Pelajar Papua di Pulau Jawa telah berulang kali menjadi sasaran intimidasi oleh kelompok Islamis dan nasionalis ketika konflik bersenjata antara pasukan keamanan dan kelompok separatis di Papua meningkat.

Dalam insiden terakhir pada Jumat sore, sejumlah pasukan keamanan bersama dengan milisi sipil dari kelompok garis keras Front Pembela Islam (FPI) dan organisasi pemuda Pemuda Pancasila (PP) dilaporkan pergi ke asrama mahasiswa Papua di Jl. Kalasan di Surabaya, Jawa Timur, dan meluncurkan serangan fisik dan verbal terhadap para siswa, setelah ditemukannya bendera Indonesia yang dibuang di dekat asrama.

Menurut Lembaga Bantuan Hukum Surabaya, yang mengutip akun seorang siswa yang tinggal di asrama, tentara Indonesia diduga menabrak pintu asrama sambil mengucapkan kata-kata kutukan seperti "monyet", "anjing" dan "babi" ”Ditujukan pada siswa di dalam asrama. Lusinan anggota FPI dan PP dilaporkan datang tidak lama setelah itu.

Pengacara hak asasi manusia Veronica Koman, yang juga merupakan perwakilan dari Komite Nasional untuk Papua Barat (KNPB), mengatakan pada hari Minggu bahwa massa yang marah konon merusak gerbang asrama dan melemparkan batu ke gedung sambil meneriakkan “Kick out Papuans!” Dan “Slaughter! Orang Papua! ”Selama berjam-jam, membatasi gerakan siswa.

Dua siswa Indonesia Samaria yang baik, yang pada tengah malam mengantarkan makanan kepada siswa yang terperangkap di dalam asrama, mengaku telah diserang dan kemudian ditangkap oleh polisi yang menjaga daerah tersebut.

“Ini di luar pemahaman saya, kejahatan apa yang mungkin terjadi jika mengantarkan makanan dan air? Bahkan tahanan memiliki hak untuk makan, ”kata Veronica, menambahkan bahwa tekanan berlanjut pada hari berikutnya dengan polisi menembakkan gas air mata ke asrama dan menangkap semua 43 siswa di dalam gedung.

“[Semua gas air mata dan kekerasan] sama sekali tidak perlu. Mereka hanya siswa yang tidak bersenjata, lapar, haus dan lelah yang telah ditangkap oleh ratusan milisi sipil rasis dan pasukan keamanan selama lebih dari 24 jam, ”katanya.

Ketegangan antara warga setempat dan siswa Papua juga muncul di Kecamatan Candi, Kabupaten Candisari, Semarang, karena warga tersinggung oleh keengganan siswa untuk berpartisipasi dalam perayaan Hari Kemerdekaan di lingkungan tersebut.

"Kami mengirim undangan untuk bergabung dengan pawai pagi pada hari Minggu, tetapi dua siswa kemudian datang ke rumah saya mengatakan mereka tidak bisa karena mereka harus menghadiri kebaktian Minggu [di gereja]," kata pemimpin setempat Maryanto kepada Post pada hari Minggu. "Tapi ketika kami melewati asrama mereka pada hari Minggu pagi, kebanyakan dari mereka masih di sana."

'Menghina simbol bangsa'

Wakil Kepala Kepolisian Daerah Surabaya Ajun. Sr. Comr. Leonardus Simarmata mengatakan secara terpisah bahwa penangkapan itu dilakukan ketika polisi sedang mencari orang yang menghancurkan bendera Indonesia dan membuangnya ke selokan.

"Kami hanya menegakkan hukum tentang dugaan penghinaan terhadap simbol negara," kata Leonardus di depan asrama pada hari Sabtu. Namun, ia meyakinkan bahwa polisi tidak akan pernah menyangkal hak siswa untuk tinggal di kota.

Semua siswa telah dibebaskan setelah diinterogasi sebagai saksi.

Veronica menyesalkan bahwa kejadian seperti itu harus terjadi setiap tahun dengan pola yang sama.

Bentrokan juga terjadi tahun lalu pada 15 Agustus di asrama yang sama, di mana beberapa anggota organisasi massa diduga memaksa mahasiswa Papua untuk mengibarkan bendera negara di depan asrama mereka. Para siswa mengklaim bahwa mereka tidak keberatan dengan saran tersebut, tetapi mereka terlebih dahulu perlu memberi tahu penjaga asrama, yang berada di luar Surabaya pada saat itu.

"Penolakan" awal menyebabkan perkelahian antara siswa dan anggota organisasi massa, di mana satu terluka. Polisi Surabaya kemudian mengunjungi asrama dan membawa puluhan asrama ke markas mereka untuk diinterogasi. Para siswa dibebaskan beberapa jam kemudian.

'Diskriminasi yang berkepanjangan terhadap orang Papua'

Para ahli tentang masalah Papua berpendapat bahwa insiden itu terus berulang sebagai akibat dari beberapa faktor, termasuk diskriminasi berkepanjangan terhadap penduduk asli Papua dari sesama warga negara dan pasukan keamanan, di samping pelanggaran HAM masa lalu yang belum terselesaikan yang terjadi di bagian paling timur Indonesia.

“Orang Papua sering digambarkan [oleh pemerintah dan media massa] sebagai anti-nasionalis yang ingin memisahkan diri dari negara. Namun, media gagal untuk menyajikan alasan di balik aspirasi tersebut, ”kata seorang pakar tentang masalah Papua, Darmawan Triwibowo.

"Ada masalah hak asasi manusia di balik keinginan itu, yang merupakan masalah politik yang juga harus diatasi dengan menggunakan pendekatan politik alih-alih pendekatan keamanan atau ekonomi," tambahnya.

Suaranya digaungkan oleh koordinator Jaringan Perdamaian Papua Adriana Elisabeth, yang mengatakan berbagai pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Papua belum terselesaikan sampai hari ini, meskipun Presiden Joko “Jokowi” Widodo berkampanye pada 2014 berjanji untuk melakukannya.

“Orang Papua merasa seperti mereka tidak berada di negara asalkan pemerintah tidak melarikan diri dari pelanggaran HAM masa lalu. Itulah latar belakang yang harus kita pahami, "kata Adriana, mendesak pemerintah untuk berhenti menstigmatisasi orang Papua dengan label separatis atau memperlakukan mereka seperti penjahat.

Pemerintah juga harus memulai pembicaraan dengan para aktivis dan tokoh-tokoh lokal dari Papua untuk mengatasi ketegangan dan konflik yang sedang berlangsung. “Presiden Jokowi sangat dihormati di Papua. Karena itu, ia harus memulai inisiatif, ”tambahnya.

Perwakilan dari wilayah tersebut sering menyatakan keprihatinan mereka atas kekerasan berkelanjutan pemerintah di Papua di berbagai forum internasional. Yang terbaru adalah di Forum Kepulauan Pasifik ke-50 (PIF), yang diadakan dari 13 hingga 16 Agustus di Tuvalu, di mana pemimpin pro-Papua Benny Wenda mendesak para pemimpin negara untuk mendukung kampanye Papua gratis di tengah meningkatnya kekerasan baru-baru ini di Papua, termasuk di Kabupaten Nduga.

Lusinan warga yang mendukung kampanye Papua bebas di Forum Kepulauan Pasifik dilaporkan ditangkap oleh Polisi Jayapura pada hari Kamis. Orang-orang menggelar unjuk rasa, menuntut "resolusi konflik" di Papua.

Juru bicara Kepolisian Papua Sr. Comr. Muhamad M. Kamal mengkonfirmasi penangkapan pada Kamis malam, mengatakan bahwa para demonstran sedang diinterogasi di markas polisi.