wiwinindah10Avatar border
TS
wiwinindah10
Bakso Ular #5


🐍🐍🐍

“Ayo, Pen. Kita pulang, nanti kita pikirkan lagi. Kita masih punya Allah, gak ada kekuatan yang bisa menandingi-Nya, pasti kita bisa menemukan Gita,” ucap Mbak Sarah. Aku mengangguk pasti, benar kata Mbak Sarah. Aku hanya perlu berusaha dan percaya pada kekuatan Allah.

Kami kembali ke kontrakan. Mbak Sarah dan Alya menuntunku, rasa nyeri di kaki membuatku sulit berjalan sendiri. Kulihat orang-orang tidak ada yang keluar, tidak mungkin jika mereka tak mendengar teriakkanku tadi.

Padahal begitu membahana membelah malam. Mungkin mereka tidak mau ikut campur.

Tiba di kontrakan. Aku duduk bersandar di lantai beralaskan tikar, Alya memijat kakiku yang terasa sakit. Mbak Sarah mengambil minum untukku, mereka sangat baik. Sangat bersyukur di saat sperti ini aku memiliki teman seperti mereka.

“Mbak Sarah pulang saja, kasian anak-anak,” ucapku merasa tak enak.

“Gak apa-apa, Pen. Anak-anak sama suami, ada ibuku juga. Mereka nurut, kok,” jawabnya seraya tersenyum. Lalu memberikan gelas yang sudah dituangkan air minum.

“Oh, ya. Hampir lupa, sebenarnya aku kesini juga mau kasih tahu, Pen. Tadi siang pas kita makan di warung Bang Kumis, waktu kamu ke belakang. Salah seorang karyawa ngasih ini, katanya buat kamu.” Mbak Sarah menyodorkan secarik kertas.

“Apa ini, Mbak?” tanyaku penasaran. Sembari mengambil kertas itu dari tangannya.

“Gak tahu, Pen. Coba buka, siapa tahu penting,” titah Mbak Sarah. Aku langsung membukanya.

[SAYA TAHU TEMAN MBAK YANG HILANG. INI NOMOR SAYA 08********** BENI]

Mataku membulat sempurna saat melihat tulisan itu. Benarkah yang ia katakan?

“Peni! Apa tulisannya?” tanya Mbak Sarah.

“Iya, nih. Malah bengong,” ujar Alya ikut menimpali. Lalu kusodorkan kertas itu pada dua temanku, supaya mereka membaca sendiri isi kertas itu.

“Naaah! Ini, nih!” seru Mbak Sarah. Seketika itu aku dan Alya terlonjak kaget.

“Hehehe ... maaf, saking semangatnya. Udah buru telepon tu si Beni, Pen. Kali aja emang dia tahu sesuatu, kan?”

Tanpa pikir panjang, aku langsung mengambil ponsel dan mencatat nomor Beni. Lalu menekan tombol panggil.

Nyambung. Tak lama terdengar suara seorang laki-laki.
“Halo?”

“Assalamu’aalaikum? Dengan Mas Beni?”

“Wa’alaikumsalam. Iya, saya sendiri. Ini siapa?” tanya laki-laki bernama Beni itu.

“Saya Peni, Mas. Mas yang ngasih nomor di kertas tadi siang, ‘kan?” jawabku. Tanpa basa-basi aku bertanya padanya.

“Oh, iya, Mbak. Kita ketemu saja, biar enak ngomongnya. Gimana?” Seketika kujawab ‘Iya’ sebelum akhirnya sambungan telepon terputus.

Kami akan bertemu besok pagi, kebetulan hari minggu. Katanya dia izin nggak masuk kerja, aku mengirim lokasi untuk kita bertemu besok.

Malamnya aku tak bisa tidur. Ucapan Bu Ningsih terus terngiang dalam pikiranku, mungkinkah Gita memang sudah meninggal? Astaghfirullah ... aku kembali menangis, apa yang harus aku lakukan? Bagaimana aku menghubungi keluarga Gita?

Memang dia sudah tak punya orangtua, tapi setidaknya dia masih punya saudara dari orangtuanya. Gita pernah bercerita, kalau rumahnya berdekatan dengan rumah pamannya. Namun, bagaimana aku bisa mengabari?

Nomor HP saja gak ada, apa lagi alamatnya. Ya Allah, tolong bantu aku dan selamatkanlah Gita, ya Allah ....

Cukup lama terjaga, hingga akhirnya mata terasa pedih dan terasa berat. Aku terlelap.

***
Pukul 10:00 pagi. Aku hanya pergi bersama Alya, Mbak Sarah ada janji ke rumah mertuanya. Kami bertemu di sebuah kedai coffe yang cukup ramai, dekat taman kota. Bisa dibilang tongkrongan anak muda., apalagi hari libur seperti ini.

Memang sengaja kupilih tempat yang jauh dari tempat aku tinggal, takut-takut ada yang memergoki kami ketemuan, bisa repot urusannya, apalagi kalau Bang Kumis yang tahu. Sekalian setelah ketemu Beni, aku akan lapor polisi. Sudah hampir 2x24 jam Gita belum ketemu, semoga saja dengan bantuan polisi masalah segera terungkap.

“Mbak Peni, ya?” tanya seorang laki-laki yang tiba-tiba berada di sampingku.

“Iya, saya Peni. Ini teman saya,” ucapku memperkenalkan Alya pada laki-laki berambut cepak itu. Mereka bersalaman dan saling menyebutkan nama mereka.
“Silakan duduk, Mas.”

“Terima kasih,” ucapnya seraya menggeser kursi dan menjatuhkan bokongnya.

Tak perlu basa-basi. Aku bertanya tujuan kami bertemu. “Apa yang Mas Beni ketahui tentang temanku? Mas tahu di mana Gita? Tolong kasih tahu, Mas,” tanyaku tak sabar. Rasa penasaran begitu membara.

“Oh, namanya Gita? Begini, Mbak. Saya, sih, gak tahu pasti sekarang dia di mana dan bagaimana. Jelasnya, kemarin saat Mbak Gita ke toilet, dia lancang masuk ke ruang gudang. Padahal saya saja sebagai karyawan gak pernah masuk ke situ, dilarang keras. Saat Bos datang, aku langsung keluar.

Gak jadi manggil Mbak Gita, setelah itu memang saya gak liat dia keluar lagi. Aku pikir dia sudah pulang,” paparnya. Seketika membuatku terkejut. Mungkin saja memang benar, Gita disekap di ruang itu.

“Lalu?” tanya Alya.

“Ya ... saya denger Mbak Peni sama Bos sedang bicara tentang Mbak Gita kemarin, dari situ saya mikir kalau Mbak Gita memang belum pulang.”

“Apa yang Mas ketahui tentang ruangan itu?” Aku mengintrogasinya seperti seorang polisi.

“Aku gak tahu, Mbak. Kata Bos, itu cuma gudang, memang aku juga rada curiga, sih. Suka denger suara mendesis, kaya suara ular gitu.”

“Jadi di dalam ruangan itu suara ular? Artinya ... Gita—“ Aku begitu shock. Pikiranku tak karuan mbayangakn sesuatu yang tidak-tidak. Rasa takut, khawatir dan putus asa bercampur jadi satu.

“Kita lapor polisi aja, Pen. Ini udah gak bisa dibiarin, kasihan Gita kalau kelamaan. Bisa-bisa dia—“ ucap Alya terpotong. Terlihat ada kecemasan dalam raut wajahnya.
Tanpa pikir panjang kami pergi ke kantor polisi. Mas Beni bersedia menjadi saksi, dan aku ... akan kupastikan si Kumis itu membusuk di penjara.

Tiba di kantor polisi, kami segera masuk dan membuat laporan kehilangan. Satu polisi menanyai segala yang terkait saat sebelum dan sesudah Gita hilang, sementara yang satunya mencatat keterangan yang kami jelaskan.

“Apa kalian yakin jika Nak Gita berada di ruangan yang ada di dalam warung itu?” tanya Bapak Polisi bernama Hendra, terpampang jelas namanya di baju seragam yang tengah dikenakan.

“Saya sangat yakin, Pak!” Tegas aku menjawab.

“Baik, laporan kami terima. Segera kita ke TKP,” ucap Pak polisi. Kami mengangguk tanda setuju, Mas Beni tidak ikut. Ia takut terkena masalah dengan si Kumis itu, biarlah yang penting dia sudah mau memberikan kesaksian yang cukup meyakinkan.

Tiba di warung Bang Kumis. Beberapa orang pengunjung terheran-heran, mendapati kami membawa tiga orang polisi. Aku dengan pongahnya main nyelonong di warung si Kumis, ingin sekali kulihat wajah angkernya tiba-tiba pucat bagai hantu ‘Casper’. Bila perlu kumis tebalnya itu rontok karena gemetar hebat melihatku tak main-main membawa polisi. Bisa kubayangkan wajah angkernya itu tanpa kumis. Rasakan!

“Maaf, ada apa ini?” ucap laki-laki yang beberapa hari ini sudah membuat jantungku selalu berdebar-debar saat di dekatnya.

“Selamat siang, Mas. Kami dari pihak polisi mendapat laporan, bahwa seorang gadis hilang dan kemungkinan disekap di sini. Bisakah kami bertemu pemilik warung? Sebelum saya menggeledah dan menyelidiki kasus ini.” Pak polisi dengan tegas menjelaskan maksud kedatangan kami.

“Oh, baik, Pak. Kebetulan rumah Bos saya ada di belakang. Saya panggilkan dulu,” jawabnya. Lalu Mas Kasir langsung pergi.

Jantungku terasa dag-dig-dug! Entah kenyataan apa yang akan kuketahui sebentar lagi. Gita, bertahanlah! Sahabatmu ini akan membebaskanmu! Aku menarik napas panjang, berusaha menetralkan rasa yang begitu membludak. Mengaduk-aduk seluruh isi perutku! Mules.

Kulirik Alya yang sedari tadi hanya diam, tiba-tiba teringat ucapannya semalam. Kalau dia bisa melihat hal ghaib, terlihat gadis cantik itu tengah sibuk dengan ponselnya. Aku mendekat.

“Alya, apa kamu masih melihat ular-ular bersama tumpukan bakso itu?” bisikku pelan. Dia hanya mengangguk, wajahnya terlihat pias. Apa Alya ketakutan? Gak bisa kebayang, sih, lihat ular numpuk bersama bakso. Hiiiy, aku terasa mual. Mengingat beberapa kali makan di sini.

Saat aku akan kembali menanyainya, tiba-tiba Mas Kasir datang dengan si Kumis angker.
“Selamat siang? Ada apa ini?” ucap si Kumis, nadanya begitu sopan. Aih! Kenapa itu orang terlihat santai gitu? Gak ada takut-takutnya. Malah sok ramah! Aku melengos saat dia melirikku.

“Udah, Pak. Gak usah basa-basi, langsung saja grebek ini warung! Kasian teman saya di dalam!” Aku gemas melihat wajah si Kumis yang terlihat sok manis. Padahal pahit!
Pak Polisi menjelaskan sebentar maksud kedatangan kami, lalu tanpa membuang waktu kami segera masuk ke belakang, menuju sebuah ruangan yang menjadi target penggrebekan. Anehnya, si Kumis itu benar-benar tidak merasa ada sesuatu yang perlu ditakuti. Seperti tidak ada apa-apa, mungkin dia seorang psikopat!

Jantungku kembali berdetak lebih cepat, kala si Kumis tengah membuka kunci pintu. “Silakan, Pak,” ucapnya dengan santai, ia mempersilakan Pak Polisi untuk masuk.

Belum sempat ketiga polisi itu masuk, aku menyerobot mendahului mereka. Rasa penasaranku sudah di ubun-ubun, ingin sekali aku bertemu dengan Gita.

Betapa terkejutnya saat sudah di dalam ruangan. Aku tak mendapati Gita, bahkan ruangan ini begitu bersih. Lebih tepatnya kosong! Apa ini? Mengapa kosong? Aku berbalik dan mendekati si Kumis yang tengah senyam-senyum.
“Bang Kumis! Di mana anda sembunyikan Gita!? Pasti anda sudah membersihkan tempat ini sebelumnya, ‘kan!?” Emosiku tak terkontrol, hingga menunjuk-nunjuk ke arah wajahnya—tak terima dengan tipuan ini—padahal sedikit lagi aku bisa menemukan Gita.

“Tenang, Nak Peni. Tidak perlu teriak-teriak seperti itu, kita ke sini untuk menyelidiki laporan yang sudah Nak Peni buat. Ternyata memang tidak apa-apa di ruangan ini,” ucap salah seorang polisi, yang lain hanya manggut-manggut.

“Bukankah sudah saya katakan kalau di ruangan ini tidak ada apa-apa? Ngeyel dibilangin!” ucap si Kumis. Ia terlihat begitu santai menghadapi situasi ini.

Pakai ilmu apa dia? Jelas sekali aku mendengar suara-suara yang kata Mas Beni itu adalah suara ular. Lalu, di mana ular-ular itu? Kenapa si Kumis bisa tahu aku akan menggrebek ruangan ini bersama polisi? Astaghfirullah ... otakku dipenuhi banyak pertanyaan.

“Tidak mungkin! Jika memang tidak ada apa-apa kenapa saya dan karyawan anda sendiri tidak boleh masuk ke sini? Pasti semua ini sudah dipersiapkan!” jawabku tak mau kalah.

“Loh, itu, kan, hak saya. Lagian tidak boleh masuk bukan berarti ada apa-apa, ‘kan?” Ia tersenyum sinis. Membuatku muak!

Pihak polisi kini tak bisa berbuat apa-apa, juga tak bisa meneruskan kasus ini, bukti dan saksi disanggah psikopat itu dengan santainya.

Ponsel Gita tidak bisa dilacak, ini sangat aneh! Bahkan karyawan yang lain hanya bisa meng-iya dan menolak sesuatu yang membenarkan ucapan si Kumis itu, mungkin mereka takut atau memang sudah didoktrin olehnya. Ya, itu sangat mungkin!

Inilah yang sudah aku pikirkan sejak awal, jika saja aku menyelidiki dulu lebih detail. Pasti ini semua tidak akan terjadi. Gita, maafkan aku!
Ya Allah ... haruskah aku menyerah? Hanya engkau yang bisa menunjukkan segalanya, tolong tunjukkan kebenaran ini ya Allah ....

Aku keluar, melangkah gontai. Pikiran limbung entah ke mana. Tak lagi kuhiraukan ocehan si Kumis itu.

Dia tertawa mengejek, merasa menang dan puas membuatku gagal memenjarakannya. Baru kusadari, ternyata lawanku benar-benar iblis yang sesungguhnya.

Saat aku sudah keluar dari warung si Kumis, baru tersadar jika sedari tadi Alya tidak ada selama kami di ruangan. Ke mana dia? Astaghfirullah, kenapa aku bisa se-teledor itu?

Buru-buru aku menghubunginya. Tidak tersambung! Sial! Aku berlari ke rumah Mbak Sarah yang jaraknya tak jauh dari situ, mungkin Alya takut saat di warung Bang Kumis dan lebih memilih untuk pergi ke rumah Mbak Sarah.

Tiba di rumah Mbak Sarah. Sepi, beberapa kali kupanggil tidak ada sahutan. Sepertinya tidak ada orang, ah sial! Aku lupa, Mbak Sarah, kan, sedang ke rumah mertuanya. Berarti Alya tidak ke sini. Lalu, di mana Alya? Aku mondar-mandir, bingung harus bagaimana. Apa aku ke rumahnya saja, ya?

Ya Allah ... apa lagi sekarang? Gita belum ditemukan, dan sekarang Alya menghilang. Semoga saja dia sudah pulang.


Bersambung...

Part sebelumnya 👇
https://www.kaskus.co.id/show_post/5...d69555834c1a92

By : Umi Ghani (Wiwinindah)
NadarNadz
nona212
tien212700
tien212700 dan 38 lainnya memberi reputasi
37
1.4K
20
Thread Digembok
Urutan
Terbaru
Terlama
Thread Digembok
Komunitas Pilihan