Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

Puspita1973Avatar border
TS
Puspita1973
A ROOM IN MY HEART


Food Court, kedai Gudeg Jogja, pukul 19.00 WIB. Antara yakin dan tidak, kulangkahkan kaki menuju ke tempat itu. Begitu sampai, salah satu karyawanku datang menyambut hangat. Mataku berkeliling mencari-cari sesuatu. Berkat bantuannya, aku bisa dengan mudah menemukan seseorang yang sedang menunggu di salah satu sudut ruangan. Aku segera duduk di hadapannya. Sepertinya Tian juga baru saja sampai. Di atas meja telah tersaji semua makanan dan minuman pesanan kami.


Tribunnews


"Mas, menurut Pak Budi, sebagian besar perselingkuhan itu terjadi karena sex-oriented, apa Mas setuju?" Aku membuka pembicaraan dengan pertanyaan yang tidak relevan dengan tujuan berada di tempat itu.

"Bisa jadi. Khususnya laki-laki, karena dia tidak membutuhkan libatan emosi khusus untuk bisa having sexdengan wanita." Tian menjawab datar sambil menatapku nakal.

Aku diam terpaku di tempat sambil mengaduk minuman hangat di atas meja. Sesekali kubalas tatapannya dengan senyuman tanpa dosa.

"Kalau tidak suka, hiii mana bisa begituan!" ucapku sambil menarik sudut bibirku ke atas, aku berusaha membuat ekspresi sepolos mungkin.

"Ya, karena kamu wanita." Tian menarik kedua sudut bibirnya.

Setelah itu, wajah tampan oriental Tian terus mengarahkan pandangannya padaku. Jantungku sedikit terusik dengan tatapan matanya yang seolah mencumbui. Untuk sesaat aku terpasung dalam dekapan mata teduh berbulu lentiknya. Tak sepatah kata pun mampu terucap dari bibirku.

Suasana benar-benar hening beberapa menit. Hanya terdengar suara lalu lalang langkah waiter dan waitress yang sedang melayani para pelanggan.

"Mas, seandainya Tuhan memberi tawaran, apakah saya bersedia diberi hadiah spesial: William Baldwin, George Clooney, atau Brad Pitt, tapi hanya bisa dimiliki sesaat, maka akan saya menjawab 'tidak'! Big say no. Itu sangat menyakitkan!" ujarku menyambung pembicaraan. Statement-ku mulai merujuk pada pokok permasalahan.

"Ya, saya mengerti ...." Tian menghela napas panjang.

"Andaikata saya bisa seperti Kahlil Gibran atau Profesor Sapardi Djoko Damono, kelak akan saya tulis semua kisah kita menjadi sebuah puisi, cerpen, bahkan novel." Aku berusaha menahan sesuatu yang mulai bergejolak di dada.

Tanpa terasa air bening menggantung di sudut mataku. Tian kembali menghela napas, bola matanya terus menatap lurus dan tajam. Kutatap wajahnya lekat-lekat, tak sedetik pun mataku berpaling darinya. Tiba-tiba perasaan rindu padanya terasa menusuk. Padahal hampir setiap detik kami keep in touch via telepon.

Ya Allah, apa yang terjadi denganku?

Malam itu menjadi babak penentu. Dengan membunuh segala rasa tak tega dan menikam hati sendirinya setiap saat, Tian memutuskan tak akan menemuiku lagi. Kecuali di tempat latihan piano. Seketika air bening di mataku yang sempat tertahan, akhirnya berderai hebat. Dan, seperti biasanya, begitu melihat tangisanku, Tian pun mendadak panik. Ada sinyal ingin memeluk tetapi itu tak mungkin ia lakukan.

"Honey, kita masih bisa bertemu, kok, selain di tempat latihan juga di rumah Mr. Robert saat kamu ingin speaking English sana-sini." Sepertinya, ia mencoba menenangkan.

"Iya, tetapi untuk untuk apa? Apa itu, ada gunanya?" sergahku dengan bercucuran air mata.

"Okay. Kalau kita terus bersama, apa gunanya, juga? Kita ini dibatasi tembok tebal yang tak mungkin ditembus! Semakin lama kita bersama, maka akan semakin menyangkitkan! Jadi untuk apa ditunda-tunda?"

"Okay. Okay ... I got it. Mas benar, aku yang terlalu melow dan tidak realistis!" Pipiku semakin menghangat. Debaran lirih pun mengalir begitu saja. Membuat jantungku berdentam hebat.

Setelah berjibaku dengan perasaan masing-masing lebih dari dua jam, malam yang larut memaksa kami meninggalkan kedai makanan favorit, milikku. Sepanjang perjalanan pulang, rasa kehilangan dan sakit yang entah di mana letaknya, terus-menerus meremas jantung.

"Ya Allah, tolong aku. Ya Allah, tolong aku. Engkau ciptakan seseorang yang nyaris sempurna untukku tetapi mustahil kumiliki. Engkau anugerahkan rasa cinta yang sedemikian besar tetapi harus kubuang! Ya Allah ... tolong aku! Ini di luar batas kemampuanku," gumamku. Tangisku meledak, dadaku tersengal-sengal.


Seruni.id


Serasa terngiang kembali jeritan hati dan tangisku dua puluh tahunan yang lalu itu. Atas nama perbedaan keyakinan, aku dan Tian sepakat memilih jalan masing-masing. Alam mendaulat ia tetap berdiri kokoh pada keyakinannya, pun denganku.

Terus kubuka folder-folderlama di dalam laptopku. Jantungku mendadak berdetak lebih kencang saat melihat senyum khas-nya masih terpampang di sela-sela rimbun tumpukkan puluhan foto lain.

Seketika siluet masa lalu tentangnya berkejaran di mataku. Melayangkan kembali ingatan ke masa itu. Sebuah kenangan yang telah dengan susah payah kukubur dalam-dalam.

Ponselku memberi sinyal pesan masuk. Segera kubuka.

Rumah kamu terlihat paling jelas dari atas. Diakhiri dengan emot senyum. Pesan dari Tian.

Mas di mana?

Lebih dari lima menit belum ada balasan. Tak lama terdengar suara pesawat terbang rendah di atas rumah. Semakin lama suaranya semakin meraung keras. Membuat telinga pekak.

Sepertinya ini bukan pesawat biasa!

Rasa penasaran mendorongku membuka daun jendela kamar, kemudian mendongak ke atas. Terlihat Cessna putih dengan ujung sayap berwarna merah sedang melayang di atas. Sejenak aku terpaku memandangnya, seperti anak kecil yang baru pertama kali melihat benda bernama pesawat. Setelah menari-nari beberapa menit, lambat laun pesawat itu pun menghilang.

Telephon selularku kembali bergetar.

Saya baru saja test-flight di atas rumah kamu. SMS dari Tian, di akhir kalimatnya, ia bubuhkan emoticon gembira.

Ahk, balasan pesan yang kutunggu-tunggu akhirnya datang juga. Aku tersenyum. Entah mengapa hatiku serasa penuh dengan warna-warni bunga--seperti ABG yang baru mengenal cinta. Belum sempat handphone kututup, HP kembali berteriak pertanda panggilan masuk. Tertulis nama 'My Honey Tian' di layar.

"Hallo ... Sayang. Tolong kasih tahu, besok latihan piano di kelas saya, cancel. Saya ada penerbangan extra so harus stay di luar kota," suara Tian terdengar merdu dari balik ponsel.

Terpana dengan suara nge-bass-nya, aku terdiam menikmati.

"Hallo Sayang! Apa kamu masih di situ?"

"Ah, iya! Lagi dengerin suaranya Mas yang mirip Kenny Rogers."

"Mmmm. Sayang ..."

"Yah."

"Karena ini dadakan saya tidak membawa underwear!"

"Teruss maksudnya?"

"Hahahaha!" Hanya tedengar suara tawa, apa maksud tawa itu, hanya Tian sendiri yang tahu.

Begitulah. Selalu ada tawa, bahagia dan bunga-bunga saat bersamanya. Bersama ia yang selama dua tahun telah menjadi penjaga hatiku. Selain berprofesi sebagai pilot, Christian juga instruktur piano di sekolah musik, di mana aku menjadi salah satu staff di sana. Di samping itu aku juga berwiraswasta dan akhirnya menjadi tenaga pengajar di sebuah perguruan tinggi.

***

Postur tubuh tinggi besar, tampang keren, dan otak encer menjadi magnet kuat bagi lawan jenisnya. Ria, Mia, Vena, Maya dan Raisha adalah sederetan nama-nama yang pernah ia tolak, pun sempat singgah sejenak di hatinya. Rasanya bangga. Dari semua, Tian lebih memilihku yang sebenarnya tak memiliki kelebihan khusus dibanding mereka.

"Dulu saya tak pernah menghiraukan wanita type kamu," ucapnya suatu sore sambil menyalakan api di atas arang untuk membakar ikan di belakang rumahnya.

"Terus ... maksudnya?"

"Ya, setelah saya hiraukan, ternyata kamu sangat menarik!” Tian menarik kedua sudut bibirnya.

Serta merta aku mencubit pinggangnya. Laki-laki itu hanya diam mematung. Seperti sedang menikmati jepitan jari-jariku di tubuh kekarnya.

"Se-menarik apa?"

"Kan, tidak perlu dijelasin."

"Tapi saya ingin ...," pintaku sedikit manja.

"Mmmmm."

"Ayooo, jawaab." Aku merengek seperti anak kecil.

"Ya sudah. Kamu religius, intelek, dan matang."

Sampai sekarang aku masih dan selalu akan teringat tiga kata itu. Betapa ketiganya tersimpan sangat rapi di hati dan pikiranku.

***

Walau tak tinggal satu atap, di mana ia dan sedang melakukan apa, tak pernah lepas dari kacamataku. Meskipun tidak menjalankan salat, SMS subuhnya hampir tak pernah lupa membangunkanku. Juga ucapan selamat tidur yang tak bosan ia kirimkan. Sebelum ia sendiri terlelap di pembaringan.

Sedangkan kegemarannya berolah fisik, sesuatu yang sama sekali tak kusukai telah mampu menggairahkanku mengikuti salah satu gaya hidupnya itu. Benar-benar seorang motivator, sahabat, kakak dan juga kekasih yang handal.

Hampir setiap hari Minggu sepulang ibadah, entah di rumahnya, rumahku atau pantai dekat rumah, kami menyempatkan diri berkumpul bersama teman-teman. Biasanya aku memasak makanan-makanan kesukaanya. Kepiting, semua jenis ikan laut dan sayur cah sawi. Di hari jadinya tak pernah lupa selalu kuselipkan ucapan, doa, dan hadiah kecil. Sebagai balasan aku boleh meminta sesuatu. Ini dan itu. Dari yang sederhana sampai yang mengada-ada.

"Mas, kita kan tidak mungkin menikah, boleh tidak suatu saat saya minta donor sperma?" tanyaku suatu malam. Kupikir ia akan terkejut. Ternyata sebaliknya.

"Kalau agama memperbolehkan, kenapa tidak? Dulu waktu saya masih kuliah di US, jika saya meninggal di sana maka organ-organ penting tubuh saya donorkan!" Wajah Tian tampak serius.

"Donor organ tubuh dan donor sperma beda kali, Mas!" aku berusaha memasang tampang se-innocent mungkin,"kalau donor sperma, setelah itu, kan, ada Tian junior."

“Iya."

“Mas, seandainya Tian junior beneran ada, wow pastinya dia wonderful! Akan tampan, tinggi, dan rasional seperti Mas. Juga cerdas seperti saya." Pikiranku melayang ke langit ke tujuh.

"Atau bisa juga egois dan tidak sensitif seperti saya atau cerewet dan sangat sensitif seperti kamu, hihihi!" jawab Tian mengolokku dengan kekurangan kami masing-masing.

Kupukul dadanya dengan kepalan dua tangan, lirih. Ia tersipu menikmati. Rasa haru seketika menyeruak. Menembus dadaku yang paling 'entah'.

Kini semua tinggal kenangan. Hanya sebatas itulah Allah menghadirkan Tian untukku. Panggilan kerja di sebuah perusahaan maskapai penerbangan di Jakarta telah membatasi dan akhirnya memisahkan kami. Selain faktor keyakinan yang sebenarnya penghalang terdasyat yang takkan sanggup dilawan.


Pixabay


"Mas seandainya hati memiliki ruang-ruang, walaupun kita tidak akan mungkin bersama, bisakah Mas sisakan salah satu ruang itu untukku?" Pertanyaan terakhirku. Sebelum komunikasi via HP kami batasi.

Tian hanya menatap diam, dari sorot matanya aku tahu ia setuju.

Aku hanya butuh secuil ruang di hatinya bukan seluruh hidupnya. Andai dunia tidak menginginkan aku dan ia bersama dalam sebuah bahtera. Berharap di dunia yang berbeda kelak aku bisa bebas mencintainya ....

Secarik kertas yang sempat kutulis untuknya.

You are the answer to my night prayer
The guardian from the sky for me ...
The wonder of your love is able to cheer me up and face the rocky path in my life.
You build my self confidence up ...
You guide my way to the right side.
Although you were born different me but we met in the same heart ...
So, the pieces of my heart always miss you ...
Always and always!
Please hug and love me ... if could not be in this wold hopefully in another world ...


North Kalimantan, April 2020.

----

Fiksi
Diubah oleh Puspita1973 24-06-2022 10:18
suekethos
grg.
nona212
nona212 dan 99 lainnya memberi reputasi
100
2.5K
175
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan