Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

ganggawfAvatar border
TS
ganggawf
Aku Wes Ora Nggagas Kata Luka

Di dalam mimpiku, kamu adalah milikku. Tapi di dunia nyata, kamu hanyalah mimpiku yang tak pernah jadi kenyataan.

Juni, 2012. Kuputuskan untuk merantau ke salah satu kota di Sulawesi Utara. Mengadu nasib menjadi kuli bangunan. Ada proyek mendirikan rumah sakit di daerah itu bersama Lek Jangkrik--mandor yang di percaya menangani proyek tersebut.

Lek Jangkrik adalah tetanggaku di kampung, terkenal sukses menjadi mandor di kota-kota besar. Jangkrik adalah julukan yang melekat padanya, karena sewaktu remaja, beliau suka sekali mencari jangkrik di tengah malam buta bersama komplotannya, ABK (anak begadang kampung).

Usiaku baru 19 tahun, tapi hidup keras yang harus kujalani tak pernah kusesali. Semua karena sekolahku yang hanya tamatan SMP. Putus sekolah dan tak melanjutkan ke jenjang SMA, kuterima ajakan Lek Jangkrik untuk menguji peruntungan di Timur Indonesia.

Meninggalkan Ina, gadis desa yang kupacari sejak SD. Gadis manis dengan tahi lalat di bawah mata yang menjadi cinta pertamaku. Kami berpacaran sejak kelas 5 SD, hingga Ina melanjutkan SMA dan aku putus sekolah. Keluargaku terbilang tak mampu. Aku hanya hidup bersama nenek yang sudah renta dan seorang paman.

Orang tuaku?
Tak perlu di tanya, karena aku pun tak tahu mereka di mana. Mereka meninggalkanku sejak kecil. Tanpa kabar. Ina menangis ketika ku utarakan maksud hatiku untuk merantau agar memperoleh duit untuk melamarnya.
Adat tradisi di kampung kami, di usia segitu sudah layak untuk menikah.

Teman-teman sebayaku sudah banyak yang menimang bayi. Hanya aku yang belum menikah karena tak punya biaya. Lagi-lagi, duit adalah masalahnya. Kuyakinkan Ina jika aku takkan lama di negri perantauan. Aku hanya akan mengumpulkan duit dengan rasa setia yang ku pupuk di dada, untuknya.
Jika duit sudah terkumpul, akan kupastikan untuk kembali dan melamarnya.

Tangis Ina makin deras, dia keukeh tak mau jauh dariku, tapi ini satu-satunya cara agar kami bisa menikah. Sore di pematang sawah, kugenggam jemarinya, menatap matanya dan mengobarkan janji setia untuk kembali padanya. Ina mengangguk, kami menautkan jari kelingking, saling mengucap janji kembali dan bersatu.

***


Aku berangkat. Terbang bersama Lek Jangkrik menuju proyek pembangunan rumah sakit. Dua bulan berlalu aku di perantauan, aku dan Ina masih sering berkomunikasi lewat panggilan telepon di kala waktu senggangku. Tak pernah sekalipun kuragukan kesetiaan gadis manisku karna kami menjalin hubungan sudah lama. Meski awal pertama berpacaran dengannya saat masih kelas 5 SD, kupastikan kini rasa di hatiku bukan lagi hanya sekedar cinta monyet belaka.

Aku sungguh berusaha agar bisa segera meminangnya. Di sela waktu jedaku bekerja, bayang-bayang gadis manisku selalu melintas di pelupuk mata. Aku sungguh rindu padanya. Ini pertama kalinya kami berpisah jarak yang jauh.

Pukul 19.00 WIT, aku bergegas membersihkan diri, hari ini kami lembur. Biasanya pukul 5 sore kerjaan sudah beres. Hari ini berbeda. Ada yang harus di selesaikan dan baru selesai pukul 7 malam. Setelah membersihkan diri, aku duduk di antara bangunan yang setengah jadi bersama segelas kopi. Aku kaget mendapati 97 kali panggilan tak terjawab dari Ina.

Hari ini aku memang tak sempat untuk melihat handphoneku. Ada tujuh pesan dari Ina yang belum kubaca, waktunya belum lama. Cepat-cepat ku buka pesan-pesan dari Ina.

[Kak, kenapa gak angkat telponku?]
[Kak... lagi apa sih? Tumben di telepon gk di angkat?]
Dua pesan kubuka, hanya berisi tentang pertanyaannya kenapa aku tak angkat telepon, lengkap di sertai emot kepala yg mengeluarkan asap dari hidung. Dia marah! Lanjut kubuka lagi pesan-pesan darinya.

[Kak... angkat sekarang atau kita putus!]
[Kak, kenapa sih susah banget di telpon? Aku salah apa]
Setelah mengancamku lewat pesan sebelumnya, dia menyelipkan emot nangis di pesan berikutnya. Duhh, kenapa dengan Inaku? tak biasanya dia seagresif ini. Lanjut ke pesan berikutnya.

[Kak, sebenernya kk lagi apa? Gk jawab teleponku kenapa? Kakak selingkuh ya?]
[Oke, klo itu mau kakak, kita putus!]
[Kakak gk ush telepon aku lg, kita akhiri semuanya. Aku gk bisa di cuekin begini! Jgn pernah tlp aku lagi!!!]

Putus? Gumamku dalan hati.
Aku segera menelponnya, tak biasanya Ina seperti ini. Apa yang membuatnya menjadi agresif begitu?
Tiga kali panggilan telfonku, nomornya tak aktif. Aku semakin kacau. Padahal aku gembira dua bulan lagi proyek ini akan berakhir, dan duit yang ku kumpulkan pun, kupikir akan cukup untuk datang meminta Ina pada orang tuanya.

Total sudah lima bulan aku di sini. Dua bulan lagi proyek ini di prediksi akan selesai. Tapi apa kata Inaku tadi, putus?
Oh, Tuhan ... apa lagi ini??
Esoknya aku berkerja dengan pikiran yang tak tenang. Semalaman aku mencoba menghubungi nomor Ina, tapi tak jua terhubung. Dan hari ini, kami lembur kembali hingga malam.
Dan setelah selesai bekerja, ku tengok hpku, kali ini ada 54 missed call dari Ina.

Hah? Bukannya kemarin dia bilang kita putus dan agar aku tidak lagi menghubunginya?
Tapi aku senang, aku berharap kata putus yang di ucapkan Ina lewat sms itu hanya ancaman karena dia sedang ngambek. Aku yakin Inaku tak akan segampang itu meminta putus. Segera aku menghubunginya kembali. Satu kali, dua kali dan seterusnya, sepanjang malam nomor Ina tak pernah aktif.

Aku mulai resah kembali. Kuputuskan untuk mengirim sms padanya.
[Dek, kenapa nomermu gk pernah aktif kalo malam? Map, Dek, klo siang kakak sibuk. Suka lembur sampek malam].

Setelah hari itu hingga dua bulan kemudian proyek yang aku ikuti selesai, tak ada kabar sama sekali dengan Ina. Dia tak pernah lagi menelponku, membalas smsku pun tak juga, tak ada lagi panggilan missed call hingga berpuluh-puluh di handphoneku. Aku gamang. Sedang rindu kian membuat sesak. Dengan uang yang sudah terkumpul, aku pulang ke kampung dengan sejuta harap, jika aku masih punya kesempatan untuk melamarnya.

***


Sudah tiga hari sejak kepulanganku di kampung halaman, tak pernah kulihat Ina melintas di depan rumahku. Padahal Ina suka sekali berkeliling desa dengan sepedanya, dan kerap lewat dan singgah di depan rumahku.
Apa dia tak tahu jika aku sudah kembali? Batinku dalam hati. Baiklah, setelah magrib nanti akan ku beranikan diri untuk main ke rumahnya dan membicarakan pernikahan kami.

"Woey, kapan muleh, Bro?" Aji teman masa kecilku tiba-tiba menepuk bahuku. Membuyarkan pikiranku akan Ina.

"Lagek telung dino, Bro. (Baru tiga hari, Bro)," jawabku pada Aji.
Tiba-tiba mataku tertuju pada orang yang barusan lewat dengan rambut berkibar. Ina! Itu Inaku. Dia lewat dengan sepedanya, barusan. Tapi ada yang aneh, dia tak sekalipun menengok ke arah rumahku.

Kuputuskan untuk mengejarnya. Langkahku tertahan oleh Aji, "Wes, Bro. Ikhlas," ujarnya. Dia tahu aku akan mengejar Ina.

"Ikhlas? Opo maksudmu, Ji?" Tanyaku padanya.

"Ina wes Rabi. Lah awakmu durung ngerti, ta? Jare Ina wes inbok awakmu nang fb. (Ina sudah nikah. Apa kamu belum tahu? Ina bilang dia sudah inbok kamu di fb)." Aku tercengang mendengar jawaban Aji.
Buru-buru ku buka facebookku. Selama kerja di Sulawesi aku memang tak sempat untuk hanya sekedar membuka media sosial.

[Kak, sesok aku nikah. Awakmu koyo'e wes entuk wedhoan liane nang kono. Angger tak telpon ora tau di jawab. Aku di jodohno bapakku. Aku yo gk iso ngenteni sampean seng ora jelas. --Kak, besok aku nikah. Kamu kayaknya sudah dapat pacar baru di sana. Setiap kali di telpon gk pernah di angkat. Aku di jodohin bapak. Aku ya gak bisa nungguin kamu yang gak jelas--].
Jleb! Pesan Inbox dari Ina itu sukses membuat runtuh pertahanku. Aku menangis di depan Aji.

Ku lihat pesan itu baru delapan hari yang lalu. Belum lama ini. Aji mengelus pundakku. Apa katanya? Aku gak jelas?
Sedang dia tahu aku rela merantau terpisah pulau hanya demi dirinya.

"Sabar, Bro." Seolah mengerti apa yang kufikirkan, Aji berusaha menghiburku.

Hari-hari berikutnya kujalani dengan hati yang remuk. Duit di ATM hasil kerja kerasku untuk melamar Ina kini tak ada artinya lagi. Aku menjadi kian sakit saat ingat bagaimana upayaku untuk mendapatkan duit itu demi dirinya. Kuputuskan untuk menyumbangkan sebagian dari duit gajiku itu ke yayasan yang mengurus anak yatim di desaku.

Aku berjalan ke yayasan yang terletak dekat pasar itu. Matahari yang memerah sebelum tenggelam di pematang sawah entah kenapa tak terlihat indah lagi di mataku. Padahal dulu aku sangat menyukainya bersama Ina. Mantap. Kakiku bergegas mempercepat langkah menuju yayasan itu. Berharap dengan duit gajiku yang sebagian akan ku sumbangkan. Allah bersedia menghapus perih di hati dan agar aku tak terus mengingat jika duit itu untuk melamar Ina. Aku hampir sampai, tapi tiba-tiba ....

"Kak!" Aku menoleh.
Deg! Itu Ina.
Dia berlari mengejarku. Aku menghentikan langkah. Tiba-tiba dia meraih tanganku.
"Kak, sepurane. Ayok ndang balek koyo bien. (Kak, maaf. Ayo, kita coba balikan kaya dulu). Aku udah pisah sama suamiku kak. Aku gak pernah seneng dan merasa cocok sama dia. Dia pilihan bapak. Kami menikah hanya seminggu. Ayo, kita coba lagi seperti dulu," ujar Ina tanpa basa-basi.


"Seminggu? Pernikahan apa yang cuma seminggu? Ora masuk akal." Aku melepaskan genggaman tangannya. Tiba-tiba teringat lagi kata-katanya lewat inbok. Bahwa aku gak jelas. Kemunculannya mengundang perih yang tadinya hampir hilang. Kini hadir kembali.

"Iya, emang gak masuk akal kak. Tapi emang begitu kejadiannya. Aku sekarang udah singgel lagi. Aku cuma mau sama kamu. Kakak tolong terima aku lagi ya ... Aku janji akan setia sama kakak." Dia berusaha meyakinkanku.

Ck, setia?
Dulu pun dia berjanji begitu. Kenapa dia bisa begitu berubah? Padahal aku hanya pergi beberapa bulan. Tak sampai setahun. Jika dulu dia pernah ingkari janji setia padaku, bukan tak mungkin di masa mendatang dia akan mengingkarinya lagi jika aku menerimanya. Jika dia bisa semudah itu menyudahi pernikahannya karena tak cocok, bukan tak mungkin denganku pun dia akan melakukan hal itu kembali di masa mendatang. Ina kini sudah tak sama seperti Ina yang ku kenal dulu.

"Kak!" Dia mengguncangkan tanganku yang sibuk berpikir dalam hati. Air matanya jatuh. Tapi tak sanggup buatku luluh lagi.

"Sorry, Dek. Gak bisa. Uang untuk melamarmu pun sudah tak ada. Sudah menjadi hak mereka." Aku menunjuk yayasan yang sudah tak jauh dari tempat kami berdiri.

"Gapapa kak, aku akan tunggu kakak lagi." Dia masih memaksa.

"Gak, Dek. Gak usah. Aku udah ikhlasin kamu. Maaf dek, aku ada janji mau kesana," ucapku, sambil berjalan ke arah yayasan, meninggalkannya seorang diri.

Aku telah berdamai dengan diriku. Aku berfikir bahwa Ina bukan orang yang tepat buatku. Pasti ada di kemudian hari, orang yang Allah takdirkan untuk setia hanya kepadaku, untuk menghargai segala jerih usahaku.



~¤~


Aku wes ora gagas kata luka
Wes cukup wingi rapengen mbaleni
Mario leh mu dolanan ati
Wes wayahe we kapok mblenjani

Udan tangise ati
Saiki wes rodo terang
Masio isih kadang kelingan
Kowe seng tak sayang sayang


Lantunan lagu Deny Caknan ini begitu pas dengan keadaanku. Kini aku mendengarkannya sambil ngopi di teras rumah. Beberapa tahun berlalu, memang ...
'Hujan di hati sudah mulai reda, meskipun kadang masih teringat, dia yang dulu pernah kusayang-sayang.

Oleh: Ganggawf
Diubah oleh ganggawf 29-04-2020 14:12
Anna471
makola
ismilaila
ismilaila dan 47 lainnya memberi reputasi
48
2.2K
47
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan