Suatu ketika, Gw pernah berdiri di depan penjual arloji. Memilih satu barang. Dan ternyata barang itu adalah yang termahal di etalasenya. Ingin melihat dan memegang. Hanya diizinkan menatap dari balik kaca.

"Berapa harganya, Bang?"
"Tiga Juta setengah."

Sambil ogah-ogah menjawab. Menatap Gw pun tidak. Ia kemudian menyisihkan barang itu. Lalu menawarkan arloji seharga 76 ribu rupiah. Arloji plastik.

"Ini, Pak. Murah. Rp 76.000.00. Cocok untuk Bapak."

"Saya membelikan anak saya, Bang,"

"Oh. Kalau begitu yang ini saja. Rp 58.000. Ini murah, Pak. Bagus."

"Kalau yang tadi coba saya mau lihat."

"Ini mahal, Pak."

Karena barang yang Gw inginkan tak diberikan. Maka saya pun pindah ke toko sebelahnya.

"Ada arloji merek xxx."

Gw sengaja sebut barang yang termahal di toko sebelah tadi.

Sementara orang yang ada dalam toko mencarikan, sempat Gw perhatikan penjual arloji yang Gw tinggalkan tadi. Ternyata dia penasaran. Apakah Gw ada uang atau tidak.

Orang dalam toko kemudian memperlihatkan arloji yang Gw cari.

"Berapa harganya, Bang?" tanya Gw rada nyaring.

"Tiga juta setengah, Pak. Tak bisa kurang. Ini arloji terbaik dan termahal di toko kami."

"Tiga juta!" Gw ulang dengan suara keras.

"Saya mau beli dua. Carikan warna lainnya ya. Saya ambil dua."

Penjual arloji yang Gw tinggalkan tadi melotot. Sempat saya lirik. Matanya tak berkedip. Jangan-jangan Gw menipu.

Setelah Gw rasa yakin barangnya bagus dan masih berfungsi, Gw suruh membungkus.

"Saya beli dua. Boleh pakai kartu ATM."

Setengah menyesal dan malu penjual arolji yang Gw tinggalkan tadi. Karena prasangka buruk terhadap Gw maka rejeki yang harusnya dia peroleh berpindah tangan.

Menganggap remeh orang lain sungguh amat merugikan. Mengira dengan penampilan lusuh, lalu orang lain dianggap miskin. Wajah kotor, dikira tidak punya uang. Begitulah pandangan orang lain jika hanya melihat yang tampak pada mata lahiriah.

Pandangan semacam itu kadang yang sungguh merugikan. Bahkan banyak penipu sekarang yang menggunakan pakaian bagus dan rapi. Nyatanya penipu sejati.

Cerita di atas adalah sebuah cerita nyata yang pernah Gw alami. Tidak cuma sekali itu. Dianggap gembel dan tak punya uang juga pernah Gw alami ketika suatu hari Gw mau membelikan kue umtuk ibu. Oleh-oleh ketika ke kota.

Pada waktu itu Gw masuk toko penjual kue dan pilihan Gw jatuh pada kue yang terlihat paling nikmat.

"Mbak, ini kue apa namanya."

"Lapis legit, Pak. Mahal ini. Yang ini saja."

Dia menawarkan kue sejenis tapi dengan ukuran kecil.

"Berapa, Mbak?"

"Seratus lima puluh ribu, Pak. Mahal. Yang ini sepuluh ribu."

"Iya sudah. Yang itu saja, Mbak. Saya Ambil 4 ya?"

Penjual kue pun melotot.

"Yang ini, Pak?"

"Iya. Saya ambil 4 bungkus."

Dia tak segera membungkus. Pura-pura menyusun kue lainnya. Setelah Gw buka dompet dan mengeluarkan uang ratusan ribu 6 lembar baru dengan malu dia segera membungkus kue itu. Apalagi ketika Gw terburu-buru mencabut uang dari dompet, uang lain berhamburan. Semua ratusan ribu.

Sekali lagi, Gw dianggap gembel. Dianggap tak punya uang karena jeleknya penampilan Gw. Seperti apa rasanya dianggap gembel tak punya uang. Marah atau sedih?

Dan kejadian terakhir yang juga pernah Gw alami adalah ketika mau membelikan ibu Gw kurma azwa. Kurma termahal ketika itu. Satu bijinya Rp 5.000. Di tempat penjual itu ada separo toples kecil kurma azwa.

Karena dikira tak punya uang maka lagi-lagi Gw ditawari kurma jenis lainnya. Gw bilang ini penasan ibu. Penjual tetap bersikeras, kurma itu mahal.

Maka ketika Gw suruh itung berapa jumlah bijinya, setengah enggan menghitung. Begitu selesai menghitung langsung saya bayar Rp 255.000. Sesuai jumlah biji kurma itu 56 biji. Sambil tersenyum malu penjual membungkus kurma dalam toples kecil. Dan Gw pun pergi.

Begitulah, penilaian fisik kadang banyak menipu. Jadi sebaiknya kita jangan sekali-sekali menganggap remeh orang yang kita temui. Semoga.