Sampai detik ini, aku tak pernah bisa melupakan mantan. Ia selalu ada di hati sampai kapan pun dan tak ada yang sanggup menggantikannya. Kami berpisah bukan karena tak lagi saling cinta, tapi karena kedua orangtuaku yang melarang. Mereka dengan yakin mengatakan bahwa ia tak baik untuk masa depanku. Sebagai anak penurut dan tak ingin dicap durhaka, aku mengikuti kehendak mereka dan tak lagi berhubungan dengannya.

"Kenapa nggak dimakan, Sayang?" 

Mas Odie suami yang baru menikahiku kemarin melihatku tak berselera menyantap hidangan mewah di hadapan kami. Hari ini sampai seminggu ke depan, kami berbulan madu di salah satu hotel bintang lima di Bali. Mas Odie lelaki yang sangat baik dan sabar. Ia berhasil meluluhkan hatiku yang keras untuk kemudian bersedia menikah dengannya. Sayang, bayangan mantan selalu menghantui hingga melenyapkan selera makan siangku. Saat ini, aku berkhayal makan siang bersama mantan. 

"Makanan ini bagus untuk kesehatanmu, Sayang. Mas sendiri yang meminta koki untuk memasakkan khusus untukmu. Mubazir jika tidak disantap. Masih ingan mantan?" Mas Odie terlihat kesal, meskipun ia berusaha menutupinya. 

Aku tak perduli ucapannya, kembali memainkan sendok di atas piring tanpa memasukkan makanan ke mulut. Mas Odie yang melihatku bertingkah kekanakan, berinisiatif menyendok makanan di hadapanku dan menyuapkannya ke mulutku. 

"Kamu harus makan, supaya bisa melewati malam yang 'berat' bersamaku dengan kuat." Mas Odie mengerlingkan matanya. 

Akh ... sungguh bodoh aku mensia-siakan lelaki tampan dan baik dikirimkan Tuhan untukku. Ia tak pernah berhenti dan putus asa untuk membuatku melupakan mantan.

"Ma'afkan aku, Mas. Susah buatku melupakannya. Aku terbiasa hidup dengannya hingga papa mama melarangku mendekatinya."

"Tak perlu meminta ma'af, Sayang. Mas bisa mengerti kenapa kamu susah melupakannya. Selama ini ia yang membuatmu berselera makan. Tapi, apa yang dilakukan papa dan mama sudah tepat. Aku pun tahu kalau ia tak baik untukmu. Ia bisa merusakmu, Sayang." 

Mas Odie menarikku dalam pelukan hangatnya, membelai rambutku dengan lembut penuh kasih sayang. Ia berjanji akan sabar membantuku melupakan mantan.

"Mas, aku ingin pulang. Lain kali saja kita bulan madunya, bisa?"

"Apa pun keinginanmu, Mas akan turuti."

Aku dan Mas Odie memutuskan pulang esok hari. Sesampainya di rumah, papa dan mama merasa terkejut, sebab bulan madu yang seharusnya seminggu justru terlaksana hanya satu malam. 

"Apa yang terjadi, Odie?" tanya papa ke Mas Odie.

"Ayu kurang sehat, Pa." Mas Odie mencari alasan agar papa dan mama tak curiga. 

"Mama nggak percaya. Pasti gara-gara mantan kamu itu kan, Ayu? Sampai kapan, sih, kamu tidak akan melupakannya?" Nada marah terlontar dari mulut mama.

"Bukan itu, Ma. Ayu memang kurang enak badan. Soal bulan madu, bisa dijadwal ulang, Ma." Mas Odie berusaha membelaku dan meredakan amarah mama.

"Mama nggak percaya. Mama yang melahirkan dan membesarkan Ayu. Mama tahu tabiatnya, bahkan bisa merasakan apa yang Ayu rasakan. Kalian berbohong, kan?" Mama berkeyakinan penuh dengan dugaannya.

"Ma'afkan Ayu, Ma, Pa. Ini memang salah Ayu. Dugaan Mama benar," jawabku pada mama, menyerah. Percuma juga menutupi semua dari mama. Jujur pasti lebih baik.

Mama mendekat, "Ayu, dengarkan Mama. Santan itu memang manis dan membuat masakan lebih gurih, tapi ia akan membunuhmu perlahan. Ayu harus menjaga kolesterol di tubuh. Ingat apa kata dokter, Sayang. Lemak santan tak baik buat kesehatan. Tinggalkan manisnya santan, yang kamu sebut mantan itu!" 

Aku terdiam. Apa yang mama ucapkan benar. Aku dilarang dokter mengkonsumsi santan. Sebelumnya, setiap hari aku selalu mengkonsumsinya lewat kari, gulai, rendang ... intinya lauk yang dimakan harus menggunakan santan. Belakangan hari, aku sering mengeluh sakit kepala, ternyata kolesterolku sangat tinggi. Untuk itu, dokter melarangku makan manisnya santan ... mantan!