suwokotumdexAvatar border
TS
suwokotumdex
[Misteri] Gadis di Ujung Senja


Duduk termenung di sudut kamar. Melipat kaki menghalau dingin. Sesekali menggosokan telapak tangan untuk menciptakan kehangatan. Bosan. Aku berdiri dan naik ke atas ranjang. Netra membulat saat melihat kilat di luar sana, disusul suara gemelegar dari langit.

Nyanyian malam ini kembali nyaring. Derasnya air hujan, membawa hawa dingin yang menusuk kulit. Kutarik selimut, bersembunyi di bawahnya. Bagai dipeluk oleh sang pujaan, rasa hangat menenteramkan jiwa.

Otak kembali mencoba mengingat apa yang terjadi, tapi tiba-tiba pusing menyerang kepala. Aku tertunduk karena tak kuat menahannya. Semakin dipaksa semakin sakit. Akhirnya aku hanya bisa menyerah dengan keadaan seraya berharap waktu dapat berbaik hati untuk memberitahu, apa yang sebenarnya terjadi.

Kupejamkan mata malam ini, lelah sudah menghinggapi badan. Jika terlalu dipaksakan, dokter bilang akan membuat kesehatanku memburuk. Terutama kepalaku yang katanya baru membentur benda keras. Kini diperban melingkar. Nyaris seperti ikat kepala.

Namun, belum sempat kupejamkan mata, gawai bergetar menampilkan pesan. Seseorang dengan nama Devi menuliskan sesuatu. Menanyakan kabar. Aku baik-baik saja ... hanya pusing sedikit. Jika istirahat teratur aku akan sembuh.

Tak selang berapa lama, gawai kembali berdenting, ucapan duka disertai emoji menangis tampak di layar. Bukannya terlalu berlebihan jika harus berduka? Aku hanya terbentur, tak sampai merenggut nyawa. Meski rasanya ada yang agak aneh, tapi aku yakin baik-baik saja. Seorang pria sepertiku, terluka seperti ini bukanlah masalah besar.

"Besok, kita ketemuan, ya," ucapnya saat komunikasi jarak jauh kami berlangsung beberapa menit. Sebelum akhirnya berakhir dengan kata setuju dariku.

Suara gemuruh hujan dan petir baru kembali terasa saat sepi menghinggapi. Jam di dinding menunjukan waktu yang sudah larut. Waktunya untuk tidur.

***

Hari yang cerah dengan awan putih menggumpal di angkasa. Semburat kekuningan cahaya senja tampak indah karena terhalang bukit sebelah. Semilir angin menyapu badan, membawaku jatuh dalam kenyamanan.

Aku menghela napas, menikmati semua ini sembari menunggu Devi datang. Gadis yang seumuran denganku itu, berjanji untuk ke sini. Ada yang ingin ia bicarakan padaku, berdua, empat mata. Entah apapun itu yang ingin ia bicarakan, yang pasti aku menikmati suasana ini. Tenang dan menenangkan. Rasanya aku seperti pernah ke sini, padahal baru kali pertama. Entahlah, saat mengingatnya ada sesuatu yang serasa sesak di dalam dada.

"Apapun itu, pasti hanya karena terlalu menikmati keindahan ini."

Aku berdiri dan berjalan mendekati pagar, tapi ... sesuatu menghentikan langkahku. Duduk di atas pagar kayu dengan pakaian seperti gaun, rambut hitam panjang itu berkibar tersapu angin. Seorang perempuan yang tengah menghadap senja.

Aku masih diam dan terus menatap perempuan itu. Rasanya tidak asing, aku mengenalnya, tapi tidak. Dia siapa? Kenapa saat melihatnya aku merasa sangat sesak. Membuatku terduduk paksa. Kenapa?

Perempuan itu mulai bergerak, dan menaiki pagar yang baru ia duduki. Dengan hati-hati, ia menjaga keseimbangan, mungkin agar tak jatuh. Membentangkan kedua tangannya yang kurus, kini aku bisa melihat tubuh langsing perempuan itu. Gaun yang ia pakai berkibar karena tersapu semilir angin.

Dia berdiri tepat di atas pagar. Sementara aku terus memperhatikan di belakangnya. Siluet dari tubuhnya tampak begitu indah. Ingin rasanya mendekap tubuh itu dari belakang dan memeluknya untuk waktu yang lama.

Namun, tiba-tiba saja dia meloncat. Mataku terbelalak, waktu seolah berhenti beberapa detik. Netra ini telah basah oleh air mata. Hingga kemudian, roda waktu kembali berputar.

Aku bergegas berdiri dan berlari ke arahnya.

Tidak!

Jangan!

Kamu tidak boleh meloncat!

Kuayunkan tangan untuk meraih apapun yang bisa kugenggam darinya. Akan tetapi, aku terlambat. Tubuh itu menggelinding cepat ke bawah sana, beberapa kali kepalanya menghantam batu dan pohon, melewati apapun yang menghalangi, sebelum akhirnya berhenti saat badannya jatuh pada batu besar di bawah sana. Darah segar mengalir dari kepalanya yang sudah tak berbentuk. Tangannya terpelintir, perutnya robek hingga pinggang.

Tidak ....

Aku terlambat ...

Aku membiarkan seseorang mati tepat di depan mataku?

Aku terduduk di samping pagar pembatas dari kayu itu. Menunduk dan masih tidak yakin apakah ini nyata, atau hanya mimpi. Namun, perasaan sesak ini, kenapa begitu nyata.

"Siapa yang bilang ini mimpi?" bisik suara yang entah darimana datangnya. Pemandangan di depanku tiba-tiba berubah. Aku berdiri di atas pagar. Sampai dua tangan mendorong punggung. Aku jatuh ... wajah menghantam tanah, tubuh mengguling semak belukar.

Akhh!

Terus menggelinding sampai kakiku terlilit oleh tanaman rambat. Tubuh terayun hingga wajah ini menghantam batu.

Gelap.

***

"Tidak!!!" Aku terlonjak dan jatuh ke lantai. Kepala langsung terasa nyeri. Saat mata terbuka dengan lebar, aku sadar ... yang barusan hanyalah mimpi.

Derap langkah terburu-buru terdengar. Detik berikutnya pintu kamar terbuka. Dua wajah yang kukenal baru-baru ini tampak khawatir. Ayah dan ibu.

"Ya, ampun, Doni!" teriak suara wanita setengah baya itu seraya mengangkat tubuhku dibantu Ayah.

Kami duduk di tepi ranjang. Kurasakan kepala yang kembali terasa pening. Sementara Ibu masih dengan wajah gelisahnya menatapku dalam. Ia meneliti kepalaku dengan tangannya, lebih terasa seperti membelai.

"Nggak apa-apa, Bu," ucapku, setidaknya agar beliau lebih tenang.

"Kamu tadi kenapa teriak? Terus saat Ibu lihat, kamu sudah ada di lantai," cerca wanita paruh baya tersebut.

Aku tersenyum simpul. "Sepertinya aku mimpi buruk, Bu. Aku bermimpi bertemu dengan seorang gadis di sebuah bukit, kemudian gadis itu loncat ke jurang landai yang curam hingga tubuhnya hancur saat sampai di bawah. Awalnya aku ingin menolong, tapi tidak bisa."

Ibu diam mendengarkan ceritaku, tapi dari cara ia menatap netra ini. Ada bening di matanya, berkilau seolah menahan air yang ingin keluar. Kemudian, kedua tangannya mendekap tubuh ini dan memeluknya. Ibu terisak di pelukku. Membuatku semakin tidak paham dengan situasi ini.

"Kenapa, Bu?" tanyaku.

"Tidak ... nggak apa-apa, Doni." Ibu melepaskan pelukannya. Jarinya menyeka air mata yang memaksa keluar. Seulas senyum yang seperti dipaksakan tergambar di bibirnya.

Sebenarnya, ada apa?

"Sudah, lebih baik kamu tidur lagi, jangan lupa baca doa agar tak mengalami mimpi buruk. Besok, ada dokter yang akan ke sini untuk memeriksa kondisi kamu." Ayah menepuk pundakku pelan.

Aku mengangguk takzim, dan kembali menarik selimut. Mau tak mau, memang aku harus menerima sarannya, kepalaku terasa berat sejak bangun tadi. Jika terus memaksakan terjaga, malah bisa jadi tambah menyiksa.

Mereka kemudian pergi. Aku kembali sendiri. Di dalam gelap, kupejamkan mata. Hati ini berharap untuk bermimpi tentang gadis itu lagi. Aku ingin bertanya padanya ... kenapa meloncat?

Sayangnya, saat pagi mengusir gelap, aku terbangun dengan perasaan kecewa. Mimpi itu tak datang lagi. Padahal, hati ini sangat ingin bertemu lagi dengan gadis itu. Terselip rasa rindu yang menggebu saat membayangkan sosoknya.

Aku harusnya mengenal dia, 'kan?

***


"Alhamdullilah, luka di kepala Doni sudah lebih baik. Dalam beberapa hari ke depan, insyaallah ia akan sembuh ..." suara dokter muda terdengar dari balik pintu. Kemudian langkahnya menjauh setelah memberikan beberapa saran ke ayah dan ibu. Saat itu, aku memilih untuk ke luar.

"Oh, Doni." Ibu memasang senyumnya yang selalu menawan. "Mau ke luar?"

Aku mengangguk. Devi pasti sudah meminta izin pada Ibu untuk mengajakku pergi. Terbukti saat Ibu seperti paham dengan tujuanku sekarang.

Tak berselang lama, gadis seumuranku tersebut datang. Kami keluar. Devi mengajakku ke suatu tempat. Tak jauh dari rumah, mungkin sekitar seratusan meter, terdapat sebuah bangku di bawah pohon pinggir jalan. Kami duduk di sana.

"Nah, jadi ada hal apa yang kamu bicarakan?" tanyaku tanpa basa-basi.

Angin semilir menerpa tubuh, menghalau lengang di antara kami.

"Apa kamu ingat dengan tempat ini?" tanyanya balik.

"Tidak."

"Sudah kuduga." Gadis itu tersenyum simpul. Ia kemudian bersender ke bangku. "Kamu pasti juga baru ingat kalau aku ini adalah sahabat kamu, 'kan?"

"I-iya." Aku ragu.

"Sejak kejadian itu, pasti banyak hal yang sudah kamu lupakan tentang kita ... dan kami," ucap gadis berambut sebahu itu. Bibirnya bergetar seolah menahan sesuatu.

"Kejadian apa?"

Devi menoleh ke arahku. "Belum waktunya."

Aku menatap netranya dalam. Jelas ada yang ia sembunyikan dari perkataannya. Entah apapun itu, aku yakin dia punya alasan yang kuat untuk bungkam.

Aku menghela napas. Menatap barisan pepohonan di seberang jalan sana. Berdiri gagah begitu rindang, menghasilkan angin yang segar.

"Oh, ya ... semalam aku bermimpi."

"Mimpi tentang apa?"

"Tentang seorang gadis yang bunuh diri karena jatuh dari sebuah jurang, agak landai tapi sangat curam di bukit entah di mana." Aku kembali memperhatikan wajah gadis di sampingku. Dia tampak terkejut. Ya, sama dengan raut wajah ibu semalam setelah aku menceritakan tentang mimpi itu.

Entah kenapa, aku yakin mereka tahu apa yang sebenarnya terjadi!

"Aku berharap, semua orang tidak menyembunyikan apa pun tentang diriku." Aku berdiri dan pergi meninggalkan Devi di bangku itu. Dada ini kembali terasa sesak. Jika benar ada yang mereka sembunyikan dariku, berharap itu bukanlah hal yang menyakitkan.

***


Angin semilir menerpa kulit. Cahaya kekuningan dari arah barat tampak menyemburat ke langit. Tempat ini sedikit menggelap. Aku terduduk di atas rumput, menatap ke arah bukit seberang.

Aku kembali ke sini, di bukit yang indah. Bergegas aku berlari ke ujung bukit. Jika memang benar aku mengulangi mimpi yang sama, seharusnya dia ada di sini, sedang menatap senja sama seperti yang kulakukan.

Namun, tak ada siapa-siapa di sini.

Aku melompati pagar, sedikit berhati-hati sekadar memastikan apakah mayatnya ada di bawah sana. Akan tetapi, juga tak ada. Semak belukar juga tampak belum tersentuh apapun. Dengan kata lain, dia belum melakukannya.

Mungkinkah, aku berada di mimpi yang berbeda hanya saja latarnya sama. Aku menghela napas. Setidaknya, lega saat tahu dia tak kembali melakukan hal itu

Aku membalikan badan hendak kembali ke tempat tadi. Namun, seorang gadis sudah berdiri di atas pagar dan langsung meloncat ke jurang sana.

Akh!

Tubuhku kaku, mata ini melotot menatap tubuh indahnya melayang sampai kemudian jatuh berguling ke bawah sana. Berakhir dengan tubuhnya yang hancur saat menghantam bebatuan dan batang pohon.

Tidak! Lagi?

Aku terdiam di pinggiran jurang. Namun, seseorang mendorongku dari belakang. Tubuh ini limbung dan jatuh menghempas tanah.

Gelap.

"Akhhh!" Terlonjak dan jatuh ke lantai.

Lagi.

Ayah dan ibu memasuki kamar, mengangkat tubuhku dan kami duduk di pinggiran ranjang. Napasku tersengal-sengal, kenapa ... kenapa terjadi lagi? Padahal aku sudah berjaga-jaga agar ia tak menjatuhkan dirinya lagi. KENAPA?

"Tenang, Doni!" Tangan ibu memegang dadaku. Hangatnya langsung menjalar ke seluruh tubuh, membuatku sedikit tenang. "Mimpi buruk lagi, ya?"

Aku mengangguk. Ini bukan kali pertama atau kedua, tapi lebih dari empat kali lebih aku mengalaminya. Sebenarnya, apa arti di balik mimpi ini. Sejak kepalaku terluka, mimpi yang sama seperti meneror terus menerus.

"Lebih baik kamu segera tidur—"

"Tidak!" sargahku memotong ucapan Ayah. Kuangkat tubuh dan berjalan ke depan. Menghadap kedua pasutri itu. Ada satu pertanyaan yang selalu mengganjal di dalam hati ini, yang selalu membuat dada sesak, seolah ada rasa rindu yang hinggap.

"Ayah, Ibu ... sebenarnya apa yang terjadi padaku? Kenapa setelah kepalaku terluka, seolah mimpi buruk yang sama menerorku. Tentang gadis itu, dia yang meloncat dari jurang, kenapa membuat dadaku terasa sesak? Apa aku mengenalnya? Siapa dia? Aku yakin kalian tau sesuatu!"

Mereka diam, saling tatap, memainkan mata seolah memberikan kode satu sama lain. Benar, ternyata dugaanku selama ini tidak meleset. Mereka menyembunyikan sesuatu.

Ayah berdiri dan berlalu melewatiku, tapi ia berhenti saat di belakangku. "Besok, ikut ayah ke suatu tempat!" pintanya.

Aku menoleh, melihat punggungnya yang menjauh hingga kemudian hilang di balik pintu. Ucapannya yang tegas, membuatku yakin, Ayah pasti akan memberikan semua jawabannya, terlepas entah ke mana besok kami akan pergi.

Ibu tiba-tiba memelukku erat, aku mendengar isakannya lirih. Kenapa Ibu sampai menangis? Sebenarnya apa yang terjadi? Begitu banyak pertanyaan yang bemunculan. Membuat kepalaku sedikit pening. "Besok, kamu pasti akan mengerti, tapi ibu harap kamu bisa menjadi pria dewasa, bukan lagi pemuda berumur dua puluh tahun."

Wanita setengah baya itu melepaskan pelukannya. Kemudian melenggang pergi meninggalkanku dalam kebisuan. Malam merenggut penglihatan, aku kembali terlelap.

***


"Besok, kita akan bertemu, ya?"

Aku membuka mata saat mendengar suara seorang gadis. Lembut tapi memikat hati. Namun, setiap sudut kuperhatikan, tak ada siapapun di sini. Aku sendiri di ruangan persegi.

"Mencariku?" tanya suara misterius yang entah dari mana datangnya. Kemudian tempat ini berubah menjadi bukit indah. Baru kusadari tempat ini dipenuhi oleh bunga yang mulai mengatup. Senja memberi tanda agar mereka segera kembali terlelap.

Aku kembali di sini untuk kesekian kalinya. Namun, suasananya terasa berbeda. Angin semilir terasa lebih hangat. Semburat cahaya kekuningan juga tampak meredup. Jauh di depan sana, di belakang pagar. Seorang gadis berambut panjang dengan gaun putih tampak berdiri menghadap senja.

Kulangkahkan kaki untuk mendekat. Sampai kemudian di belakangnya. Entah kenapa, aku merasakan adanya ikatan di antara kami. Padahal aku yakin tidak mengenalnya.

Gadis itu perlahan menoleh ke belakang. Wajahnya sedikit tak jelas karena gelap mulai datang. Namun, desiran di dalam hati mulai menggoda. Meski tak terlalu jelas, yang pasti aura ini sangat menenangkanku. Setelah untuk yang kesekian kalinya bertemu, baru kali ini aku bisa melihat wajahnya. Gadis bermata sendu, bibirnya mungil dengan senyum yang manis. Dia gadis yang sempurna.

"Kakak ingin ketemu aku?" tanyanya, mirip dengan suara tadi.

Aku menelan saliva. 'Kakak'?

"Ka-kamu siapa?" Ragu, aku bertanya pertanyaan yang sudah lama aku inginkan. Namun, ia hanya tersenyum dan kembali memutar tubuhnya untuk menghadap senja.

Ia melirik dan berkata, "Besok Kakak pasti tau ... sekarang, tidur saja yang nyenyak."

"Ha?"

Ia menjentikan jari, dan saat itulah pandanganku gelap.

Aku membuka mata. Namun, tak terlonjak atau jatuh dari ranjang. Kali ini aku tidak mengalami mimpi buruk, 'kan?

Tok! Tok! Tok!

"Doni, bersiaplah, sebentar lagi kita akan berangkat." Ayah memanggilku dari balik pintu. Hanya kujawab geraman. Langkahnya pergi entah ke mana. Namun, yang pasti pagi sudah datang.

Aku terkesiap. Kata-kata gadis itu masih terngiang di kepala. "Besok Kakak pasti tau ...."

Iya, kah?

***


Setengah jam perjalanan, sampai kemudian kami—aku dan Ayah, sampai di kaki bukit. Ayah memakirkan motor ke sebuah pos tempat berjaga penjual tiket. Namun, seperti tak ada siapa-siapa di sana.

Aku mengikuti saja. Kami masuk ke sebuah tempat yang kuyakin tempat wisata. Mendaki cukup lama, melewati hutan yang tampak tak asing. Gugusan pohon ini, suasananya, serasa tidak asing. Tiba-tiba kepalaku kembali pusing.

Namun, perjalanan kami tak berhenti. Sampai kemudian sebuah tempat membuat mataku terbelalak. Tepat di puncak. Rumput hijau, tempat yang lapang, di seberang sana terdapat bukit yang lebih rendah dari sini. Andai saja kami datang sewaktu senja, aku berasa seperti masuk ke dunia mimpi.

"Tempat ini ..."

"Di sinilah semuanya berawal, Doni." Ayah terus berjalan sedang aku mengekor di belakang. Membiarkan beliau berbicara.

"Aku yakin, semua penjelasan ayah akan terasa tak masuk akal, tapi bagaimana pun juga itulah kebenarannya." Kami berhenti tepat di ujung bukit. Berdiri papan tanda bahaya yang tiangnya diikatkan pada pagar kayu. Tepat di mana gadis itu berdiri di dalam mimpi yang kualami selama ini.

"Coba lihat ke sana."

Aku mengikuti saran Ayah, mendekati pagar dan melihat ke bawah.

Tidak! Ini bohong, kan? Jurang landai dengan semak belukar itu tampak ludes, seperti baru diterjang sesuatu, dan tepat di bawah sana. Sebuah batu yang besar, masih menyisakan bercak merah kehitaman yang banyak.

Jadi ... tidak! Aku mundur perlahan. Lantas hanya mampu terduduk. Mimpi yang kualami selama ini ... nyata?

"Amelia Putri, gadis berumur 15 tahun yang baru saja lulus dari SMP, mengajak kakaknya untuk berwisata ke taman ini. Namun, karena satu kecerobohan, dia jatuh ke bawah sana. Tubuhnya dipenuhi luka yang parah. Bahkan wajahnya hampir tak bisa dikenali akibat banyak mendapat benturan ke batu dan batang kayu ... dia—"

"Salahku ...." Aku memeluk lutut, membenamkan kepala di antaranya. Semilir angin yang kurasakan tak terasa menghangatkan, atau mendinginkan. Hambar. Tiba-tiba saja otak ini kembali mengingat kejadian yang sempat kulupakan.

Hari itu, Amel ingin merayakan kelulusannya dengan bermain ke tempat ini. Aku mengajak Devi, dia ... pacarku, bukan sahabat. Kami bertiga ke sini suatu sore, untuk menikmati senja.

Kami bermain dan bercanda bersama, hingga sang cahaya kekuningan mulai menunjukan jati diri. Amel, adikku, ingin melihatnya dengan menaiki pagar. Devi melarang, tapi karena memaksa Amel bersikeras untuk tetap naik, aku tak bisa melarangnya.

Hingga tragedi itu datang. Amel tak seimbang saat naik di atas pagar, ia limbung, kemudian terpeleset dan terjatuh. Aku yang sempat ingin menarik tubuhnya tapi tak sampai, malah ikut terjatuh. Namun, aku terselamatkan saat semak belukar melilit kaki, tubuhku terayun dan kepalaku membentur batu atau kayu, aku tak mengingatnya karena setelah itu dunia benar-benar gelap. Hanya teriakan Devi yang kudengar, meneriakan nama kami. Setelah itu ... aku tak mengingat apapun.

"Ya, itu memang salahku ...." Menyesal, hanya itu yang aku rasakan. Ingin rasanya untuk mengakhiri hidup. Namun ...

"Semuanya adalah takdir yang sudah digariskan oleh Tuhan. Kita sebagai manusia hanya bisa menjalaninya. Ingat perkataan ibumu, jadilah pria!" Ayah menepuk pundakku, kemudian kudengar langkahnya menjauh.

Aku masih di sini termenung. Bisa kudengar suaranya jauh di dalam hati. "Terima kasih, Kak, sudah mau mendatangiku."

Bayangannya terbang tinggi ke langit. Selamat tinggal, dan maaf aku masih hidup.

~ SELESAI ~
ButetKeren
abellacitra
nona212
nona212 dan 67 lainnya memberi reputasi
68
3.2K
43
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan