Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

i.am.legend.Avatar border
TS
i.am.legend.
Corona yang Kehilangan Seram di Permukiman Kumuh Jakarta


Corona yang Kehilangan Seram di Permukiman Kumuh Jakarta

Jakarta, CNN Indonesia -- Kampanye physical distancing atau jaga jarak mencegah virus corona riuh menggema saban hari dari mulut pemerintah. Tapi di sudut kota Jakarta ini, di kawasan kumuh ibu kota, warga kelimpungan melaksanakannya.

Bukan tak mau, tapi mustahil. Di permukiman padat Kelurahan Tanjung Duren Utara, Petamburan, Jakarta Barat, imbauan jaga jarak seolah tak berlaku. Di perkampungan itu sejumlah rumah saling berhimpitan. Daerah tersebut pun masih dikategorikan kawasan kumuh.

Dalam satu rumah petak berukuran lima kali enam meter, berisi dua hingga tiga keluarga. Tak semua punya kamar mandi. Satu WC umum kerap digilir untuk banyak penghuni rumah.

"Belum lagi kalau mereka terpaksa keluar, cari makan. Warga di sini buruh yang kehilangan pekerjaan. Banyak juga tukang ojek," ujar Sitanggang, Ketua RT 15 di Kelurahan Tanjung Duren Utara, Jakarta Barat kepada CNNIndonesia.com, Rabu (22/4).

Sitanggang sampai tak enak hati melarang. Warganya butuh makan, terlebih bantuan dari pemerintah belum sampai ke RT15/RW07.

"Dalam keadaan begini mereka butuh biaya, atau buat dapur. Mereka sebagian keluar-keluar juga. Kalau ini tidak bisa kita paksakan, ini kan urusan perut," ujarnya menegaskan.

Sitanggang mengaku sebisa mungkin tiap hari mengimbau soal jaga jarak, meski kondisinya pun tak berubah. Sitanggang merinci, dalam satu RT yang ia pimpin, ada 300 kepala keluarga yang terdiri dari 900 jiwa penduduk yang tinggal di sana.

Dari permukiman padat lainnya, cerita serupa juga hadir di RT03/RW17 di Penjaringan, Jakarta Utara.

"Ya, hanya beberapa saja melakukan yang memang paham (soal jaga jarak). Kalau yang warga biasa ya masih kumpul-kumpul. Menerapkannya itu susah," ujarnya Enny Rohayati warga RT03/RW17, Penjaringan.

Enny merupakan warga Gang Marlina, salah satu RT kumuh di Penjaringan. Koordinator Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK) ini yang membantu pemerintah mengampanyekan physical distancing. Menurutnya hingga saat ini masih banyak warga bepergian: untuk cari uang dan makan. Lagi-lagi urusan perut jadi kendala.

Bantuan pemerintah daerah tak sampai ke tangan pengontrak atau pemilik KTP luar Jakarta sehingga mereka terpaksa tetap bekerja. JRMK berupaya menggalang donasi untuk membeli perlengkapan kesehatan, seperti sabun cuci tangan dan masker.

"Kita hanya bisa sampaikan ke warga, miris banget kena corona, matinya pun nggak ada yang sentuh. Enggak ada yang peduli. Sampai se-ekstrem itu kita sampaikan, tapi mesti sabar sih," ceritanya.

Setidaknya ada 125 kepala keluarga yang tinggal di perumahan tersebut. Mereka umumnya memiliki tingkat ekonomi ke bawah. Kebanyakan di antaranya adalah pengontrak, yang tak berdomisili di DKI Jakarta.

DKI Jakarta merupakan kawasan episentrum corona di Indonesia. Data terakhir ada 3.399 kasus positif covid-19 di Jakarta yang tersebar di 252 dari 267 kelurahan yang ada.

Jumlah kasus positif ini hampir separuh dari kasus positif yang ada di Indonesia yakni 7.418 kasus.

Untuk mengurangi penyebaran virus, pemerintah sejak awal mengimbau agar diterapkan jarak fisik dan jarak sosial. Warga dilarang berkumpul lebih dari lima orang.

Di seluruh wilayah DKI Jakarta juga diberlakukan pembatasan sosial berskala besar hingga 23 Mei 2020. (fey/ain)
sumber

********

Itu cuma sebagian kecil di sudut kota Jakarta. Masih banyak wilayah lain yang punya kehidupan yang sama dengan yang disana.

Dan ini memunculkan perdebatan, apakah Covid-19 menyebar ditengah pemukiman kumuh, atau justru melebar di pemukiman elite?Apakah corona hanya menyasar masyarakat kelas atas atau justru menghampiri kelas bawah?

Atau mungkin begini. Mereka yang jelas masyarakat kelas atas pasti peduli kesehatan dan kehidupan mereka sehingga mereka lebih peduli memeriksakan diri mereka dengan mengikuti rapid test. Merekapun bisa menjalankan social distancing dan work from home secara penuh karena strata ekonomi mereka menungkinkan untuk hal itu, setidaknya untuk 3 bulan kedepan.

Sementara mereka masyarakat kelas bawah tak peduli lagi dengan corona, karena disamping mereka tak punya apa-apa lagi untuk menjalankan social distancing, merekapun bisa saja mati kelaparan. Toh kasusnya jadi sama. Ujung-ujungnya mati juga. Yang jadi masalah, mungkin benar ujungnya sama-sama mati.Tapi mati karena kelaparan tak bisa menular, berbeda dengan mati karena corona. Dari hidup sampai mati masuk tanah dan 9 jam sesudahnya, yang mati masih bisa membawa kematian bagi orang lain.

Melihat kenyataan ini, sebenarnya sebelum di Jakarta diberlakukan PSBB, sudah ada angin surga yang mengatakan bahwa akan ada bantuan bagi 3,7 juta nama beserta alamat jelas yang akan dibagikan secara rutin seminggu sekali. Bantuan itu sebesar 1 juta per nama per bulan. Bantuan itu termasuk mereka yang tak ber KTP DKI Jakarta atau tak ber KK DKI Jakarta. Bantuan itu berdasar pada domisili tempat tinggal. Bantuan ini berasal dari APBD bagi 1,1 juta orang. Dan selebihnya adalah 2,6 juta orang yang anggarannya sebesar 850 ribu berasal dari APBN, dan 150 ribunya berasal dari APBD.

Sayangnya, narasi yang telah disusun indah pada akhirnya berantakan, seperti biasanya. Bantuan menyusut. Bentuk bantuan berubah. Jadwal bantuan tak jelas. Yang dapat bantuan amburadul.

Jangankan yang tak ber KK dan ber KTP DKI Jakarta, yang ber KK dan ber KTP DKI Jakarta saja terlewat begitu saja. Tak jelas apa ukurannya, tak jelas dari mana datanya.

Kalau sudah begini, apakah PSBB akan berhasil? Pastinya mustahil. Apalagi urusan beribadah tak jelas sangsi hukumnya. Disana-sini banyak masyarakat yang nekat menjalankan ibadah di tempat ibadah padahal aturannya semua rumah ibadah harus tutup tanpa kecuali. Sayangnya peraturan yang jelas tercantum itu dianggap cuma anjuran atau himbauan, dan Pemprov DKI Jakarta seolah pura-pura tak mengetahui hal ini. Padahal jika lonjakan positif corona tak terbendung, Pemprov DKI Jakarta bisa harakiri.

Lantas bagaimana mereka yang tak mendapat bantuan tersebut bisa bertahan? Mau mudik dilarang. Tetap bertahan di Jakarta mati perlahan. Ada bantuan sosial tapi ditahan-tahan.

Dan gubernur DKI Jakarta justru sibuk membangun image paling benar. Meskipun Jakarta mempunyai reputasi paling buruk dalam jumlah positif dan kematian akibat corona, tetap saja seolah gubernur DKI Jakarta tak punya salah. Padahal sampai akhir Februari saja Pemprov DKI Jakarta masih sibuk dengan Formula E. Dan urusan Monaspun belum selesai.

Akan berhasilkah PSBB DKI Jakarta?
Sekali lagi mustahil.
Gubernur DKI Jakarta telah mengeluh katanya ApBD tinggal 47 triliun dari 87,9 triliun yang ada. Ini aneh bin ajaib. Bansos belum seberapa dikucurkan ke masyarakat, mendadak anggaran habis. Padahal alkes dan APD semua disediakan dari pemerintah dan pihak lain. Alat rapid test dan PCR pun hasil pemberian dari pusat dan pihak lain. Apa yang Pemprov DKI Jakarta beli?

Hanya Anies dan jajarannya yang tahu, kemana larinya anggaran yang hilang 40,9 triliun dari APBD.

Sementara itu, biarkan covid-19 merajalela diantara mereka yang beralasan mencari surga ditengah wabah, serta diantara mereka yang terpaksa keluar rumah karena butuh makanan buat keluarga.


sebelahblog
fardanor
boeing7695
boeing7695 dan 67 lainnya memberi reputasi
64
6.5K
76
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan