Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

nanitrianiAvatar border
TS
nanitriani
Kereta Malam

Malam ini aku dan ibuku pergi ke suatu tempat dengan menaiki kereta api. Kereta malam membelah pedesaan, hamparan sawah dan perkebunan tebu terlihat sangat indah meski diselimuti kegelapan. Aku terus memerhatikan ke luar jendela, terpana dengan lukisan Tuhan yang luar biasa. Beberapa menit berlalu, aku pun melihat ke arah ibuku bermaksud untuk menunjukkan pemandangan alam di luar. Namun betapa terkejutnya ketika kudapati bahwa bukan ibuku yang sedang duduk di sampingku, melainkan seorang wanita tua yang menggunakan kebaya merah dan konde di kepalanya. Wanita itu tersenyum menyeringai ke arahku dengan gincu merah merona yang melekat di bibirnya. Terdapat banyak kerutan di wajahnya saat dia tersenyum lebar. Tatapannya yang tajam membuatku takut untuk melihat wajahnya.

“Dimana ibuku?” Tanyaku dengan tenggorokan tercekat.

 “Aku sedari tadi duduk di sampingmu, tak ada ibumu,” ucap wanita itu sambil menatapku. Wanita itu masih tetap tersenyum lebar, keriput di wajahnya semakin jelas terbentuk.

“Tidak mungkin, aku menaiki kereta ini bersama ibuku. Mustahil ibuku menghilang begitu saja,” jawabku gugup.

 “Aku tidak tahu.” Ucapnya dengan ekspresi tumpul.

Napasku memburu, aku langsung berdiri dan bergegas mencari ibuku di seluruh penjuru kereta api. Namun nihil, mataku tidak menangkap sosok ibuku sama sekali.

“IBU!” Berkali-kali aku berteriak memanggil ibuku. Beberapa penumpang hanya sibuk dengan kegiatan masing-masing, sebagian asyik bercengkrama dengan temannya, ada juga yang lelap tertidur, bahkan ada juga yang memandangiku dengan tajam merasa terganggu dengan suaraku yang Cumiakkan telinga mereka. Aku tidak peduli sedikit pun, aku terus mencari ibuku dengan air mata dan keringat yang bercucuran. Kakiku mulai lunglai, tubuhku mulai terasa sangat lemah, aku pasrah dan akhirnya memutuskan untuk kembali duduk di samping wanita tua berkebaya merah itu.

“Dimana kereta ini akan berhenti?” Tanyaku kepada wanita itu yang kali ini sedang memejamkan matanya.

“Aku tak yakin,” jawabnya dengan mata yang masih terpejam.

“Bagaimana kau bisa menaiki kereta ini tanpa tahu kau akan pergi kemana?” Aku bertanya dengan rasa takut yang semakin menyelimuti hati.

“Diamlah gadis kecil, aku ingin tidur,” ucap wanita itu singkat.

 

Aku hanya menghela napas panjang, berusaha menenangkan diri yang semakin lama semakin tak tenang.

Sekitar satu jam kemudian akhirnya kereta ini telah sampai di tempat tujuan, semua penumpang pun turun dari kereta ini. Aku tidak tahu jam berapa sekarang, mungkin masih tengah malam. Aku terdiam menunggu ibuku, berharap ibuku turun dari kereta dan berlari menghampiriku. Namun sampai seluruh penumpang turun, ibuku tidak terlihat.

Beberapa menit berlalu, aku hanya berdiri dan tak tahu apa yang harus aku lakukan. Ketika aku mulai pasrah dan menangis tersedu-sedu, sebuah tangan menyentuh lembut punggungku. Aku membalikkan badan dan ternyata sentuhan itu berasal dari wanita tua dengan kebaya merah yang berada di kereta tadi. Dan tentu, gincu merahnya yang khas menghiasi senyumannya yang menyeringai.

“Ikutlah denganku. Kita akan mencari tempat untuk tidur malam ini.” Ucap wanita itu sambil mengulurkan tangan kepadaku.

Aku menghela napas, aku tidak tahu harus kemana jika aku tidak mengikutinya. Akhirnya aku mengangguk tanda setuju untuk ikut bersamanya.

Kami pun berjalan beriringan. Aku tidak bisa berhenti melihat ke sekelilingku, tempat ini diselimuti kabut tipis. Sepanjang jalan kami hanya melewati perkebunan tebu, hanya ada beberapa rumah penduduk di sini.

Setelah beberapa menit berjalan, aku mendengar suara di belakangku, seperti suara semak-semak yang terinjak. Aku menolah ke belakang, mataku terbelalak ketika kudapati dua ekor anjing hitam dengan ukuran yang cukup besar sedang berlari ke arah kami. Sontak kutarik lengan wanita tua itu dan mengajaknya berlari. Dua anjing itu menggonggong kencang dengan rahang yang menganga dan mengeluarkan suara gertakan giginya yang tajam. Kami berlari sekencang yang kami bisa, menerobos perkebunan tebu tanpa menghiraukan daun-daun tebu yang tajam. Tak sadar kakiku tersandung batu besar yang ada di depanku, aku pun jatuh tersungkur. Wanita tua itu berusaha menarik tubuhku yang rasanya sudah lelah dan sulit sekali untuk berlari. Anjing itu semakin mendekat, gonggongannya semakin jelas terdengar. Akhirnya rok putihku berhasil digigitnya. Kedua anjing itu terus mencengkeram rok putihku dengan gigi-giginya yang runcing. Wanita tua itu bersikeras melepaskan rok putihku dengan sekuat tenaga. Selang beberapa saat akhirnya rok putihku berhasil terlepas meski sebagian kain rokku terkoyak dan betisku sedikit terluka. Tak peduli dengan apa yang terjadi, kami pun langsung berlari kencang meninggalkan dua anjing itu.

Entah sudah berapa jauh kami berlari, rasa lelah pun sudah tak dirasa lagi. Ketika kulihat ke belakang ternyata kedua anjing itu sudah tak terlihat. Kami berhenti dan menarik napas panjang, keringat bercucuran di sekujur tubuh kami. Kami pun melanjutkan berjalan kaki. Setelah beberapa menit, akhirnya kami melihat gubuk tua yang bisa kami gunakan untuk tidur malam ini. Kami pun bergegas memasuki gubuk itu, di dalamnya terdapat banyak karung yang berisi tebu. Wanita tua itu langsung tertidur lelap sedangkan aku tidak bisa memejamkan mata sama sekali, aku memikirkan cara untuk pulang. Seketika lamunanku buyar ketika suara gerombolan orang terdengar bergemuruh di luar gubuk. Aku langsung membangunkan wanita tua itu dan kami memutuskan untuk keluar mencari tahu apa yang terjadi. Ternyata gubuk yang kami tempati dikepung oleh warga sekitar.

“Apa yang kalian lakukan? Ini tempat penyimpanan tebu keluarga kami. Apakah kalian pencuri?” Ujar salah satu warga dengan lantang.

Kami tidak diberi kesempatan untuk menjelaskan, mereka langsung menimpuki kami dengan batu yang sebesar kepalan tanganku. Batu-batu itu silih bergantian menimpuki kami. Akhirnya wanita tua yang berada di sampingku tumbang, dia terjatuh dan tak sadarkan diri. Aku langsung terduduk dan memeluknya, berusaha melindunginya dari lemparan batu.

“Rani, tenanglah,” ucap seseorang sambil menepuk pundakku.

“Ibu!” Ucapku dengan nada terkejut.

“Ini bapak. Kau sepertinya mimpi buruk lagi, kau harus belajar menerima kepergian ibumu nak,” ucap bapak sambil pergi meninggalkan kamarku.


Keringat membasahi tubuhku, ini sangat terasa nyata. Mengapa dalam mimpi pun aku tidak bisa bertemu ibu? Aku masih ingin menatap sorotan mata teduhnya, merasakan hangat telapak tangannya. Ya, benar, sekarang sudah terlambat, kereta malam dalam mimpi pun mengerti, napas ibuku tak mungkin kembali berhembus. 


Diubah oleh nanitriani 06-02-2020 03:12
nona212
disya1628
sistany
sistany dan 38 lainnya memberi reputasi
37
7.1K
52
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan