Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

Ā© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

Hirarahmi39Avatar border
TS
Hirarahmi39
Kisah-Kisah Patah Hati


Quote:


Hai, GanSis. Kita semua pasti memiliki kisah cinta. Baik itu dengan kekasih hati, keluarga, sahabat, atau dengan siapapun. Namun, apakah semua kisah itu selalu berakhir manis? Atau adakah yang berakhir tragis?

Huum, terkadang ada cinta itu yang patah, hingga menyisakan sakit dibalik tangis yang tertahan.

Kisah cinta atau hati yang patah itulah, yang ingin saya tuliskan di sini, dalam bentuk cerita pendek.

Selamat membaca GanSis. Mohon krisannya. emoticon-Big Kiss

Btw, ini cerpen pertama. Minggu depan saya tulis cerpen ke dua.

Di Mana Kamu, Cinta?



Langit mulai gelap. Rona jingga yang tadi bertahta, kini telah tergusur oleh pekatnya awan hitam. Angin berembus kencang, menciptakan suhu dingin yang menggigit kulit. Kemudian, terdengar suara guntur bergemuruh dan diikuti dengan cahaya kilat yang menyambar.

Tik! Tik! Tik!

Rinai perlahan turun. Suara tetesan air yang beradu dengan genteng menimbulkan suara berisik. Semakin lama, suara tetesan itu makin berisik. Hingga kemudian, hujan pun turun dengan derasnya. Sangat deras malah. Seakan-akan, hujan tengah menumpahkan kerinduannya pada bumi, sebab, telah lama mereka tidak bercumbu.

Hanum menyibak gorden biru muda yang menutupi jendela. Pandangannya liar menelusuri jalanan komplek yang melintang di depan pagar rumahnya. Remang dan sepi, hanya itu yang dilihatnya. Hanum risau sekaligus bingung. Hari baru saja beranjak malam, tapi, kenapa suasana sudah begitu sepi? Tak ada seorang pun yang tampak di jalanan. Hanya kesunyian, seakan-akan hawa kematian tengah mengintai.

Hanum mendesah. Romannya menyorotkan raut kekhawatiran yang amat sangat. Dia berbalik badan, kemudian melangkah pelan menuju sofa merah hati yang ada di ruang tamu--tempat saat ini dia tengah berada. Perlahan, Hanum menghenyakkan pantatnya di sofa.

"Kamu di mana, Cinta?" gumam Hanum, kemudian meraih benda pipih berlogo buah apel tergigit, yang tergeletak di atas nakas.

šŸ’”

[Cinta ....]

[Iya, Cinta.]

[Nanti, kamu nggak usah siapin makan malam, ya.]

[Kenapa?]

[Alhamdulillah, aku dapat bonus dari kantor. Jadi, malam ini aku mau ngajak Cinta buat dinner romantis berdua.]

[Waaah! Seriusan, Cinta?]

[Ya seriuslah, Cintaaa.] Kemudian diikuti oleh emoticon love yang sangat banyak. [Cinta tunggu aku di rumah, oke! Habis salat Ashar aku pulang.]

[Siip, Cintaku sayaaang.]

Hanum kembali membaca chat WA-nya tadi siang bersama Adam--suaminya. Jengkel, itu yang dirasakannya pertama kali ketika Adam belum juga pulang, padahal waktu ashar sudah lama berlalu. Namun, kini rasa jengkel itu berubah menjadi kekhawatiran, ketika hari sudah beranjak malam, tapi Adam belum juga pulang. Inilah kali pertama Adam pulang terlambat tanpa mengabari Hanum.

"Apakah kamu baik-baik aja sekarang, Cinta?" Hanum bergumam sambil menyenderkan tubuh ke sandaran sofa.



šŸ’”

Di luar, hujan masih turun dengan derasnya. Kilauan cahaya kilat menimbulkan siluet-siluet aneh. Suasana malam semakin sunyi. Tak ada terdengar suara kendaraan lewat di jalan depan rumahnya, yang terdengar hanyalah suara hujan.

Hanum menegakkan tubuh sembari menyentuh dada. Perasaanya tak karuan. Takut, khawatir, sedih, dan lengang tercampur menjadi satu. Dia menarik napas dalam-dalam, kemudian mengembuskannya kuat-kuat. Mencoba menetralisir perasaan yang berkecamuk di dadanya.

Hanum menyalakan handphone-nya, kemudian mengetik sebuah pesan pada Adam.

[Cinta, perasaanku benar-benar nggak enak. Kamu di mana sekarang? Kamu baik-baik aja, kan? Tolong kabari aku, Cinta! Plis, bales chat-ku!]

Send. Lagi-lagi, hanya tanda centang satu yang tertera pada chat yang barusan dikirim Hanum.

"Ya, Rabb, lindungi suami hamba."

šŸ’”

Hanum kembali melangkah pelan menuju jendela. Menyibak gorden kemudian menatap liar ke halaman. Berharap, orang yang dicintainya itu pulang. Mengetuk pintu, sambil mengatakan, 'Assalamualaikum, Cintaaa! Aku pulaaang!' Lalu, Hanum akan membukakan pintu dan langsung memeluk suaminya erat. 'Kamu ke mana aja, Cinta? Aku setengah mati mengkhawatirkanmu.' Kemudian Hanum akan menggigit kuping suaminya yang nakal itu.

Namun, itu hanya angan-angan kosong. Faktanya, yang dia lihat hanyalah keremangan malam. Pagar rumahnya yang basah kuyup, pos ronda yang kosong melompong, sinar lampu jalan yang temaram, rumah-rumah warga, dan seseorang yang memakai payung--entah pria atau wanita, tengah berjalan tergesa-gesa di bawah hujan. Takut sekali orang itu akan terrudapaksa hujan, agaknya.

Hanum menempelkan keningnya ke kaca jendela seraya bergumam, "Cinta ... pulanglah ...."

šŸ’”

Cinta, itu merupakan panggilan sayang Adam kepada Hanum. Sejak awal menikah selalu panggilan ini yang disebutnya, tidak pernah tidak.

"Cinta, kamu lihat kaus kakiku?"
"Cinta, tolong pasangin dasiku, dong."
"Kamu masak rendang ya, Cinta? Baunya enak sekali."
"Cinta, aku ada hadiah untukmu."
"Cinta, aku menyayangimu."
"Ayo, Cinta, kita bikin Adam dan Hanum junior!"

Karena kebiasaan Adam itu, akhirnya Hanum ikut-ikutan memanggil Adam dengan panggilan 'Cinta'.



šŸ’”

Hanum kembali duduk di atas sofa. Tatapannya nanar, menatap bayangannya sendiri yang terpantul di kaca lemari besar di hadapannya. Lengang, benar-benar lengang. Di ruang tamu yang luas itu, dia hanya termenung sendirian, menunggu kepulangan suaminya.

Hanum mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruang tamu. Menatap semua yang tertangkap oleh indra penglihatannya dengan nanar. Sejenak, tatapan Hanum tertumbuk pada foto-foto yang terbingkai indah di dinding bercat putih. Dia bangkit dari sofa lantas mendekati foto-foto itu. Dia menyentuh salah satu foto, kemudian memainkan jemarinya di sana. Dia tersenyum, melihat dirinya dan Adam yang mengenakan pakaian pengantin Minangkabau, berpose mesra. Ya, itu foto pernikahannya dengan Adam.

šŸ’”

"Dek Han, dengarkan uda! Uda tulus sayang sama Dek Han." Adam berusaha untuk memegang ke dua tangan Hanum, tapi Hanum menepisnya.

"Ih, Da Adam bisa ndak, nggak usah pegang-pegang?" Hanum mundur beberapa langkah. "Kan, aku udah bilang, Abak nggak izinin aku buat pacaran."

"Eh, siapa bilang uda ngajak kamu pacaran?" Adam terkekeh.

Hanum mengernyitkan kening. "Terus?"

Adam tidak menjawab. Dia hanya melangkah mendekati Hanum sambil menatap tajam netra hitam milik Hanum. Hanum melangkah mundur sambil menelan ludah. Langkahnya tiba-tiba terhenti ketika menyadari tubuhnya sudah mepet ke dinding. Hanum menahan napas ketika Adam mengunci dan menatapnya lekat-lekat. Dapat diciumnya wangi maskulin dari tubuh Adam yang membuatnya mabuk kepayang.

"Uda mau ... kita menikah ...," bisik Adam di telinga Hanum. Kemudian dia menjauhkan wajahnya dari Hanum.

"Me-menikah?"

"Iya, Dek Han nggak mau?"

Hanum tidak menjawab. Dia hanya terpukau dengan apa yang barusan di dengarnya. Jadi, selama ini cinta dalam diamnya tak bertepuk sebelah tangan?

"Dek Han, kam--"

"Iya, aku mau, Uda Adam!" potong Hanum cepat.

šŸ’”

JEDUAR!

Suara guntur mengagetkan Hanum dari lamunannya, hingga tanpa sengaja dia menjatuhkan foto pernikahannya yang tergantung di dinding.

PRAANK!

Kaca yang menutupi bingkai foto itu hancur berkeping-keping.

"Astagfirullah," ucapnya pelan. Hanum jongkok, lantas memberesi pecahan kaca yang berserakan di lantai.

"Auuh ... sssh ...," desis Hanum. Telunjuknya tertusuk kaca hingga berdarah. Dengan cepat, Hanum mengelap darah dari telunjuknya menggunakan ujung baju yang dia pakai.

Saat itu, perasaan dan pikiran Hanum benar-benar kacau. Entah dari mana asalnya, tiba-tiba saja sebuah bayangan mengerikan muncul. Dalam bayangannya, dia melihat Adam tergeletak tak berdaya di pinggir jalan. Tubuhnya penuh lebam dengan darah di sekujur tubuh. Usus Adam terburai dengan luka tusuk di dadanya.

Tanpa permisi, kristal bening langsung jatuh membasahi pipinya. Dadanya sesak, hatinya perih. Dengan cepat Hanum menggelengkan kepala agar bayangan mengerikan itu hilang. Namun, bukannya hilang, malah bayangan lain yang muncul. Hanum melihat Adam sedang bercinta dengan seorang perempuan di sebuah kamar yang besar. Mereka saling rengkuh dan bermesraan.

Bayangan itu membuat dada Hanum semakin ngilu. Hatinya terasa disayat dengan sembilu kemudian disiram dengan air asam. Pedih, pedih sekali. Tanpa mempedulikan tangannya yang berdarah, Hanum bangkit dan mengambil handphone-nya yang tergeletak di sofa. Dia mencoba menghubungi Adam (lagi).

"Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangk--"

"Cintaaa, kamu di mana?" Hanum mengutak-atik handphone-nya, mencoba menghubungi teman-teman Adam. Namun, setelah ditelepon jawaban yang didapatkannya sama. 'Tidak tahu.'

"Apakah aku harus menghubungi kantormu lagi, Cinta?" lirih Hanum. Tanpa pikir panjang lagi, Hanum segera menekan berbagai angka kemudian mendekatkan handphone-nya ke telinga.

"Halo, selamat malam! Saya Hans Anggara, direktur perusahaan Metro Company, ada yang bisa saya bantu?" jawab suara di seberang sana.

"Ha-halo, saya Hanum, istri Adam Kurniawan, manager di kantor Anda," ucap Hanum gugup.

"Oh, Nyonya Adam. Ada yang bisa saya bantu?" tanya Hans--si direktur dengan nada santai.

"Maaf, Tuan Hans, saya mau bertanya, apakah suami saya malam ini ada kerja lembur? Pasalnya sampai saat ini dia belum pulang," tanya Hanum.

"Maaf, Nyonya. Pak Adam tidak ada tugas lembur hari ini. Setahu saya, dia sudah pulang sehabis salat Ashar tadi."

"A-apa?" Hanum menutup mulutnya dengan tangan. Dadanya semakin bergemuruh. Tiba-tiba saja, bayangan buruk tadi kembali menghantui.

"Halo? Apakah anda masih di sana, Nyonya?" tanya Hans dari seberang sana.

"Oh, ma-masih, Tuan," jawab Hanum gugup. "Baiklah kalau begitu, Tuan Hans. Terima kasih dan maaf sudah mengganggu waktu Anda."

"Iya, Nyonya. Tidak masalah."

Telepon ditutup. Hanum melempar handphone-nya ke sofa, kemudian jatuh terduduk dengan air mata berlinang.

"Cinta, jangan siksa aku dengan perasaan ini ... pulanglah, aku benar-benar mengkhawatirkanmu ...."

šŸ’”

Di lain tempat, pada waktu yang bersamaan. Hans tertawa terbahak-bahak bersama tiga orang pria berbadan kekar.

"Hahaha ... mampus kau, Adam!" Hans tertawa. Di tangannya ada segelas sake yang sudah tersisa separuh. "Itulah akibatnya kalau berani ikut campur urusan atasan! Hahaha ...."

Ketiga pria berbadan kekar yang bersama Hans ikut tertawa.

"Tapi, kalian yakin, kalau si parasit itu sudah mati?" tanya Hans memastikan.

"Yakin, Bos!" jawab pria berbaju hitam.

"Hahah ... good job! Tidak sia-sia saya membayar kalian." Hans mengambil sebuah tas lantas melemparnya pada pria berbaju hitam. "Itu bayaran kalian!"

Si pria berbaju hitam membuka tas itu kemudian memperlihatkannya pada dua temannya. "Terima kasih, Bos. Kami bertiga siap untuk melakukan misi selanjutnya."

"Betewe, mayatnya si Adam udah sampe mana, ya?" celetuk pria berbaju biru.

"Entahlah, mungkin sudah sampai laut," jawab pria berbaju abu-abu.

"Biarkan saja!" sahut Hans. "Biar mampus dia! Biar dimakan hiu sekalian! Hahaha ...."

Mereka semua tertawa.

" Besok kalian jangan lupa. Barang-barang ini harus dikirim ke Bos Sergei Gordatov. Ingat! Jangan sampai ada lagi yang mencium jejak kita seperti yang dilakukan si parasit itu paham!" ucap Hans garang.

"Paham, Bos!" jawab ketiga pria itu bersamaan.

šŸ’”

Di pinggir kali yang airnya mengalir deras, tampak dua orang pria yang sedang berjalan menyusuri kali. Mereka memakai jas hujan dengan ember, pancing, dan lampu petromax di tangan. Tiba-tiba, salah seorang dari mereka berhenti berjalan.

"Eh, Cup, lihat tuh!" Panjul, salah seorang dari dua pria itu memanggil Ucup, temannya.

"Apaan, Jul?"

"Liat, kayak ada sesuatu di sana!" ucap Panjul sambil menatap nyalang ke arah kali.

"Lu liat apa?" Ucup mengikuti tingkah Panjul, melongokkan kepalanya ke arah kali.

"Kayak ada orang di antara bebatuan di sana," ucap Panjul sambil mengarahkan telunjuk ke arah bebatuan di tengah kali. "Kita liat aja, yuk!"

Panjul dan Ucup merengsek, membelah semak-semak tinggi di pinggir kali. Kemudian, dengan lincah melompati bebatuan kali yang licin.

"Cup, liat Cup! Ada ma-mayat!" Panjul tergagap.

"Mana?"

"Itu!"

Di depan Panjul dan Ucup, tepatnya di celah-celah bebatuan yang sempit, tampak sesosok mayat laki-laki yang mengapung dan bergoyang-goyang karena aliran air kali. Wajah mayat itu penuh lebam dan memar. Di dadanya terdapat tiga lubang bekas tusukan benda tajam. Bagian perutnya menganga lebar memperlihatkan usus dan isi perutnya yang lain. Bahkan, ususnya sudah terburai keluar. Darah segar masih mengalir dari tubuhnya, menandakan mayat itu baru saja dilemparkan ke dalam kali.

"Jul, kita lapor aja sama pak RT, biar nanti aparat desa yang mengurus mayat ini."

"Oke, lu panggil aja pak RT sama warga yang lain. Gue mau pinggirin mayat ini dulu, takut ntar mayat ini hanyut terbawa arus." Panjul melompat ke dalam kali dan mendekati mayat itu.

"Oke!" jawab Ucup sambil melangkah cepat meninggalkan Panjul.

šŸ’”

Sementara itu, pada waktu yang bersamaan, Hanum kembali menyibak gorden biru muda yang menutupi jendela rumahnya. Matanya liar menatap keremangan malam. Dadanya semakin sesak dan air matanya terus saja mengalir. Dia resah dan mendesah putus asa.

"Kamu di mana, Cinta?"

THE END

Bukittinggi, 22 September 2019. 21:56 WIB.
KnightDruid
anasabila
someshitness
someshitness dan 3 lainnya memberi reputasi
4
2.4K
3
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan