Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

alexstewartAvatar border
TS
alexstewart
Fugo's Diary

Namaku Fugo, Pannacotta Fugo, nama yang cukup aneh bukan? Pannacotta adalah puding susu tetapi mengapa nama itu bisa menjadi nama keluargaku? Aku tak habis pikir dengan pendahuluku. Gara-gara nama ini juga aku sering diejek oleh teman-teman sekolahku tapi mereka hanya sekedar mengejek dibelakangku saja tak berani menatap langsung ke arahku. Yah mungkin karena pengaruh keluargaku juga di Kota ini.

Saat ini aku berumur 16 tahun, usia remaja, usia dimana seseorang baru akan melangkah ke proses menjadi dewasa. Usia dimana kalian akan segera meninggalkan sifat kekanak-kanakan kalian. Usia dimana kita sangat bersenang-senang dengan teman-teman.



Tapi itu tidak terjadi padaku.



Aku tidak memiliki teman.



Maupun keluarga.



Tapi ini kisahku, sampai dimana aku tidak bisa mengontrol emosiku karena masa laluku.



Aku lahir di Kota Napoli atau kau bisa juga menyebutnya dengan Naples.



Aku lahir dikeluarga terpandang, terhormat di Kota itu, karena keluargaku secara turun menurun adalah pedagang yang sukses maka kamipun mendapat layaknya penghormatan dari masyarakat sekitar. Yah, sebenarnya sih aku juga mendapat keuntungan banyak dari keluargaku ini seperti aku tidak akan pernah khawatir jika aku kelaparan, misalnya.



Di rumahku yang besar, tinggal aku, ayah, ibu, kakek dari ayah, nenek dari ayah, dan kakak laki-lakiku. Terlihat seperti keluarga harmonis, bukan?



Tapi itu tidaklah benar.



Mereka tidak benar-benar peduli padaku.



Mereka hanya memperdulikan harta, kehormatan dan kedudukan di masyarakat dan akan melakukan berbagai cara untuk mencapai itu semua.



Mereka tidak pernah menyayangiku, kecuali satu orang, nenekku.



Dia sangat menyayangiku dan senang memanjakanku, akupun juga sangat menyayanginya. Nenek bahkan memiliki panggilan khusus untukku, "panni". Disaat aku terlalu hidup disiplin bahkan diumur anak-anak, nenek selalu menghiburku dan selalu membuatku bahagia. Nenek senang membuatkanku camilan kesukaanku. Pokoknya hari-hari bersama neneklah aku benar-benar merasakan bahwa hidupku itu indah.



Namun sayangnya, hal ini tidak berlangsung lama.



Nenek telah meninggal dunia.


Meninggalkanku sendirian disini.


Dan harus menghadapi perlakuan keluargaku sendirian.



Kejadian ini sekitar aku berumur 13 tahun.



Kerena aku terlahir dengan IQ 152, aku bisa dengan cepat melompati kelas dan bisa masuk ke universitas saat umurku 13 tahun. Aku masuk universitas di Kota Bologna yang artinya aku harus meninggalkan Napoli, meninggalkan nenek. Aku merengek aku tidak ingin pergi kesana bahkan di Napolipun aku dapat dengan mudah untuk masuk ke universitas. Tetapi rengekanku sama sekali tidak dipedulikan oleh mereka, terutama kakekku. Mereka berpendapat jika aku masuk universitas di Bologna itu lebih bergengsi dan lebih elit untuk keluarga kami dan seperti yang sudah aku ceritakan sebelumnya, mereka gila akan kehormatan.



Akhirnya aku masuk universitas di Bologna.


Seperti biasa, nenek akan selalu menghibur kesedihanku.


Dengan tangan keriputnya, dia memegang pipiku dan berkata dengan lembut "tidak apa-apa Panni, kau kan bisa pulang setiap minggunya", aku tidak membalas perkataannya, aku sendiri sedih dan bingung bagaimana aku melewati hari-hariku di Kota asing tanpa nenek, meski aku sepintar apapun, aku masih anak-anak berumur 13 tahun!


Aku pasti sangat merindukan nenek nantinya.



Di universitas, seperti biasa banyak gosip tentangku beredar kalau aku masuk universitas karena "menyogok" karena usiaku masihlah sangat muda untuk seseorang masuk universitas.


Aku tidak peduli tentang hal itu.


Aku hanya akan bersekolah disini, menyelesaikannya secepat mungkin dan kembali pada nenek.


Hanya itu yang aku pikirkan setiap hari.



Aku bahkan masih ingat tentang hari itu.


Saat cuaca cerah di siang hari, aku mengikuti ujian di universitasku, namun aku mendapat kabar bahwa nenekku telah meninggal.


Hatiku hancur saat itu juga dan dengan cepat aku meminta ijin pada dosenku untuk tidak mengikuti ujian dan pulang untuk menghadiri pemakaman nenek.


Tetapi dosen itu tidak mengijinkanku dengan alasan ujian ini penting untuk masa depanku. Namun aku juga bersikeras kepadanya untuk pulang. Kami sempat bersitegang di kelas dan sampai dititik aku tidak bisa mengontrol emosiku, aku menghajar dosen itu dikelas dan beberapa pukulan sampai hidungnya berdarah.


Kejadian inipun sampai ditelinga keluargaku dan dengan cepat mereka "membereskan" masalah ini dengan uang. Mereka bahkan tidak peduli bagaimana perasaanku. Kakekku memandangiku dengan sinis dan ayahku mengancam kepadaku jika aku tidak lebih berguna untuk keluarga lebih baik aku keluar saja dari keluarga ini.

Aku tidak berdaya kepadanya, aku masihlah anak-anak saat itu, aku terlalu takut untuk hidup sendirian diluar sana.

Aku menuruti mereka.



Aku sempat berpikir kenapa mereka memperlakukanku seperti barang, mereka tidak memperdulikanku dan menganggapku sebagai barang yang harus berguna bila ingin hidup bersama dengan mereka.


Bagaimana dengan kakakku? Mereka peduli dengan kakakku tapi tidak denganku. Kakakku dapat dengan mudah mendapatkan apa yang ia mau dan melakukan apa hal yang ia sukai tetapi tidak denganku.


Ketika aku bertanya hal itu kepada ayahku, ayah menjawab karena aku dilahirkan berbeda. Aku dilahirkan sebagai 'penyelamat' keluarga ini karena aku seorang anak yang jenius. Mereka berharap dengan kemampuanku ini dapat membawa keluargaku ke tingkat yang lebih tinggi. Maka dari itu mereka mati-matian untuk membentukku sesuai apa yang mereka harapkan.


Aku tidak mengerti ini, apa itu berarti kakakku lebih bodoh dariku? Dan sebagai seorang jenius aku harus menghadapi neraka dunia ini?


Konyol sekali.


Aku bahkan harus belajar dengan keras dengan ayah yang mengawasiku dibelakang dengan membawa cambuk. Bisa kau rasakan itu? Rasa ketakutan dan rasa muakku kepada mereka yang memperlakukanku seperti sapi perah.


Aku tidak tahan dengan mereka terutama ayah dan kakekku.


Dua orang gila yang menginginkan kedudukan di masyarakat yang bahkan aku tidak hapal nama-nama mereka. Untuk apa itu semua?


Pernah saat itu ketika aku tertalu tertekan oleh mereka dan sudah sampai di titik aku merasa muak, dengan emosiku yang tertahan selama ini, aku melampiaskannya.


Aku mengambil pisau buah di dapur dan aku sedang bersiap menikam ayahku saat ayah membaca koran di depan perapian, aku datang dari belakangnya, mengendap-endap dan akan menusuknya.


Namun aku sejenak sadar, aku menahan tanganku yang bersiap akan menusuk ayahku itu, menjatuhkan pisau itu ke lantai dan segera berpikir logis tentang apa yang aku lakukan dan dampak yang akan aku derita nantinya.


Aku benar-benar tidak bisa menahan emosiku.


Benar-benar tidak bisa.



Hal ini juga terulang kembali saat di universitas.



Hari itu, ketika aku sedang berada di perpustakaan jurusan, aku sedang mencari bahan untuk tugasku. Tiba-tiba salah satu dosen mendatangiku, mencoba merayuku untuk pergi kerumahnya. Dosen tua keparat dengan segala perilakunya. Dia tidak pertama kali melakukan ini padaku, ini sudah yang kedua kalinya.


Aku menolak dengan tegas dan tidak bergeming sedikitpun dengan tawaran hinanya. Dosen itu tetap bersikeras untuk membawaku kerumahnya dia bahkan menawariku jika aku bersedia kerumahnya, aku akan diberi tahu soal ujian yang akan keluar esok.


Hah.. benar-benar..


Orang ini telah meremehkanku.


Tidak dengan bocoran soal itupun aku dengan mudah bis menjwab semua soalnya.


Dia menguji kesabaranku rupanya.


Dia menyentuh pundakku, jijik rasanya. Aku mengelak dan segera pergi dari tempat itu tapi dosen itu menahanku. Aku tidak bisa mengendalikan emosiku. Dengan rasa amarah yang meluap-luap aku memukuli dosenku dengan buku ensiklopedia yang kubawa saat itu. Memang terlihat remeh kau menghajar dosen dengan sebuah buku, namun bagaimana jika buku itu beratnya 4kilogram?


Aku menghajarnya sampai berdarah-darah dan karena kasus ini aku sempat dibawa ke kantor polisi untuk menanyai alasanku. Dan seperti biasa, keluargaku "membereskan" para polisi itu dengan uang dan akupun dapat dengan bebas keluar tanpa dihukum sedikitkun.


Namun inilah titik disaat aku muak dengan segala hal. Dengan keluarga maupun sekolahku saat ini.


Aku memilih untuk keluar dari belenggu mereka dan memulai hidup dijalanan toh umurku sudah 15 tahun saat itu, aku cukup siap untuk hidup sendirian dijalanan.



Tapi rupanya harapanku terlalu tinggi. Aku tidak benar-benar bisa hidup dijalanan. Aku meninggalkan kekayaan keluargaku dan tidak melanjutkan sekolahku. Aku hidup di jalanan dengan mengais sisa-sisa makanan yang ada di restoran. Tidak masalah bagiku daripada aku menyerahkan hidupku di neraka itu.



Tetapi berkat hidupku yang dijalanan ini aku mendapatkan hidup baru yang lebih baik. Aku ingat saat itu aku sedang mencari sisa-sisa makanan di restoran, seseorang berpakaian putih, seorang pria tinggi dan langsing dengan rambut bob hitam menghampiriku. Dia menawariku untuk makan di restoran yang dia kenal. Karena saat itu aku sedang lapar, aku segera saja ikut dengannya. Orang itu memilihkan spaghetti carbonara untukku dan aku makan dengan lahapnya. Sedang ia hanya meminum teh sambil memandangiku.


Selesai makan, orang itu bertanya hal tentangku, nama maupun latar belakangku dan alasan mengapa aku ada di jalanan. Aku menjawab pertanyaan yang biasa saja aku juga tidak merasa ada hal yang khusus pada diriku saat ini.


Namun hal mengejutkan datang padaku, orang itu menawariku untuk ikut bersamanya untuk menjadi anggota mafia Passione. Aku tidak mengerti kenapa aku?


Aku memberi alasan yang bertele-tele mengapa hal itu tidak mungkin untukku. Aku memanfaatkan pengetahuanku tentang hukum sosial saat kupelajari di universitas. Tapi nampaknya orang itu semakin kagum kepada pengetahuanku itu. Aku semakin beralasan bahwa aku orang yang penuh dengan emosi dan tidak bisa mengendalikannya, aku takut jika suatu saat nanti aku tidak bisa mengontrol emosiku dan akan melukaimu.


Orang itu hanya tertawa mendengar jawabanku, dia berkata bahwa dia bisa memanfaatkan emosiku itu untuknya. Aku tidak mengerti. Tapi aku juga tidak punya pilihan. Antara kau hidup gelandangan seperti ini dengan hidup dibawah asuhan seseorang mana yang lebih baik?


Maka akupun menerima tawarannya itu.


Tapi tetap saja aku tidak bisa mengendalikan emosiku itu.


Bahkan setelah aku bergabung bersama orang yang menolongku waktu itu, namanya Bruno Bucciarati. Entah kenapa aku merasa orang itu akan bisa naik ke pangkat yang lebih tinggi dengan kemampuannya itu. Namun baik aku maupun Bucciarati masih belum bisa mengendalikan emosiku dengan baik.


Ada saat dimana aku menusuk pipi temanku, Narancia Ghirga dengan garpu. Aku emosi karena beberapa kalipun aku mengajarinya tentang matematika dasar dia selalu memiliki jawaban yang salah. Padahal itu soal yang mudah seperti 16 X 55 dan Narancia menjawab soal mudah tersebut dengan 28. Aku yang emosi segera mengambil garpu didekatku den menusuk pipinya tidak lama itu aku membenturkan kepalanya ke meja.


Atau saat anak baru di kelompok kami, Giorno Giovanna telat memberi tahu arah untuk belok kekanan sedangkan aku sudah melewati belokan itu, amarahku segera meledak karena aku harus melewati jalan itu dua kali. Sama sekali tidak bisa berhemat waktu.


Aku juga tidak mengerti kenapa bisa amarahku meledak-ledak seperti ini tapi nampaknya anggota timku tidak ada masalah dengan hal ini dan bersikap santai.



Aku tidak tahu dengan pasti apa aku bisa mengontrol emosiku apa tidak.



Gimi96
NadarNadz
nona212
nona212 dan 92 lainnya memberi reputasi
91
1.3K
6
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan