Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

YenieSue0101Avatar border
TS
YenieSue0101
Sang Pembawa Pesan




Wajah ibu tampak begitu segar, senyumnya berseri-seri. Jilbab dan jubahnya menjuntai, meliuk tertiup angin. Beliau tampak cantik di usianya yang menginjak lima puluh tahun. Aku meraih tangannya yang hangat dan sehalus sutera. Setelah sekian lama tak bertemu, kini bisa kulihat senyumnya dengan jelas. Untuk pertama kali, setelah bertahun lamanya, aku bisa benar-benar dekat dengan ibu.

Sentuhan tangannya mengalirkan kekuatan yang aneh. Ia seperti menyuntikan energi positif ke dalam tubuhku. Entah kenapa hatiku menjadi begitu damai berada bersamanya. Inikah yang disebut kerinduan?

"Anakku," sapanya lembut. "Sungguh kebahagiaan bagi Ibu bisa melihatmu dalam keadaan baik-baik saja."

"Aku juga senang karena akhirnya bisa berkumpul kembali dengan Ibu," sahutku antusias. Aku tak bisa menyembunyikan wajah gembiraku padanya.

Ibu tersenyum lebar, menampakkan gigi-giginya yang anehnya ... masih utuh, begitu putih dan berjajar rapi. Bukankah seharusnya sebagian gigi ibu sudah tanggal?

"Bu ..." suaraku tercekat. Tenggorokan serasa mampat. Aku ragu mengutarakan isi pikiran selama ini. Namun aku harus segera menemukan jawabannya.

"Kenapa Ibu baru kembali sekarang? Ayah telah meninggal, apakah Ibu tidak mendengarnya? Kenapa Ibu tidak datang dalam pemakaman Ayah?"

Kulihat ibu sedikit menampakan wajah cemas. Namun, sikapnya tetap tenang

"Ibu tidak bisa menghadiri pemakaman Ayah karena tidak bisa melakukannya. Dan perlu kau ketahui, anakku, saat ini Ibu datang ke sini bukan untuk kembali. Ibu telah memiliki rumah baru. Maafkan, Ibu."

"Tapi kenapa, Bu?" tanyaku tak sabar. "Bukankah seharusnya Ibu tinggal bersama kami, aku dan Ayah, rumah kita. Kita masih keluarga kan, Bu?"

"Ya, kita memang keluarga," gumam ibu. Pandangannya menerawang, seolah mencari cara untuk mengungkapkan banyak hal yang rumit. "Tapi itu dulu. Sekarang berbeda. Kita harus mengambil jalan hidup masing-masing. Kita sudah tak bisa tinggal bersama ...."

"Apa maksud Ibu?" tanyaku gusar. "Oh, aku tahu. Ibu lebih memilih tinggal di rumah orang-orang asing itu, kan? Apakah mereka bisa dipercaya? Apakah Ibu yakin mereka tidak akan menipu Ibu?"

Aku benar-benar marah, terkenang kedatanganku di rumah baru ibu, kala itu. Orang-orang yang telah menjerat ibu. Rumah mewah itu, makanan enak itu ... semuanya tampak palsu. Aku tak bisa memercayai ini.

Mendengar serbuan dariku, ibu diam saja. Aku yakin ibu sudah tidak memiliki pembelaan apa-apa lagi. Jika memang benar ibu meninggalkan keluarga karena harta, aku sungguh menyesal sempat merasa gembira dengan kedatangannya kali ini.

"Ibu ... tidak bisa menjelaskan hal itu."

"Kenapa? Lalu apa tujuan Ibu datang ke sini? Untuk menertawakan kehidupanku yang miskin dan selalu menderita?"

Aku gusar sekali sehingga rasanya ingin segera enyah dari hadapan ibu.

"Bukan. Bukan seperti itu maksud Ibu," katanya perlahan. Wajahnya menyiratkan kegelisahan. Kulihat sebulir bening meleleh dari matanya yang sendu.

"Ibu datang ke sini untuk menemuimu, dan berpesan kepadamu agar selalu mengingat apa yang pernah Ibu ajarkan dulu. Ibu ingin kau menjalankan semua amanat-amanatku ...."

"Amanat?" semburku tak sabar. "Amanat apa? Ibu tega menelantarkan aku dan Ayah selama ini, dan sekarang masih bisa berbicara tentang amanat. Haruskah aku peduli dengan amanat seorang yang telah meninggalkan keluarganya demi harta!"

Amarahku telah memuncak. Dentum-dentum kebencian menggelegak, tumpah bagai api menyambar segala penjuru dan tak bisa dipadamkan lagi. Yang benar saja. Ibu menyuruhku untuk menuruti perkataannya, ajarannya, sementara dirinya sendiri tersesat dan tak ingin kembali. Sungguh tak bisa dipercaya!

Saat dadaku tengah meletup-letup, mendadak sebuah cahaya keperakan muncul dari kegelapan. Cahaya yang kulihat persis saat menjelang kematian ayah. Hanya saja, kali ini aku tak melihat sosok yang berkilau aneh seperti waktu itu.

"Ibu harus pergi."

Mendadak ibu berbicara. Dia telah bangkit dari sisiku dengan tergesa.

"Apa? Ibu tidak bisa meninggalkanku begitu saja. Ada pertanyaan yang harus Ibu jawab. Ibu harus menjelaskan semuanya ...."

"Ibu!"

Ibu mengabaikan teriakanku dan berbalik memunggungiku. Saat berikutnya, dia telah menembus cahaya dengan kecepatan tinggi dan lenyap begitu saja. Kegelapan menguasai pandanganku, menggantikan cahaya itu.

~~

"Martina!"

Suara itu melengking dari luar kamar. Terdengar pula suara pintu yang digedor-gedor dan dibuka paksa.

"Cepat bangun, dasar perawan tidak ada kerjaan!"

Akh, kakak selalu saja memarahiku. Aku mulai bosan mendengarnya mengamuk. Hidup berdua saja dengan seorang seorang kakak yang sedikit sinting membuatku merasa semakin stres dari hari ke hari. Akh, andai saja ayah dan ibu masih ada ....

Akh, ya! Mendadak jantungku berhenti berdetak, teringat sesuatu. Bukankah aku baru saja bertemu dengan ibu tadi? Lalu di mana dia?

Aku terbangun gelagapan mendapati diri sendiri tertidur di atas tikar ... ah, bukan ... ini sama sekali bukan tikar ... ini sajadah! Dan mukena!

Dari mana asal sajadah dan mukena ini? Sungguh aneh. Seingatku di rumah ini sudah tak ada lagi perlengkapan Sholat atau apapun sejak kepergian ibu. Aku baru teringat beliau sudah meninggal. Jadi, apakah yang tadi itu mimpi?

Kilasan masa lalu terkenang. Semua wejangan Ibu. Ah, ya, amanatnya! Beliau mengajariku untuk selalu menjalankan Sholat. Ya, itu pesannya! Lalu, apakah barang-barang ini adalah pemberiannya?

Segalanya membuatku bingung. Tidak ada yang masuk akal dari semua kejadian ini, seberapa pun keras aku memikirkannya. Namun, ada satu hal yang bisa kuambil dari peristiwa janggal ini. Ibu sama sekali tidak meninggalkanku karena harta atau hal lainnya. Beliau telah mendapatkan tempat yang baik di sisi-Nya.

Tanpa sadar air mataku mengalir dan semakin deras. Menyesali dugaan dan sikap burukku terhadap ibu. Dan lagi. Aku sudah lama tak melakukan Sholat. Beliau telah memperingatkanku.

Perlahan, kuraih sajadah dan mukena yang belum juga kuketahui dari mana asalnya itu. Aku merengkuhnya, seolah mendapatkan kembali kesadaranku yang hilang selama ini. Kudapatkan kembali hangatnya dekapanmu, Ibu. Terima kasih telah datang dan mengingatkanku.
Diubah oleh YenieSue0101 10-05-2019 05:16
oldmanpapa
anna1812
anasabila
anasabila dan 21 lainnya memberi reputasi
22
3.7K
99
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan