Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

Arpeggios7Avatar border
TS
Arpeggios7
Review: Cintaku di Kampus Biru


Cintaku di Kampus Biru adalah salah satu tonggak karya klasik novel pop Indonesia. Ashadi Siregar sendiri dosen senior di Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM). Sejak terbit pada 1974, novel ini sudah beberapa kali dialih media dalam bentuk film dan sinetron.

Ceritanya seputar kehidupan asmara seorang aktivis mahasiswa bernama Anton. Dia digambarkan sebagai cowok playboy, tapi brilian dalam studi dan punya idealisme. Kelihaiannya dalam menaklukkan perempuan seolah tidak ada bandingan.

Masa kuliahnya sudah hampir lima tahun, tapi tak kunjung lulus skripsi gara-gara dijegal seorang dosen cantik umur 30-an yang masih gadis dan punya ego kelewat tinggi. Sementara itu, pacarnya terus-terusan merongrong kebelet kimpoi.

Alurnya maju terus pantang mundur. Mengalir dengan ringkas dan cepat. Tidak sampai sehari baca novel ini sudah kelar. Kalau ada istilah ilmiah atau teori-teori akademik yang sesekali tersisip, nikmatilah. Karena ini memang kisah cinta mahasiswa.

Adegan pembuka yang asoy, sampai tipe perempuan ideal

Setting novel ini di Kampus Gadjah Mada Yogyakarta. Yogya banget, UGM banget. Bagi yang pernah mencicipi kehidupan di kampus itu pasti familiar dengan tempat-tempatnya. Muncul juga beberapa nama tokoh seperti Umbu Landu Paranggi, Darmanto JT, Mochtar Pabottinggi, Peter Hagul, dan Anhar Gonggong.

Mengapa UGM disebut kampus biru? Aku sungguh tak mengerti, biarpun pernah 7 semester hidup di sana. Padahal warna jaket almamaternya tidak biru, dan cat gedung kampusnya juga bukan biru. Entahlah.

Cerita dibuka dengan cara nakal lagi sensual, “dua pasang kaki menjulur dari balik gerumbul semak yang bergoyang-goyang.” Waduh! Hahaha.

emoticon-Matabelo

Tak lama, Anton, si tokoh utama keluar dari gerumbul semak-semak. Diikuti pacarnya, Marini, yang kesal karena keinginannya tak dituruti.

Adegan ciuman memang banyak tersebar di novel ini. Ada yang di semak-semak di lingkungan kampus, di rumah gebetan, di lokasi riset, bahkan di rumah dosen. Gaya pacaran mahasiswa tahun 70-an rupanya sudah berani juga ya.

Lewat novel ini, Ashadi juga memaparkan pendapatnya tentang beberapa tipe perempuan. Pertama, Marini. Ia digambarkan sebagai perempuan lembut, melankolis, nan sendu.

Mulanya malu-malu, tapi setelah jadi pacar berubah agresif dan mengikat. Ia tipikal perempuan yang butuh kepastian dalam sebuah hubungan asmara. Selalu butuh ketegasan, ‘Kapan kita kimpoi?’

Lalu ada Erika. Ia perempuan yang galak, menantang, tapi lembut. Menikmati acara-acara kebudayaan, suka mendengarkan musik klasik, membaca karya sastra, dan gemar berdiskusi.

Selanjutnya, Bu Yustina. Lajang berusia 30-an yang tak kunjung menikah, cantik, cerdas, tapi punya ego tinggi dan mematikan. Kesepian dalam hal percintaan membuat hidupnya kaku.

Ashadi mengingatkan, butuh energi lebih untuk berurusan dengan perempuan semacam ini. “Ah, ah, ah, sulit menghadapi gadis usia tiga puluhan.”

Dosen killer

Melanjutkan tentang Bu Yustina. Di sini kita bertemu psikologi perempuan yang masih lajang hingga usia 30-an, padahal berpenampilan menarik, cantik, cerdas, dan hidup berkecukupan.

Di dunia kerja sekarang, tipe perempuan lajang hingga usia 30-an ini makin banyak kita temukan. Kalau memang itu pilihan hidupnya dan dia menikmati, tidak masalah. Jodoh siapa yang tahu kan.

Yang jadi masalah adalah, ketika mereka sebenarnya secara psikologis merasa tertekan dengan status sosialnya, kemudian melampiaskan pada orang lain. Akibatnya jadi sensitif, pemarah, dan mudah tersinggung. Inilah yang terjadi pada tokoh kita.

Bu Yustina tidak kunjung meluluskan Anton, meskipun Anton sudah 6 kali mengambil ujian untuk mata kuliahnya. Gara-gara sebuah perdebatan, Bu Yustina meminta agar para dosen menggelar sidang dan Anton di-DO. Walah, tidak kebayang kalau punya dosen sentimen begini!

Di bagian pertengahan menuju akhir, Bu Yustina akhirnya luluh. Ia mengungkapkan alasannya membenci Anton. Menurut dia, Anton sangat brengsek. Bu Yustina sudah marah sejak awal, gara-gara pertanyaan Anton pada hari pertama kuliah.

Saat itu Anton menanyakan soal teori Freud. Dalam teori Freud, faktor seks menentukan tindak tanduk seseorang. Dan Bu Yustina menganggap pertanyaan itu telah mengejeknya.

Di samping itu, Bu Yustina menyimpan hasrat pribadi yang tak mungkin direalisasi. “Kau kulihat sebagai mahasiswa ideal yang kuimpikan sejak aku kuliah. Kau brilian dalam studi tapi tetap hangat sebagai lelaki.”

Yah begitulah Saudara, psikologi manusia memang ruwet.

Sampul norak

Seberapa pentingkah peranan sampul dan pengambilan keputusan seorang calon pembeli buku? Kubilang, sangat penting!

Aku mendapatkan novel ini di toko buku bekas seharga Rp10k. Kalau tidak membaca nama pengarangnya, Ashadi Siregar, sudah pasti terlewat. Gara-gara apa? Sampul buku. Bukan main noraknya!

Novel bagus, tapi sayang sekali sampulnya norak. Andai lebih elegan sedikit. Menurutku, tidak cocok pakai gambar ala-ala manga. Karena justru menurunkan kelas novel ini. Menjadi seperti novel receh, padahal sejarah sastra mencatat novel ini sebagai salah satu novel pop Indonesia yang penting pada zamannya.

Meskipun kalau aku tidak salah ingat, pada tahun 2000-an itu model sampul demikian memang cukup tren.

Quote:


Tambahan lagi, ukuran bukunya. Aku kurang suka buku ukuran saku. Jadi biasanya jarang lirik-lirik buku dengan ukuran tersebut.

---

Peresensi: Tukang Moco

emoticon-Salam Kenal
pianzie
pcrobot
pcrobot dan pianzie memberi reputasi
2
4.4K
5
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan