Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

galih17Avatar border
TS
galih17
CERPEN : 'Durjana'


  

Suara puluhan ekor jangkrik menyibak kesunyian malam. Sang rembulan menampakkan separuh wujudnya, namun hamparan sinarnya yang jatuh ke bumi masih mampu menjadi lentera. Sebuah rumah yang cukup besar dengan bagian atap berbentuk limasan, tampak begitu anggun bermandikan sinar rembulan itu. Sementara itu, di balik deretan tanaman luntas tiga pasang mata terjaga mengawasi satu rumah yang jaraknya lima puluh tombak di depan mereka. Sementara satu pasang mata lainnya masih terpejam.

“Kira – kira, ada berapa orang penjaga di rumah itu?” tanya salah satu pemilik sepasang mata dengan nada lirih.

“Ada sembilan orang, enam orang berjaga menyebar di sekeliling rumah. Sisanya berjaga di kandang hewan. Tetapi, bisa jadi di dalam rumah masih ada beberapa orang penjaga lagi,” jawab pemilik sepasang mata  yang lain.

Mereka adalah empat sekawan yang sudah dua tahun bekerja bersama. Pohgati, Kuntara, Gagak Sora, dan Rubaki.

“Banyak juga penjaga di rumah itu. Kau yakin rumah itu tak memakai pelindung lain?” Pohgati kembali bertanya.

“Aku yakin rumah itu tak berselimut. Serangan dari Rubaki, pasti akan melumpuhkan semua orang di rumah besar itu, kakang,” jawab Kuntara sambil membelai jenggotnya.

“Tapi mengapa lama sekali? Mereka belum juga lumpuh,” sahut Gagak Sora.

“Sudahlah, kita tunggu saja. Jumlah orang di rumah itu lebih banyak dari sebelumnya. Biarkan Rubaki mengerjakan tugasnya,” timpal Pohgati sambil membenarkan posisi duduk karena kaki kirinya terasa mulai kesemutan.

Pohgati, Kuntara, dan Gagak Sora, kembali mengawasi rumah besar di depan mereka. Sesekali melihat di samping kanan dan kiri mereka untuk memastikan keadaan sekitar tetap aman. Sementara Rubaki yang duduk bersila satu langkah di belakang Pohgati, masih memejamkan mata. Sesekali mulut Rubaki bergerak komat – kamit.

Waktu terus berlalu, dingin malam mulai menusuk tulang. Dari arah yang jauh di sana terdengar suara seekor anjing menggonggong. Entah anjing liar atau anjing yang dipelihara orang. Setelah sepenanakan nasi, Rubaki membuka matanya dan menghembuskan napas melalui mulutnya.

Mendengar suara hembusan napas, Gagak Sora menoleh ke belakang. “Kau sudah selesai, Rubaki?”

“Ya,” jawab Subaki singkat. Ada jeda beberapa saat. “Tunggu saja, tak lama lagi mereka akan tumbang.”

“Kenapa lama sekali?” kembali Gagak Sora bertanya.

“Jumlah mereka cukup banyak, bodoh!” balas Rubaki sambil meludah.

“Sudah, jangan ribut!” sahut Pohgati menengahi. “Kita akan akan segera berpesta, hehehe.” Tawa kecil Pohgati lantas diikuti oleh ketiga temannya.

Rumah besar itu merupakan milik Ki Bethak, seorang peternak dan blantik sapi. Namun beberapa waktu terakhir ini Ki Bethak sudah memperluas kandang miliknya untuk memelihara kuda dan kambing. Jumlah hewan ternaknya sudah lebih dari seratus ekor. Tak ayal dia menjadi salah satu orang kaya di padukuhan Kedaton. Salah satu padukuhan yang berada di barat daya kotaraja Majapahit.

Rumah Ki Bethak menghadap ke arah selatan. Dengan sejumlah lampu ublikyang mengitarinya, rumah dengan dinding papan kayu itu nampak terang dari kejauhan. Dua orang penjaga di pintu depan sedang berjaga sambil berbincang. Tak lama kemudian salah seorang diantaranya menguap lalu menggeleng – gelengkan kepalanya. Lalu bersandar di tiang penyangga rumah, dan ambruk di lantai dalam beberapa kejap mata kemudian. Hal itu dirasakan juga oleh satu orang lainnya yang tak bisa menahan kantuk. Dia pun ambruk tertidur menyusul temannya.

Serangan sirep dari Rubaki menyerang ke seluruh penjuru rumah Ki Bethak. Bahkan penjaga yang berada di kandang hewan juga sudah memejamkan mata, nyaris seperti orang tak bernyawa. Empat orang yang sedang bersembunyi di balik rimbunnya tanaman luntas, tersenyum senang.

“Saatnya kita bergerak. Tetapi tetap waspada!” perintah Pohgati dengan suara lirih namun tegas.

Empat orang berjalan mengendap - endap dan sedikit membungkukkan badan menuju rumah sasaran mereka. Pohgati berada di depan diikuti Rubaki dan Kuntara, sementara Gagak Sora berada paling belakang. Sempat berhenti di depan pagar rumah untuk meyakinkan bahwa keadaan benar – benar aman, kini mereka berjalan melewati dua orang penjaga yang tertidur pulas di dekat pintu utama.

Kuntara mencongkel jendela dengan ujung pedangnya yang mengkilat. Memasuki bagian dalam rumah yang sepertinya merupakan ruang tamu. Dua orang bersenjata pedang terkapar karena sirep dari Rubaki.

“Ayo, kita berpencar saja dalam dua kelompok. Aku bersama Kuntara. Cari barang berharga yang mudah kita bawa. Dan jangan terlalu lama,” perintah Pohgati.  Dalam sekejap dua pasang perampok itu mulai menggeledah seisi rumah Ki Bethak. Mengambil barang berharga dan memasukkan dalam wadah yang sudah mereka persiapkan.

Gagak Sora dan Rubaki masuk ke dalam sebuah bilik, yang ternyata itu merupakan kamar tidur dua anak gadis si pemilik rumah. Rubaki membuka isi lemari mencari barang berharga apa yang bisa dibawa, sementara Gagak Sora malah memandang penuh nafsu dua anak gadis yang sedang tidur itu. Terlebih lagi salah satu gadis ini terbuka pakaiannya. Dalam posisi tidur miring, jarit yang dikenakannya terbuka hingga terlihat paha mulus gadis belia ini. Gagak Sora menelan ludah berkali – kali melihat paha mulus anak perempuan Ki Bethak. Tangan Gagak Sora perlahan mendekati paha perempuan cantik itu, yang diikuti dengan batang selangkangannya yang mulai mengeras dan mendongak ke atas.

Praaakk! Tiba – tiba sebuah tamparan kecil mendarat di pipi kiri Gagak Sora. “Apa yang kau lakukan? Nanti dia bisa bangun, kau jangan membuat masalah. Ayo kita keluar dari ruangan ini,” ujar Rubaki geram. Sementara Gagak Sora hanya membalasnya dengan senyum cengengesan.

Tak lama berselang empat orang perampok itu sudah berkumpul di ruang utama rumah korban perampokan mereka. “Bagaimana, sudah kalian ambil barang – barang berharga di rumah ini?” tanya Pohgati.

“Aku rasa ini semua sudah cukup. Lebih baik kita segera pergi saja,” tukas Rubaki yang segera diberi anggukan kepala oleh ketiga temannya.

Kuntara berjalan paling depan saat meninggalkan rumah Ki Bethak. Dengan setengah berlari, kini mereka sudah berada dua ratus tombak jauhnya dari rumah orang kaya itu. Mereka menuju suatu tempat di mana empat ekor kuda yang telah disembunyikan sebelumnya. Gagak Sora yang berada paling belakang masih terbayang akan kemolekan tubuh anak gadis yang tadi dilihatnya.

Tanpa disadari, rombongan Pohgati ternyata diikuti oleh dua sosok bayangan hitam sejak meninggalkan rumah Ki Bethak tadi secara diam – diam. Keduanya lalu berhenti, salah satu sosok bayangan mengambil sesuatu dari pundaknya. Dalam remang – remang cahaya malam, mata kirinya membidik sesuatu yang bergerak.

“Aargghhh!!!” teriak Gagak Sora yang lantas tersungkur di tanah. Sontak ketiga temannya berhenti melangkahkan kaki dan menghampiri Gagak Sora. Terlihat satu anak panah menembus paha kanan Gagak Sora.

“Ada yang mengikuti kita,” geram Pohgati.

“Hai! Siapa kalian? Keluarlah!” teriak Kuntara dengan lantang. “Jangan menjadi pengecut!”

Maka keluarlah dua sosok bayang hitam tadi dari persembunyiannya. Mereka berdua berjalan mendekati empat orang perampok itu dan behenti dengan jarak tiga puluh langkah di depan Kuntara.

“Siapa kalian? Kurang ajar sekali melukai teman kami!” tanya Pohgati yang sudah berdiri di samping Kuntara.

“Aku Panji Rembang, dan ini Sapta Aji. Kami berdua pasukan Majapahit,” jawab seorang yang tadi memanah kaki Gagak Sora.

Mengetahui ada pasukan Majapahit yang mengendusnya, Pohgati sempat terhenyak kaget. “Lalu ada urusan apa kalian dengan kami, ha? Lebih baik kalian urus saja pasukan pemberontak yang dipimpin oleh Ra Kuti” bentak Pohgati sambil memegang pedang di pinggang kirinya.

“Justru itu, kalian seharusnya membantu prabu Jayanegara merebut kembali damparnya dari tangan Ra Kuti. Bukan malah memanfaatkan situasi saat tatanan kerajaan sedang goyah seperti ini dengan merampok rakyat. Kami pasukan Majapahit selalu peduli dengan keamanaan penduduk di kotaraja Majapahit dan sekitarnya,” jawab prajurit Panji Rembang.

“Lantas apa mau kalian?” tanya Kuntara.

“Kembalikan barang yang kalian ambil tadi kepada pemiliknya. Dan jangan berbuat onar lagi di tengah kondisi kerajaan yang sedang kacau. Atau barang hasil rampokan itu kami ambil dengan paksa,” tegas Panji Rembang.

“Kurang ajar! Kalian menantang kami. Akan kuhabisi kalian,” teriak Pohgati yang diikuti dengan menarik pedang dari sarungnya. Berlari ke arah dua orang pasukan Majapahit itu. Kuntara mengikutinya.

Hening malam akhirnya pecah oleh suara desingan pedang. Benturan dua pasang pedang sesekali menghasilkan percikan api. Pohgati yang bertarung melawan Panji Rembang perlahan mulai kewalahan menghadapi lawan yang usianya lebih muda. Pada satu kesempatan, Pohgati menyerang dengan menusukkan pedang ke arah perut lawan. Namun dengan sigap Panji Rembang menghindar ke sisi kanan tubuhnya dan berhasil menebaskan pedangnya ke arah paha Pohgati. Dengan luka yang menganga yang cukup dalam di kedua pahanya, Pohgati jatuh tersungkur tak mampu bertarung lagi.

Sementara di sisi lain Kuntara sudah empat kali terkena tendangan di bagian ulu hati. Kuntara melakukan serangan dengan membabi buta menggunakan pedangnya. Menghadapi itu, Sapta Aji sudah siap untuk bertahan dengan ukuran pedang yang sedikit lebih besar dari pedang lawannya. Ceroboh, serangan yang kurang perhitungan dari Kuntara malah membuatnya kehabisan tenaga. Dengan dua jurus serangan, Sapta Aji berhasil menendang pergelangan tangan Kuntara sehingga pedangnya terlepas. Dan sesaat kemudian kaki Sapta Aji yang lain mendarat di rahang kiri Kuntara. Pandangan Kuntara menjadi kabur, lalu menjadi gelap. Dia pingsan.

Mengetahui ketiga temannya tumbang, Rubaki mulai bersikap pengecut. Rubaki melarikan diri menerobos semak belukar dan pepohonan. Mengetahui itu prajurit Panji Rembang bertindak cekatan, langsung mengejar Rubaki. Mengandalkan suara daun kering yang diinjak, Panji Rembang bisa membuntuti Rubaki. Bayangan tubuh Rubaki akhirnya terlihat. Panji Rembang mengeluarkan sebuah belati yang lebih berat pada bagian ujungnya. Belati milik prajurit Majapahit itu melesat dan menancap di betis kanan Rubaki.

“Aargghh. Dasar prajurit sialan!” Rubaki memaki sambil memegang betis kanannya yang bersimbah darah.

“Sudah, menyerah saja. Dasar perampok pembuat onar!” gertak Panji Rembang yang berjalan mendekati Rubaki.

Saat jarak mereka berdua tak lebih dari enam langkah, Rubaki melakukan sesuatu yang mengejutkan. Dia tiba – tiba membalikkan badan dan melemparkan sebuah belati yang disimpan di balik bajunya ke arah Panji Rembang. Seketika prajurit Majapahit itu roboh dengan kaki kelojotan. Kedua tangannya memegang belati yang menancap tepat di tenggorokan. Dia meregang nyawa. Dalam beberapa kejap mata, prajurit itu diam tak bergerak dengan mata melotot. Rubaki lolos.




Simak kelanjutannya dalam : Dendam Durjana
Diubah oleh galih17 30-03-2020 16:21
nurulnadlifa
NadarNadz
nona212
nona212 dan 10 lainnya memberi reputasi
11
1.8K
26
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan