuntut kerugian pada perusahaan dan Kapten Kapal China Long Xing 902. Karena Alfatah wajib mendapat haknya berupa gaji, asuransi, kesejahteraan, tunjangan, jaminan keamanan, jaminan masa depan, dan hak - hak lainnya. Namun hingga sekarang kasus itu sepertinya tidak jelas kelanjutannya sampai kemudian berulang pada kematian ABK Indonesia lainnya di kapal Long Xing 802.

Jauh sebelum kasus perbudakan di kapal China terjadi, kasus perbudakan diatas kapal penangkap ikan juga pernah mengemuka saat Jokowi berkuasa pada periode pertama . Kasus perbudakan di kapal yang paling banyak mendapatkan perhatian sebelumnya terjadi di Benjina Kepulauan Aru, Provinsi Maluku Utara.

Kasus Benjina yang terjadi di era Menteri KKP, Susi Pudjiastuti itu bahkan mendapatkan perhatian dunia mungkin karena melibatkan korban dari banyak negara. ABK dalam kasus Benjina berasal dari Thailand, Myanmar, Kamboja, dan Indonesia. Kasus ini melibatkan PT Pusaka Benjina Resources (PBR), sebuah perusahaan asal Thailand yang berstatus PMA. Perusahaan sudah berdiri sejak tahun 2007 itu tersandung kasus praktik penangkapan ikan ilegal dan dugaan perdagangan manusia. Produk perikanan hasil tangkapan di Benjina dikirim ke Thailand dan langsung diekspor ke Amerika Serikat, Eropa, dan Asia.

Kasus ini mencuat setelah kantor berita Associated Press (AP) menyiarkan hasil investigasi selama satu tahun mengenai nasib ribuan nelayan yang dipaksa menangkap ikan oleh PT PBR.


Berita perbudakan tersebut juga ditayangkan dalam bentuk laporan langsung di Channel 3 TV di Thailand tentang para korban perbudakan nelayan Thailand yang berhasil melarikan diri dari Benjina.

Perbudakan tidak hanya terjadi di Benjina. Dari investigasi di kawasan sekitar Kepulauan Aru, ditemukan juga dugaan praktik perbudakan terhadap nelayan oleh pemilik kapal-kapal asing yang terjadi di Wanam, Kaimana Panambulai, dan Avona.

Aktivitas perbudakan ini terjadi di beberapa pelabuhan yang jarang dilalui kapal pengawas dan kapal biasa. Nelayan yang bekerja di Benjina 1.185 orang, sementara berdasarkan data dari Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM), ada sekitar 4.000 nelayan yang bekerja sebagai budak di pulau-pulau sekitar Benjina.

Indikasi perbudakan nelayan itu mencakup perekrutan anak buah kapal dengan iming-iming gaji sepadan, pekerja di bawah umur, dan pemalsuan dokumen identitas pekerjanya. Para ABK juga diduga kuat mengalami diskriminasi upah kerja. Dicontohkan, upah ABK non- Thailand senilai Rp 1 juta per bulan, ABK Indonesia Rp 1,5 juta per bulan, sedangkan ABK Thailand Rp 3 juta per bulannya.

Perlakuan diskriminasi upah tidak hanya berlangsung di Benjina, tetapi juga di beberapa perusahaan perikanan lainnya. Di Pulau Panambulai, Kepulauan Aru, PT Arabika juga disinyalir memberikan upah ABK Indonesia Rp 2 juta per bulan, sedangkan ABK Tiongkok Rp 14 juta per bulannya.

Praktik perbudakan ternyata memunculkan dua temuan pelanggaran lain yang sangat penting. Pertama, adanya praktik perikanan ilegal, tak tercatat, dan tidak teregulasi sebagaimana mestinya. Hal ini sering terjadi pada kegiatan penangkapan ikan di wilayah atau pulau-pulau terpencil, seperti di Pulau Benjina dan pulau-pulau sekitarnya di Maluku Utara.

Kisah-kisah itu memilukan dan semakin akrab di telinga kita: para ABK bekerja selama 24 jam; mereka tidur di ruangan yang sempit; tidak diberi makan secara memadai; tidak diberi obat ketika sakit; tidak diberi upah yang dijanjikan; dipukuli atau dilukai ketika mereka mengeluh; atau yang lebih buruk, dibunuh dan dibuang ke samudera. Tampaknya seperti plot yang tragis seperti di film Hollywood, tetapi ini adalah realitas saat ini yang dialami oleh para ABK.

Dalam kasus Benjina pada tahun 2015 silam itu para pelakunya telah diadili melalui pengadilan terhadap delapan pemilik kapal, termasuk manajer perusahaan. Mereka dihukum penjara tiga tahun dan denda sekitar Rp160 juta per orang. Lima kapal yang pekerjakan nelayan-nelayan korban itu telah dimusnahkan. Apakah Pengadilan yang sama nantinya juga akan digelar untuk kasus perbudakan di kapal China ?.

Mengapa Perbudakan Masih Terjadi ?

Dugaan praktik pelanggaran hak asasi manusia (HAM) pada industri perikanan, utamanya di atas kapal perikanan, sampai sekarang masih sulit dihentikan di dunia. Di Indonesia, praktik tersebut diduga masih terus dilakukan oleh kapal ikan nasional dan dari mancanegara.

Praktik tersebut biasanya berwujud praktik perbudakan dan perdagangangan orang yang akan merugikan secara fisik dan mental para pekerja perikanan yang berprofesi sebagai awak kapal perikanan (AKP) di kapal-kapal ikan yang banyak beroperasi disekitar wilayah Indonesia.

Elizabeth Monaghan is a Digital Campaigner at Greenpeace Southeast Asia, menuliskan 5 alasan mengapa perbudakan modern di laut masih saja terjadi sebagaimana di muat di www.greenpeace.co.id

Pencari kerja yang rentan dari Indonesia dan Filipina mencoba peruntungan pekerjaan yang dijanjikan dibayar lebih pantas.

Banyak nelayan migran yang diwawancarai Greenpeace Asia Tenggara, menyatakan bahwa kesempatan kerja lokal langka dan tekanan ekonomi mendorong untuk mencari pekerjaan di mancanegara . Sangat umum pula bagi para pemuda di Asia Tenggara untuk bertanggung jawab menyediakan segala hal yang dibutuhkan orang tua dan keluarga mereka sehingga meskipun mendengar kisah-kisah yang menyeramkan tentang apa yang terjadi pada para nelayan migran di laut, tapi nyatanya masih banyak yang berminat mengambil kesempatan itu untuk mendapatkan lebih banyak uang bagi keluarganya.

Agen tenaga kerja yang memikat pekerja dengan jebakan janji palsu

Hal umum dari banyak kesaksian yang didengar oleh Greenpeace Asia Tenggara, ini adalah tuduhan bahwa agen yang menempatkan pekerja sering menjanjikan gaji tinggi tetapi mengambil biaya pemrosesan dan penempatan yang besar, yang mengakibatkan kerugian besar bagi individu dan keluarga mereka. Seorang pekerja bahkan melaporkan diminta untuk menandatangani kontrak yang ditulis dalam bahasa lain, yang tidak dapat dipahaminya. Hal ini membuat pekerja benar-benar tidak tahu tentang perjanjian yang baru saja dibuatnya.

Populasi ikan menurun dengan sangat cepat
Berkurangnya populasi ikan di pesisir memaksa kapal untuk mencari ikan lebih jauh ke tengah laut, dimana pemantauan dan kontrol hampir tidak mungkin menyentuhnya. Penangkapan ikan di perairan yang jauh dari pesisir ini menghasilkan biaya operasional yang lebih tinggi dan meningkatkan kemungkinan eksploitasi nelayan migran untuk memotong biaya. Jelas isu perbudakan di laut sangat erat kaitannya dengan perikanan ilegal yang menguras populasi ikan dan menghancurkan ekosistem lautan dunia.

Alih Muat di Tengah Laut
Alih Muat di Tengah Laut (Transshipment at seas) adalah ketika tangkapan ikan, bahan bakar, dan sumber daya lainnya diangkut ke dan dipindahkan dari sebuah kapal ikan satu ke ke kapal ikan lainnya di tengah laut sehingga memungkinkan mereka menghabiskan lebih lama waktu berlayarnya. Isolasi di laut selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, membuat seorang ABK seperti budak saja.

Transshipment bahkan dapat digunakan untuk mengangkut kru ke dalam situasi kerja paksa. Terlalu mudah bagi kapal-kapal ini untuk beroperasi dan hukum nyaris tidak mampu menjangkaunya. Skenario seperti itu, dimana kapten kapal penangkap ikan bebas hukum, memungkinkan perbudakan modern terjadi di laut tanpa ada pihak lain yang bisa mengontrolnya.

Kurangnya pengawasan atau dukungan dari pemerintah
Karena itu Greenpeace Asia Tenggara sangat menekankan perlunya negara-negara anggota ASEAN, khususnya pemerintah Indonesia dan Filipina, untuk mengambil tindakan kebijakan konkret guna mengatasi masalah ketenagakerjaan dan lingkungan yang disebutkan dalam laporannya.

Langkah-langkah untuk menangani diskriminatif tingkat tinggi yang terjadi kapal perikanan jarak jauh antar benua. Dengan pandangan masyarakat dunia yang ikut menonton, sudah waktunya untuk mengambil langkah konkrit untuk memastikan bahwa perbudakan modern di laut seharusnya tinggal cerita.

Tinjauan Aspek Hukum

Dalam hukum internasional dikenal beberapa sumber hukum internasional, salah satunya adalah perjanjian internasional antar negara. Dalam perjanjian internasional dikenal istilah konvensi yang telah ada dan telah disepakati oleh negara-negara dunia. Terdapat beberapa konvensi yang mengatur tentang perlindungan terhadap anak buah kapal dari praktek praktek perbudakan antara lain:

Slavery Convention (1926) : Perjanjian internasional yangg pertama, diadopsi oleh Liga Bangsa-bangsa (pendahulu PBB), mendefinisikan perbudakan dan perdagangan budak dan menuntut negara-negara untuk menghapuskan perbudakan.

ILO Convention (No. 29) concerning Forced or Compulsory Labour (1930) : Memperluas definisi perbudakan dari Konvensi perbudakan 1926 mencakup kerja paksa.

Universal Declaration of Human Rights (1948) (article4) emoticon-Big Griniadopsi oleh Pertemuan Umum PBB tanggal 10 Desember 1945, bukan merupakan perjanjian mengikat tapi memberikan dasar normatif utk standar HAM universal. Pasa 4 berbunyi: "No one shall be held in slavery or servitude; slavery and the slave trade shall be prohibited in all their forms". Konvensi ini telah diratifikasi oleh Negara Indonesia, sehingga telah mengikat Negara Indonesia sebagai anggotanya, oleh karena itu Indonesia perlu melaksanakannya.

The International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights : Diratifikasi oleh Indonesia pada tahun 1966. Dalam konvensi tersebut terkandung hak pekerja yaitu pada pasal 6 hingga pasal 10. Dalam pasal 7 disebutkan mengenai upah yang adil dan layak bagi seluruh pekerja, yang dalam kasus perbudakan nelayan tersebut tidak terpenuhi.

Protocol amending the Slavery Convention signed at Geneva on 25 September 1926 (1953) :Perjanjian ini lebih banyak memberi dasar administratif dengan menggantikan kelembagaan Liga Bangsa-Bangsa, yang mengadopsi Konvensi Perbudakan yang disebutkan di atas dengan kelembagaan PBB.

Supplementary Convention on the Abolition of Slavery, the Slave Trade, and Institutions and Practices Similar to Slavery (1956) :Memperluas Konvensi Perbudakan 1926 termasuk praktek mirip perbudakan dan kerja paksa.

International Convention On The Protection Of The Rights Of All Migrant Workers And Members Of Their Families (Konvensi Internasional Mengenai Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran Dan Anggota Keluarganya) : Konvensi ini telah diratifikasi oleh Negara Indonesia dengan dikeluarkannya UU Nomor 6 Tahun 2012 Tentang Pengesahan konvensi ini.

Konvensi ILO No. 188 Tahun 2007 tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan
Diantara konvensi konvensi tersebut ada satu konvensi yang sangat penting berkaitan dengan praktek perbudakan di kapal ikan yaitu konvensi nomor 8 yaitu Konvensi ILO 188 Tahun 2007 tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan.

Penting bagi bangsa Indonesia meratifikasi Konvensi ILO ini dan mengikuti ketentuan standar dalam persyaratan hak minimum bagi pekerja di atas kapal perikanan.

Konvensi ILO 188 Tahun 2007 ini menjadi rujukan mengenai hak-hak pekerja yang mengatur persyaratan minimum untuk bekerja di kapal; persyaratan pelayanan kepada ABK; akomodasi dan makanan; perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja; perawatan kesehatan serta jaminan sosial.

ILO adalah sebuah organisasi internasional yang dibentuk untuk menghapus segala bentuk pelanggaran HAM, serta memberikan perlindungan kesehatan dan keamanan kepada para buruh, dalam hal ini adalah ABK. Konvensi ILO No. 188 Tahun 2007 tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan merupakan sebuah konvensi yang bertujuan untuk memberikan kelayakan kerja di atas kapal bagi para anak buah kapal.

Konvensi ini mengikat bagi kapal dengan panjang 24 meter atau lebih; kapal yang berlayar di laut selama lebih dari tujuh hari; kapal dengan rute melaut berjarak lebih dari 200 mil laut garis pantai; kapal dengan rute melaut lebih dari garis terluar landas kontinen; dan pekerja yang berada di kapal penangkap ikan.

Dalam konvensi ini juga mengatur tentang kesehatan dan keselamatan anak buah kapal yang harus dihormati oleh kapten kapal (Pasal 8 ayat 2 b). Karena dalam prakteknya banyak terjadi kekerasan yang dilakukan oleh kapten kapal.

Berdasarkan konvensi konvensi Internasional sudah jelas kapal Long Xing 802 milik China telah melakukan pelanggaran terhadap hak azasi manusia terhadap warga negara Indonesia. Mereka telah melakukan praktek perbudakan di bidang ketenagakerjaan terutama dalam hal ini di bidang industry perikanan. Tindakan yang dilakukan kepada warga negara Indonesia di atas kapal Long Xing 802 tersebut menyalahi Hak Asasi Manusia yang jelas diatur dalam Pasal 20 Undang-Undang HAM yang menyatakan tidak seorangpun boleh diperbudak atau diperhamba.

Para ABK yang dipaksa bekerja selama 18 jam tanpa hari libur meyalahi PP Nomor 7 Tahun 2000 Pasal 21 yang mengatakan bahwa, seorang anak buah kapal seharusnya bekerja selama 8 jam setiap hari dengan 1 hari libur setiap minggu. Sedangkan bagi ABK yang masih berusia 16-18 tahun tidak diperbolehkan bekerja melebihi 8 jam sehari dan waktu istirahat.

https://www.law-justice.co/artikel/86207/abk-jadi-korban-budak-di-kapal-ikan-chinanegara-dimana-dan-buat-apa-/

Bersambung di bawah
Diubah oleh LordFaries3.0 08-05-2020 01:34
BumiTimur
fatqurr
tien212700
tien212700 dan 22 lainnya memberi reputasi
23
1.4K
21
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan