nana81280Avatar border
TS
nana81280
MAAFKAN BUNDA

Malam telah larut, tapi mata ini belum bisa kuajak terpejam. Putra semata wayang masih saja mengoceh kegirangan sambil berbaring di sampingku. Sesekali dia bangkit memperhatikan baju barunya, kemudian mencoba dan berpose di depan cermin seakan-akan memperagakan adegan fashion show. Ya, baju seragam untuk sekolah besok pagi, terlihat gagah dikenakannya.
“Bunda … besok pagi harus berangkat jam berapa?” tanyanya, membuatku tersentak dari lamunan.
“Agak pagi, Sayang,” jawabku singkat
“Siapa yang akan mengantarkan Ade, Bunda?” tanyanya lagi
“Bunda” jawabku ketus
“Besok teman-teman Ade diantar ayahnya, tapi kenapa …,” katanya lirih sambil memutuskan ucapan.
“Ah, Ade. Bunda mau istirahat, tidurlah dulu, Nak. Besok Ade harus bangun pagi-pagi, ya?” kucoba membujuknya agar tidak melanjutkan pembicaraan ini.
“Kenapa Bunda” sergahnya cepat
“Karna besok Ade masuk sekolah,” jawabku semringah
“ Yee … horeee.” balasnya tak kalah girang.
                Setelah 30 menit berlalu, kulihat Ade telah lelap dalam mimpi indahnya. Kupandangi wajahnya yang teduh. Inilah wajah penyejuk hati kala rinduku datang terhadap mendiang suamiku tercinta yang meninggal akibat kecelakaan tunggal beberapa waktu lalu. Wajah yang benar-benar mirip dan serupa ibarat pinang dibelah dua. Andai beliau masih ada, mungkin dua pria inilah pahlawan jiwaku,  sosok yang akan selalu siap melindungi diri yang lemah ini dalam segala suasana.
****

                Tiga tahun  tahun silam,  aku terperangkap dalam pilihan yang amat sulit. Bekerja sebagai guru di kampung juga merangkap sebagai guru privat. Berkat kegigihan, aku bisa berada hampir di  segala kegiatan. Menurutku itulah  identitas sebagai wanita karier dan hebat. Usia Ade saat itu masih belia. Sangat tergantung pada orang sekitarnya. Mula-mula Ade dirawat oleh neneknya  ketika aku dan suamiku bekerja. Seiring perjalan waktu  Ade kecil tumbuh menjadi sosok yang super aktif. Ia memiliki rasa ingin tahu yang tinggi terhadap hal-hal baru. Maka sang nenek pun ‘angkat tanganjika Ade kutinggalkan seharian bersama beliau.
                Aku tetap beraktivas seperti biasa. Menjalani segala rutinitas dengan segenap jiwa. Inilah pengabdianku untuk negeri dan akan kutunjukan pada dunia bahwa perempuan juga bisa berprestasi melebihi pria. Aku juga harus menjadi orang hebat, biar ilmu dan sederetan gelar di belakang namaku berfungsi setara dengan perjuangan mendapatkannya. Egoku menjuarai segala  tanggung jawab atas kodrat seorang ibu. Kemudian dengan bijak suamiku berkata “Semua yang udah Bunda lakukan selama ini sudah membuktikan bahwa  Bunda orang hebat, pinter dan loyal terhadap profesi yang Bunda sandang. Tidakkah Bunda merasa kasihan jika Ade sering Bunda tinggalkan?”
Inilah kalimat pertama dilontarkan Ayah Ade setelah aku menduduki jabatan yang selama ini terpatri dalam keinginan. Namun, aku hanya terdiam, tak menjawab sepatah kata pun dan berlalu tanpa rasa bersalah.
                Sebenarnya sang ayah juga berprofesi sama sepertiku. Akan tetapi, karena ia seorang guru olah raga, maka terlihat enjoy saja dengan kehadiran Ade kala beraktivitas. Ade selalu terlihat di sekolah bersama sang ayah. Meskipun aku dan suami bertugas di tempat yang sama, tapi kami profesional menjaga privasi masing-masing.
 Suatu hari, setelah kegiatan pembelajaran usai, sang ayah  menjumpaiku di ruang kerja. Pelan sekali ia bercerita  tentang  perkembangan Ade. Aku tersenyum bangga. Batinku berkata ‘Inilah sosok yang aku dambakan darimu, Sayang.”
Sedetik kemudian bagaikan tersambar petir saat aku menerima pemberian kertas lengkap dengan tanda tangan dan materai darinya. Kalimat penutup pertemuan kami membuatku terdiam seribu kata.
“Dengan hormat dan penuh terima kasih saya mengundur diri dari lembaga yang Ibu pimpin demi Ade, anak kita. Jika ada yang ingin disampaikan atas pengunduran ini, kita akan komunikasikan dikemudian hari.” Selepas berucap, ia melangkah santai diiringi rangkulan Ade.
 Sesampai di rumah aku  memberanikan diri untuk  bertanya tentang keputusannya. Bukankah selama ini semua berjalan baik-baik saja, bahkan pihak sekolah masih mengharapkan agar beliau membatalkan keputusan tersebut. Di satu pihak sang suami jugalah putra daerah, memajukan lembaga yang kupimpin sekarang. Namun, ia tetap pada prinsipnya.
“Semua ini demi keluarga kita,” katanya pelan setelah mendengar celotehku terhadap keputusannya.
“Bukankah selama ini Ade baik-baik saja, apalagi dia berada dalam pengawasan kita setiap saat,” sergahku cepat
“Ya … dari pandangan kita, tapi di sisi lain Ade butuh perhatian lebih, Bunda. Ade butuh istirahat. Biarlah Ayah bersamanya di rumah.” Jawabannya terdengar berat.
“Tapi, apakah Ayah juga harus melepaskan profesi sebagai pembina terbaik di sekolah kita?”
“Iya, biarlah Bunda  tetap jadi leader di sekolah  tanpa bayang-bayang Ayah dan Ade  setiap hari. Agar bisa lebih loyal terhadap profesi Bunda.” jawabnya mantap sambil memandangiku.
                Waktu terus berlalu, tak terasa Ade kecilku kini semakin lincah. Semua berkat sang ayah, yang selalu berada disisinya. Ade kecil menjadi  sosok  yang sangat menghormatiku. Ia terlihat lebih mandiri dibandingkan teman sebayanya. Ade mulai lancar menghafal doa sehari-hari, surah pendek serta bacaan salat. Kemampuannya jauh lebih berkembang dibandingkan beberapa waktu lalu.
                Kegiatan Ade dengan ayahnya semenjak berhenti dari sekolah adalah menemani sang ayah bercocok tanam di halaman rumah kami. Sesekali Ade dan ayahnya akan membawa hasil kebun tersebut ke kota. Dulu, sebelum menikah denganku, ia telah memiliki kegiatan lain di kabupaten, yakni mengelola sebuah perusahan milik kelurga yang bergerak di bidang property rumah tangga. Sesekali ia juga menyempatkan diri untuk terjun langsung mengawasi proyek rumah-rumah itu. Kebayakan penghasilannya memang berasal dari kegitan tersebut. Profesi sebagai guru ditekuni hanya sekedar mendampingiku saat itu. Aku merasa kesepian bila Ade dan sang ayah pergi ke kota dan bermalam di sana sampai berhari-hari, bahkan kini sebulan sudah mereka di sana.
                Rasa rinduku terhadap Ade kian memuncak. Betapa aku ingin mendengar ocehannya. Rindu akan wajah polosnya. Kucoba menghubungi ponsel suami, tapi panggilanku tak pernah diangkat.
            Menjelang siang ponselku bordering. Cepat kusambar dengan hati gembira. Ia bertanya tentang aktivitasku. Pikiranku panik ketika suara di seberang sana terdengar agak pelan dan terkesan menyembunyikan sesuatu. Kucoba untuk berburu jawaban dengan terus bertanya apa yang telah terjadi.
“Selesaikan semua tugas Bunda terlebih dahulu. Kemudian segeralah menyusul Ade kemari.” Jawabannya sedingin salju
                Hatiku bergemuruh. Tidak biasanya ia berkata seperti itu. Suara Ade pun tak terdengar disebelahnya. Suatu keanehan yang sangat menyita pikiranku. Tanpa berpikir panjang, pada akhir pekan aku memutuskan untuk menyusul ke sana. Kukabari ia bahwa aku sedang di perjalanan menuju ke sana.
 “Hati-hati. Ayah tunggu Bunda di klinik tempat biasanya kita berobat.”
            Aku masih beranggapan kabar ini biasa saja, mungkin beliau sedang mengunjungi sahabatnya yang kebetulan pemilik klinik tersebut.
                Aku tiba di klinik tersebut setelah menempuh perjalanan 70 km. Terlihat Ade dan sang Ayah duduk di ruang tunggu apotek klinik tersebut. Segera kudekati. Memeluknya, mencoba melepaskan rindu ini. Kutatap sang Ayah, mata sendunya terlihat lelah. Kemudian ia mengajakku dan Ade  ke rumah makan sebelah. Aku belum mendapatkan jawabannya hingga selesai santap siang itu.
                Beberapa detik kemudian seseorang mendekati kami, menyerahkan kunci mobil suami. Beliaulah pemilik klinik tersebut dan juga dokter yang selalu menangani Ade jika kurang sehat. “Semua barang sudah di mobil. Semoga semuanya baik-baik saja. Segara kabari jika keadaannya memburuk.” Kalimat itu mengalir dengan lancar dari mulut dokter tersebut. Aku semakin penasaran dengan sikap Ade dan Sang Ayah.
                Tiba di rumah, sekaligus kantor tempat sang ayah beraktivitas, aku di sodorkan hasil chek-up kesehatan Ade. Bibirku bergetar membaca diagnosa tersebut. Inikah alasan sang ayah lebih memilih masak sendiri di rumah ketimbang membeli makanan jadi dan penyebab ia sangat protektif apabila  Ade ingin jajan diluar. Serta inikah alasannya memilih untuk selalu ada dalam setiap langkah Ade.
                Rabbi … kenapa aku sebagai ibu tidak peka terhadap perubahan Ade? Ketika ia merengeh mual, kehilangan selera bahkan sampai kesulitan makan. Aku bahkan tak peduli tatkala suhu badannya berubah-ubah. Hal itu menyebabkan berat badannya menurun drastis. Betapa aku ini berdosa terhadap anak semata wayang. Ternyata selama sepekan Ade di rawat. Ia muntah-muntah serta BAB-nya berdarah. Sang ayahlah yang setia merawat dan menjaga seminggu penuh di rumah sakit.  Aku termangu dan tergugu menahan sedih atas ketololan. Air mata tak kuasa kubendung kala bawaan dari rumah sakit tadiku rapikan.  Di sela-sela merawat Ade, sang ayah masih sempat membelikan mainan edukatif, buku mengenal huruf, mewarnai, bacaan doa sehari-hari, dan aku yakin sang ayah bukan hanya membeli tapi juga mengajarkan nya kepada Ade.
                Malam harinya, aku tak mau terlihat sedih di hadapan sang putra. Kugunakan kesempatan ini untuk bercengkraman dengan Ade dan ayahnya. Suasana yang selama ini kurindukan kembali hadir lagi di malam ini. Dalam hati aku berjanji akan merawat Ade sepenuh hati. 
            Tak berapa lama Ade tertidur dalam pangkuan. Sang ayah tersenyum melihat Ade pulas dalam dekapanku. Dengan pelan dan sangat hati-hati kupindahkan Ade dari pangkuan. Aku mendekat kea rah suami.
“Kenapa semua ini ayah rahasiakan,” tanyaku lembut
“Agar Bunda fokus menyelesaikan tugas. Lagian Ade sudah terbiasa sama Ayah.” Jawabannya membuatku terdiam.
                Setelah sekian menit saling membisu, ia mencandaiku “Bunda … tidakkah Ayah terlihat gagah di matamu?” Pertanyaannya tidak kujawab. Aku tersipu malu. Kemudian ia kembali berkata, “tinggalkanlah kesibukan Bunda, pengorbanan Bunda sudah membuahkan hasil, target Bunda telah tercapai. Serahkan tugas itu kepada yang lebih muda, biarkan mereka mengukir prestasi sesuai zamannya. Lihatlah Ade, dia butuh kasih sayangmu, butuh perlindungan tidak hanya di dunia, tapi akhirat juga. Bunda tak perlu menjawab sekarang, coba pikirkanlah sekali lagi.” Kalimat itu bagai bom di kepalaku. Aku terdiam seribu Bahasa, tapi kemudian aku mengangguk setuju.


#bbb
               
 
               
 
 
 
 
 
 
anasabila
anasabila memberi reputasi
5
764
9
Thread Digembok
Urutan
Terbaru
Terlama
Thread Digembok
Komunitas Pilihan