Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

Opi.SabaiAvatar border
TS
Opi.Sabai
Indah dipandang, sakit dirasakan.

Sumber:  Googling

"Etek Gadih nelfon Ica, tadi?" Sepulang dari pasar, suamiku bertanya padaku.

"Ndak ada. Kenapa emang, bang? Ada hal pentingkah?" jawabku sambil mata tetap melihat layar handphone.

"Tadi etek menelfon Abang, mengabarkan kalau Mak Wo sudah 'payah' sekarang di kampung."

"Payah bagaimana, bang? Ndak mau makan beliau?" aku mulai fokus kepada suamiku yang mondar-mandir merapikan perlengkapannya mencari nafkah.

Suamiku keluarga besar. Beliau punya beberapa tante. Etek adalah panggilan untuk saudara yang lebih kecil dari mama mertua. Sedangkan Mak wo adalah panggilan untuk saudara yang lebih tua dari ibu suamiku.

Mak wo yang sudah renta, diurus Tek Yun -si bungsu dalam persaudaraan mama mertua- di kampung.

"Entahlah ... Dari kemaren-kemaren juga sudah susah makan. Makan bubur saja. Cuma abang rasa, etek Gadih mau abang membantu Tek Yun ...."

Hatiku mulai tidak nyaman dengan kalimat suamiku. Membantu bagaimana maksud beliau? Ternyata beliau paham kernyitan dahiku.

"Setidaknya kita bantu beli popok dewasa untuk Mak Wo ...." Suara suamiku tercekat, dan duduk lemas disampingku.

Hhhhh ....

Kami sama-sama menghela nafas. Entah darimana fikiran itu, aku langsung ingat akan recehan yang ada di kacio kami.

"Berapa memangnya harga popok dewasa itu, Bang?" tanyaku kemudian.

"Entahlah, Abang juga ndak tau. Tapi, tadi etek Gadih kembali telfon Abang. Menginfokan kalau Pak Ciak Af sudah belikan tadi."

Ada perasaan lega, tapi agak menyakitkan rasanya. Kenapa Etek Gadih meminta bantuan kepada kami? Mereka tak tahukah keadaan kami pun sedang payah saat ini? Untuk makan sehari-hari pun, kadang kami hanya makan nasi dan mie rebus 1 bungkus yang dibagi untuk empat perut.

"Kenapa ya bang? Apakah kita terlihat semewah itu? Sampai-sampai mereka meminta bantuan kepada kita?" Aku mulai bersungut.

"Itulah, Ca. Orang lain hanya memandang kita dari luar. Memanglah Abang ini gendut, tapi bukan berarti sedang banyak uang saat ini. Apalagi teman-teman Abang juga pernah mencemooh Abang. Dibilang Abang senang karena punya mertua kaya raya."

Terdiam kami dalam lamunan masing-masing. Aku terbayang saat mengingatkan teman-teman di grup WhatsApp untuk tidak berhutang ke perbankan.

"Ica jadi ingat. Dulu Ica pernah memberi tahu teman-teman Ica di grup WhatsApp, untuk tidak ambil bagian di Riba. Ada yang pro, ada yang kontra." Aku sedikit tersulut emosi mengenang kejadian itu.

"Yang kontra-nya ngomong ke Ica-nya nyelekit, bang. 'lha, ndak semua orang seberuntung kamu, Ca!' Seberuntung apa Ica menurut mereka? Ndak tau aja mereka, hati sudah kalang kabut menghadapi kondisi keuangan." Aku mencoba meniru gaya bicara mereka dengan sedikit memonyongkan bibir.

"Mereka mungkin belum paham, setidaknya Ica sudah bantu ingatkan." Beliau menjawab sambil terpana.

Kembali kami menghela nafas panjang. Kebetulan kedua bocah sedang tertidur pulas. Jadi obrolan berlanjut kemana-mana.

"Abang juga di pasar, teman-teman menilai hidup Abang senang sekali. Apalagi kalau Abang tertawa lepas. Padahal di dalam dompet ndak ada uang sama sekali. Sejak kebijakan lockdown ini, pasar sepi sekali, Ca. Abang ndak ada jual beli hari ini. Tapi masih ada rezeki kita lima puluh ribu." ucap beliau sambil menyodorkan uang lima puluh ribu kepadaku.

Senang berasa ingin loncat-loncat, tapi kutahan karena ada yang janggal.

"Kalau Abang ndak jual beli hari ini, ini dari mana?"

Suamiku memberikan senyum termanisnya, "Pak Dodo, kemaren sempat bawa barang Abang untuk dijualnya. Tapi baru tadi beliau bayarkan uangnya."

"Alhamdulillah ... Rezeki ndak kemana ya, bang ..." Riang kulipat uang berwarna biru itu, kemudian aku berdiri mengambil dompet dan menyimpan lembaran tadi.

Kembali kutemani lelaki bertubuh besar yang sedang menikmati segarnya air putih.

"Kadang ... Orang menilai kita dari tampak luar saja, bang. Ndak tau mereka hati ini sudah menangis. Ndak tau mereka susahnya menahan hati."

Tiba-tiba sentuhan hangat menghampiri tanganku.

"Ica banyak sabar ya. Kita ini manusia biasa. Rasul yang sudah dijamin surga saja, masih dikasih ujian sama Allah. Apalagi kita, Ca. Alhamdulillah rezeki kita cukup saat ini, walau belum ada lebih. Eh, ada sedikit lebih sih ... " Beliau menenangkan dan melirik kacio kami.

"Isinya receh, bang. Koin semua." Aku menjawab lirikannya.

"Alhamdulillah ... Syukuri. Dan alhamdulilah kita ndak bayar kontrakan atau bayar kreditan apa-apa. Rumah peninggalan orang tuamu ini sudah sangat mewah, sayang. Syukuri semuanya." Lembut beliau kecup dahiku kemudian.

Kami memang selalu berusaha tersenyum kepada siapapun. Itulah mungkin kenapa orang-orang menganggap kami hidup senang. Mereka lupa, bahwa kami punya 2 anak berkebutuhan khusus yang butuh biaya lebih besar.

Tabungan kami sudah terkuras habis. Dan saat ini mulai dari nol kembali.

Senyum yang kami tebar memang indah dipandang, tapi tak banyak yang tahu sakit dan lelahnya hati dalam berjuang di kehidupan ini.
Diubah oleh Opi.Sabai 25-03-2020 19:21
nurulnadlifa
NadarNadz
nona212
nona212 dan 10 lainnya memberi reputasi
11
708
4
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan