Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

Akong.JiuguiAvatar border
TS
Akong.Jiugui
Amerika Sudah Kiamat (Resesi), Cek Ini 5 Tanda Besarnya!


Merebaknya wabah corona (COVID-19) di Amerika Serikat (AS) telah memicu resesi di negeri yang dipimpin oleh Donald Trump itu. Pasalnya alarm tanda bahaya sudah muncul.

Saat ini AS menjadi negara dengan jumlah kasus corona paling banyak di dunia. Data kompilasi John Hopkins University CSSE menunjukkan sudah ada 501.615 kasus corona terkonfirmasi di AS hari ini.

Angka tersebut semakin mengokohkan AS sebagai negara yang berada di puncak klasemen jumlah kasus terbanyak corona dengan kontribusi mencapai 29% dari total kasus.


Merebaknya pandemi corona di Negeri Paman Sam telah membuat gambaran perekonomian negeri adidaya itu suram sekali. Hantu resesi yang sempat hilang pun muncul lagi. Kali ini dengan wujud yang semakin nyata dan dalam bentuk yang lebih menakutkan.

Banyak ekonom sudah meyakini bahwa ekonomi AS sudah berada dalam resesi. The Economist Inteliigence Unit (EIU) bahkan memprediksi pertumbuhan ekonomi AS di tahun 2020 mengalami kontraksi sebesar 2,8%.


Banyak yang mendefinisikan resesi sebagai kontraksi pertumbuhan ekonomi dua kuartal berturut-turut. Namun National Bureau of Economic Research mendefinisikan resesi sebagai penurunan tajam keseluruhan aktivitas ekonomi yang berlangsung lebih dari beberapa bulan.

Munculnya resesi biasanya diawali dengan hilal (tanda-tanda) nya dulu. Beberapa tanda resesi bisa dilihat dari pasar keuangan maupun indikator lain seperti data ekonomi. Tim Riset CNBC Indonesia mencoba merangkum lima tanda-tanda kiamat (resesi) bagi perekonomian AS yang sudah muncul.

Tanda pertama datang dari pasar saham AS. Biasanya saat resesi terjadi pasar saham AS mengalami tekanan jual yang masif dan anjlok signifikan. Pergerakan di bursa saham New York diwarnai dengan volatilitas tinggi.

Pada saat terjadi dotcom bubble pada 2000-2001, periode September 2000 - April 2001, S&P 500 anjlok 27%. Selanjutnya mengalami rebound 19% hingga akhir Mei, kontraksi kembali sebesar 26% hingga September 2001, kembali rebound 22% hingga Maret 2002 dan akhirnya anjlok 33% hingga Oktober 2002.

Volatilitas yang tinggi juga terjadi saat krisis keuangan global 2008 silam. S&P 500 terkoreksi 54,32% . Bursa saham AS kala itu berada pada periode bearish yang panjang selama kurang lebih 15 bulan.

Hal yang sama pun terjadi saat wabah corona merebak. Indeks S&P 500 sudah anjlok lebih dari 20% dari level tertingginya kemarin. Walau sudah menguat kembali sepekan terakhir, tetap saja dalam waktu kurang dari 3 bulan S&P 500 anjlok signifikan. Ini jadi tanda pertama bahwa ekonomi AS dalam keterpurukan


Tanda kedua masih datang dari pasar. Tanda kedua datang dari inversi kurva imbal hasil surat utang pemerintah AS tenor panjang dan tenor pendek.

Seharusnya obligasi pemerintah bertenor panjang memiliki imbal hasil yang lebih tinggi. Namun karena adanya kecemasan dalam jangka pendek, maka surat utang pemerintah bertenor pendek mengalami tekanan jual yang masif sehingga imbal hasilnya naik signifikan.

Pada Agustus 2019 lalu, inversi imbal hasil surat utang pemerintah AS terjadi untuk tenor 2 dan 10 tahun. pada 2020, spread atau selisih imbal hasil surat utang pemerintah AS tenor 3 bulan, 2 tahun dan 10 tahun semakin berhimpit. Pelaku pasar makin mencemaskan bahwa pembalikan atau inversi akan kembali terjadi.

Tanda ketiga datang dari data perekonomian. Wabah corona telah memicu adanya fenomena jaga jarak sosial. Banyak orang diminta untuk bekerja dari rumah. Banyak pabrik yang tak beroperasi atau bahkan beroperasi dengan kapasitas rendah. Produktivitas menjadi menurun, aktivitas sektor manufaktur terhambat dan rantai pasok terganggu.

Pada bulan Maret 2020, angka Purchasing Manager Index (PMI) manufaktur AS berada di 48,5. Angka pembacaan di bawah 50 mengindikasikan sektor tersebut mengalami kontraksi. Dengan angka tersebut artinya sektor manufaktur AS mengalami kontraksi di bulan Maret.

Resesi juga diidentikkan dengan banyaknya pengangguran. Berbicara soal pengangguran, akibat merebaknya corona gelombang tsunami PHK menghampiri para karyawan di AS. Jumlah claim pengangguran di AS secara mingguan yang berakhir pada Maret 2020 mencapai 6,6 juta orang. Ditaksir angka ini akan menembus 15,5 juta

Tingkat pengangguran yang tinggi membuat bank sentral AS turun tangan. Berbagai kelonggaran moneter dilakukannya demi memompa uang ke perekonomian dan menjaga stabilitas harga serta menciptakan lapangan kerja yang maksimal.

Pada Maret ini, Komite Pengambil Kebijakan (FOMC) The Fed membabat habis suku bunga acuan (Federal Fund Rate) ke target 0-0,25%. Pemangkasan suku bunga yang agresif sehingga ke level 0% ini merupakan yang terendah sejak krisis keuangan global 2008 akibat krisis KPR subprima di AS.


Tak hanya itu saja, The Fed kembali mengguyur likuiditas dengan program pembelian aset atau yang lebih dikenal dengan quantitative easing (QE) dengan nilai tak terbatas. The Fed tak hanya membeli obligasi pemerintah saja. Namun The Fed juga berencana membeli obligasi korporasi dengan berbagai rating baik itu yang sifatnya investment grade hingga junk bond.

The Fed juga akan memberikan pinjaman lunak senilai US$ 2,3 triliun kepada UMKM AS ke depannya. Itu semua dilakukan The Fed untuk menstimulasi roda perekonomian Negeri Paman Sam agar tetap berputar.

Tanda-tanda resesi di AS memang sudah senyata itu. Ganasnya corona memang tak bisa dianggap remeh. Negeri adidaya sekelas AS saja dibuatnya kewalahan. Semua harus bersiap-siap dengan kemungkinan terburuk.

https://www.cnbcindonesia.com/news/2...da-besarnya/1
4iinch
infinitesoul
anasabila
anasabila dan 5 lainnya memberi reputasi
6
792
12
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan