AdelineNordicaAvatar border
TS
AdelineNordica
[Cerita Misteri] Krematorium, Sisi Lain Penyedia Jasa Kremasi


Sesosok tubuh tergeletak di dalam tungku kremasi tua dengan posisi menelungkup. Bagian dada hingga kepala gosong, setengah badan lainnya yang belum terbakar berada di luar mesin kremator. Daging mayat itu begelambir dengan lemak-lemak masih mengalir dari luka bakar. Menetes dari bibir tungku hingga ke ubin lantai. Sisanya mengerut hingga tulang. Bau daging terpanggang masih menyelimuti ruangan.

Jasad seorang pria. Terlihat dari anatomi tubuh serta sisa pakaiannya. Seorang ketua tim Indonesia Automatic Fingerprint Identification System (INAFIS) memusatkan pandangan ke wajah penuh luka bakar itu. Di wajah itu dia menemukan rahang yang masih menganga. Menyiratkan kesakitan saat kematian menghamprinya dan kengerian akan kematian itu sendiri. Siapa yang tega membakar manusia hidup-hidup seperti ini? Begitu pikirnya setelah meneliti mayat. Sebentar lagi petugas akan membawanya ke rumah sakit untuk diuji tim Labfor.

Ketika mayat dipindahkan tim INAFIS ke brankar, lengannya terkulai lemah. Hanya sedikit daging menempel di engsel bahunya. Untung telapak tanganya masih utuh sehingga memudahkan identifikasi.

Spoiler for :
Ilustrasi. Sumber

"Pak, ini berkas yang anda butuhkan untuk menganalisa korban." Seorang polisi hadir dari belakang pria itu memberikan sebuah berkas.

"Ada bukti penunjang lain untuk mengetahui siapa pelakunya?" tanya Aiptu Helmy seraya membolak-balik halaman berkas.

"Proses masih dilakukan, Pak. Kami sudah mengamankan cctv sebagai barang bukti. Diperkirakan korban dibunuh pada malam hari. Saat krematorium sepi. Belum jelas ini mayat siapa karena hanya ada dua pengurus krematorium di sini. Dua-duanya belum ditemukan, entah masih hidup atau salah satunya korban ini.

"Baiklah. Saya tunggu hasil selanjutnya."

Petugas itu berlalu meninggalkan rasa penasaran Aipda Helmy. Tubuh jangkung itu kembali membungkuk dan memeriksa seksama wajah korban sekali lagi. Pandangan Helmy beralih pada rongga mata hitam pekat tanpa bola mata. Mungkin sudah hancur saat terbakar tengah malam tadi atau lebih awal dari perkiraan.

Helmy menatap dua lubang itu. Seperti sebuah lorong yang menyimpan misteri. Semakin ketua tim INAFIS itu penasaran, semakin kuat ia merasakan sebuah energi menyedotnya. Di saat itu juga ia merasakan seseorang tengah mengawasinya.

***

Seorang pria tengah membersihkan peti mati dan isinya di ruang jenazah. Membenarkan jas dan asesoris jenazah pria tua berusia 80 tahun di dalamnya. Jaya memandang wajah kaku lagi dingin itu dengan sedih. Teringat remaja dulu, dia pernah bekerja di pasar pagi sebagai kuli panggul almarhum. Tauke baik hati yang kini tenang dalam peti matinya memberikan pekerjaan ketika menemukannya di terminal. Tak segan memberikan bonus saat imlek dan pakaian baru kala Jaya lebaran.

"Jay, lu berhenti sebentar buat ngaso. Itu biar Amat aja yang nerusin. Lu, udah dari pagi ngangkutin beras. Kalau lu sakit, we repot cari orang lagi."

"Nanggung, Koh. Masih sisa lima karung lagi."

"Haiya. Lu, dikasi tahu ngeyel aja kerjaannya. Serah, deh. Ntar ambil koyo dan balsem di dalam."

Koh Acung berlalu ke dalam Toko Beras Sejahtera sambil mengipas-ngipas badan dengan kipas bambunya. Pria yang senantiasa berkaos putih dan bercelana boxer abu-abu itu mengomel. Ia menghampiri seorang karyawan perempuannya. Entah apa yang dibicarakan, omelannya semakin panjang. Jaya hanya tersenyum simpul melihat tingkah bosnya.

Hingga suatu hari usaha pria tua itu gulung tikar. Anak-anaknya lebih memilih merantau ke ibu kota. Berharap mendapat peruntungan lebih daripada membantu melanjutkan usaha Koh Acung.

"We, minta maaf kalau banyak salah pada lu semua. Ini pesangonnya. Mudah-mudahan cukup untuk anak bini lu di rumah." Koh Acung memberikan amplop satu persatu kepada Jaya dan lima belas karyawannya dengan wajah sendu.

Ada haru menyeruak. Tidak sedikit yang menteskan air mata, memeluk tubuh tua itu dengan erat seakan enggan berpisah. Apalagi Jaya dan karyawan lain sudah bertahun-tahun berkerja di sana.

Jaya mengamati sosok Koh Acung ketika langkah berat taukenya itu menutup pintu besi. Sedikit kepayahan karena beberapa engsel sudah karatan. Jaya berlari menemui Koh Acung, membantu menutup toko.
Pria Tionghoa itu tersenyum lalu menepuk pundaknya dan berkata, "Lu, orang baik, Jay."

Semenjak itu Jaya tidak pernah lagi bertemu Koh Acung. Ada desas-desus tauke yang sempat berjaya di masanya dulu menjadi penghuni panti jompo.

Ilustrasi Sumber

"Jay, jenazah ini belum ada kabar kapan mau dikremasi?" Sebuah suara membuyarkan lamunan Jaya. Segera ia menyeka air mata.

"Hmmm ... belum, Bos. Mungkin nanti anak-anaknya yang datang langsung ke sini," jawab Jaya ragu saat Alex menghampirinya sambil menenteng boks es.

"Ya, udah kita tunggu aja dua-tiga hari ini." Alex duduk di sebelah Jaya sambil mengeluarkan segepok uang seraya menggosok hidung.

"Bos, tadi produsen peti mati telepon. Biaya pembuatan peti naik. Mereka kesulitan mencari pemasok kayu. Apa kita masih melanjutkan kerja sama?"

Tangan Alex yang tengah menghitung uang terhenti. Ia mengernyitkan kening. Berpikir sebentar lalu kembali menghitung lembaran-lembaran merah dan biru.

"Batalkan saja kerjasama kita. Aku sudah menemukan cara paling murah untuk mengkremasi."

"Maksud, Bos?"

"Sudah. Ikuti saja intruksiku nanti."

***

Malam hari, gerimis mulai turun. Udara dingin mulai menembus tulang. Lampu neon ruang kamar mayat mulai bertingkah. Berkedap-kedip tanpa henti. Mungkin sebentar lagi filamennya putus. Tembok ruangan mulai ditumbuhi lumut dan kerak kotoran. Kantung plastik dan kardus menumpuk di sudut ruang.

Kamar berukuran 6x6 m itu sudah disulap Alex menjadi ruang kerja. Tiga brankar berderet di tengah ruang. Dua di antaranya sudah terbaring jenazah, sisanya kosong. Satu tempat tidur berada di sebelah lemari. Sepintas tempat tidur itu tidak terlihat dari luar karena dilindungi lemari.

Alex kepayahan memindahkan mayat dari satu brankar ke brankar yang lainnya. Beberapa sudah berbalut plastik yang dilakbak seluruh tubuhnya. Dua bulan terakhir usaha kremasi Alex mulai menunjukkan hasil.

Biaya kremasi yang murah dan cepat membuat para klien mulai membludak, mempercayakan kerabat mereka dikremasi di tempat usaha Alex. Mereka tak peduli dengan kremator tua dan gedung yang mulai keropos di sana sini. Praktis dan efisien begitu kata para klien setelah keluar dari gedung. Tentunya itu juga menguntungkan Alex dibandingkan tempat kerja lamanya dulu.

Tepat ketika jenazah terakhir selesai dibentuk seperti mumi dengan lakban, bahu Alex menjengkit. Suara benda jatuh terdengar dari belakang lemari. Hening. Perlahan bau busuk mulai menguar bercampur dengan aroma daging terpanggang. Angin dingin merayap ke arahnya. Meremangkan bulu tengkuk pria bertubuh kurus itu. Ia gelisah. Lalu menghentikan pekerjaannya. Sesekali menyeka hidung yang meler. Suara itu kembali tedengar. Kali ini lebih nyaring. Nyaris seperti benda di banting.

Alex melangkah pelan menuju belakang lemari. Bunyi berisik tadi berasal dari tempat tidur pasien di sana. Matanya membelalak dengan mulut menganga. Sesosok wanita berambut pendek sudah berada di atas tempat tidur dengan posisi kayang. Wajahnya gosong. Gaun pengantin putihnya meriap-riap. Lidahnya menjulur panjang. Mata merahnya mendelik ke arah Alex. Sebuah gunting ia tancapkan ke perut. Seketika itu juga darah muncrat serupa air mancur keluar dari perutnya. Ubin sudah digenangi darah. Merah. Alex jatuh terduduk. Beringsut cepat ke belakang. Sekuat tenaga lari ke luar ruangan.

***

Ketika Jaya terkejut melihat tumpukan-tumpukan karton memenuhi gudang—entah ide apa terlintas di kepala bosnya itu—tiba-tiba Alex menubruknya dari belakang. Jaya keheranan dan bertanya. Alex menjawab tidak apa-apa dengan napas ngos-ngosan. Setelah tenang ia berkata, "Jay, sebelum mengkremasi, masukan saja mayat-mayat ke dalam karton ini. Lalu lakban hingga tertutup rapat."

"Loh, ini manusia, Bos. Kenapa tidak pakai peti saja seperti biasa? Meskipun mereka sudah meninggal patut kita urus dengan baik."

"Alah! Mana ada yang tahu. Keluarga mereka maunya yang murah dan cepat. Ya, sesuai dong kalau kita seperti ini. Kita juga dapat untung gede. Kamu kena imbasnya juga, 'kan? Lagian orang sudah mati gak akan bisa ngadu ke keluarganya."

"Tapi, Bos ...."

"Sudahlah, Jay! Masih mau kerja di sini, gak? Cepetan bantuin!" Alex mengalihkan perhatian Jaya.

***

Jaya mengisap kretek terakhirnya. Pekerjaan hari ini benar-benar melelahkan. Terutama saat memperlakukan jenazah tadi. Hatinya setengah berontak. Di lain sisi ia butuh uang untuk membiayai perawatan istrinya di rumah sakit. Gaji dari krematorium cukup membantu selama ini. Jika ada pekerjaan sebesar gaji di sana, tentu ia memilih berhenti dari konflik batin selama ini.

"Pak, sudah malam. Ayo, masuk. Besok pagi-pagi sekali kita akan menjenguk ibu, bukan?" Anak lelaki Jaya mendekatinya di teras.

"Bapak belum ngantuk, Nak." Jaya memijit-mijit punggungnya yang lumayan pegal.

"Bapak mau kutempelkan koyo atau kuolesin balsam?" Yandi menunjukan benda yang menemani hari-hari Jaya bekerja. Membuat Jaya tersenyum dan mengusap kepala anaknya.

"Anak pintar. Ya, udah sekalian pijitin Bapak."

***

Sore hari selepas Jaya menjenguk istrinya, ia bergegas ke krematorium. Pria bertubuh kekar itu hampir lupa jadwal mengkremasi hari ini.

Baru saja ia menjejak kaki di ruang kremasi, sebuah pemandangan yang nyaris membuatnya jantungan. Tiga jenazah berkantung plastik dijejalkan ke dalam sebuah tungku dengan asal. Pintu kremator juga dibiarkan begitu saja.

Ilustrasi. Sumber: Liputan6.com

"Siapa orang gila yang tega memperlakukan mayat seperti ini?!" rutuknya. Dengan cekatan Jaya mematikan mesin yang tampaknya baru dihidupkan beberapa menit oleh seseorang.

Ia tercenung sejenak. Tiga mayat? Bukankah hanya ada dua mayat harusnya dikremasi hari ini. Sontak Jaya menghampiri peti Koh Acung. Kosong. Jangan-jangan? Firasat Jaya mulai tidak enak.

Jaya bergegas menyemprotkan air ke arah mesin kremasi. Sekitar lima menit, baru ia mengangkat satu persatu jenazah dan merobek kantungnya. Satu di antaranya memang jenazah Koh Acung. Jaya mengepalkan tinju. Geram dengan tingkah pemilik krematorium itu. Ia berlari mencari bosnya.

Ketika sampai di ruang kerja Alex. Bau amis menyergap penciuman Jaya. Perlahan ia membuka pintu. Tidak ada sosok Alex di dalam sana hanya ada bayangan seseorang di balik lemari.

"Bos!" teriak Jaya mengagetkan aksi Alex.

Sebuah gunting terlepas dari genggamannya. Tubuh seorang anak kecil berbaring di atas tempat tidur dengan perut menganga.

Sontak pemandangan itu membuat Jaya marah. Alex memang biadab. Perlakuannya sungguh tidak manusiawi.

"Sialan kau, Lex!" Sebuah bogem mentah mengenai wajah Alex. Ia jatuh tersungkur dengan hidung berdarah. Jaya cepat-cepat menutupi tubuh mayat itu dengan seprai.

"Ayolah, Jay. Kita berdamai saja. Dia hanya anak jalanan. Baru mati tadi siang di rel kereta. Tidak ada keluarganya." Alex terkekeh.

"Aku harus melaporkanmu pada polisi!" marah Jaya seraya mencengkram kerah Alex.

"Dua ginjal anak itu bisa membuat kita kaya. Kamu bisa mengobati sakit istrimu dan aku bisa membeli sabu. Lagipula ini bukan pertama kalinya aku melakukannya."

"Sudah kuduga. Kau memang bajingan, Lex. Bukan! Kau kriminal. Harusnya kau belajar dari kasus malpraktimu dulu." Jaya menyeret tubuh Alex keluar ruangan.

Pria kurus itu setengah sadar akibat sabu. Terus meracau sepanjang lorong. Saat melewati ruang krematorium, tubuh Alex tiba-tiba menggelinjang hebat. Sesosok wanita bergaun pengantin memburunya dari belakang sambil membawa gunting. Wanita itu lagi.

Pegangan Jaya terlepas. Alex berlari kencang seperti kesetanan masuk keruangan kremasi.
Wanita berambut pendek itu menyeringai. Memperlihatkan gigi runcingnya yang berlumuran darah. Matanya nyalang menatap Alex. Robekan di perut itu terlihat jelas hingga ke usus. Gaun putihnya berlumuran darah.

Alex tersudut ke tembok. Tubuhnya menggigil seketika. Wajahnya pias. Teringat ulah mengambil organ tubuh si mayat yang baru tiba di krematorium dua malam lalu. Sosok itu semakin mendekat. Lidahnya menjulur menjilati wajah Alex, membuatnya histeris.
Tanpa sadar tubuh Alex sudah berada di bibir kremator yang terbuka. Tungku kremasi itu hidup seketika. Hawa panas menyeruak dari dalam. Wanita itu berteriak nyaring hingga rambut dan gaunnya meriap-riap. Tubuh Alex terjungkal ke dalam kremator.

***

"Jadi, begitu ceritanya, Pak. Bukan saya yang membunuh Bos Alex, tapi bos saya sendiri seperti orang kerasukan. Berteriak dan memasukkan tubuhnya ke dalam mesin kremasi." Jaya terduduk di kursi. Tatapannya menerawang. Ia ketahuan mengawasi diam-diam tim penyelidik di tempat kejadian.

Aipda Helmy menarik napas. Untuk sementara alibi Jaya ia simpan. Selanjutnya pria itu bisa memberikan keterangan di kantor polisi sampai barang bukti dan cctv gedung menjelaskan semuanya.

Seorang petugas datang dan menghampiri Helmy. Ia membisikan sesuatu. Tatapan tajam ketua tim INAFIS itu langsung mengarah kepada Jaya.(*)


Borneo, 7 Desember 2019

Cerita di atas hanya fiksi semata.

Quote:
Diubah oleh AdelineNordica 15-03-2020 04:33
lina.wh
NadarNadz
nona212
nona212 dan 26 lainnya memberi reputasi
25
8K
68
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan