- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Akrobat Lahan Raja Sawit
TS
janggutbahaman
Akrobat Lahan Raja Sawit
Baru saja baca tentang skandal terakhir industri kelapa sawit di Indonesia.
Selengkapnya: https://investigasi.tempo.co/241/akr...han-raja-sawit
Bagaimana menurut agan-agan?
Quote:
BELASAN plang kayu terpacak di jalan utama perkebunan Nagari Maligi, Kecamatan Pasaman, Kabupaten Pasaman Barat, Sumatera Barat. Sejauh mata memandang, hanya terlihat pohon sawit yang buahnya mulai memerah. Jalannya berlumpur dan berkelok. Semua plang itu berimpitan di sisi kanan jalan. Di sana tertulis lahan itu adalah milik PT Permata Hijau Pasaman Unit II dan perusahaan lain. Plang milik PT Permata Hijau menuliskan peringatan kepada mereka yang nekat mencuri isi kebun dengan ancaman penjara lima tahun dan denda hingga Rp 1 miliar.
Di sisi kiri adalah perkebunan plasma yang dikelola masyarakat bersama PT Permata Hijau. Luasnya mencapai seribuan hektare. Gara-gara lahan itu, seratusan penduduk Nagari--yang berarti desa--Maligi berhari-hari berdemo di kantor perwakilan Grup Wilmar yang juga kantor PT Permata di Pasaman Barat, sejak 9 Maret lalu. ”Pada 2007, kebun ini masih plasma bagi warga Maligi. Tapi perusahaan malah menyerahkan kepada kelompok tani lain,” ujar tokoh adat Nagari Maligi, Hendro Bara, 59 tahun.
Demo itu menarik perhatian pemerintah pusat. Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan memanggil pejabat di Sumatera Barat. Mereka menggelar pertemuan di kantor Bupati Pasaman Barat, Rabu pekan lalu. Masyarakat awalnya menolak pertemuan itu karena dianggap hanya menguntungkan PT Permata Hijau. ”Karena di undangannya terkait dengan konflik sosial. Padahal persoalan kami murni sengketa hukum,” kata kuasa hukum warga Nagari Maligi, Zulhendri Hasan. Pertemuan itu diakhiri dengan menelurkan berbagai rekomendasi. Salah satunya mewajibkan PT Permata Hijau mengganti kerugian jika dokumen yang dimiliki masyarakat terbukti valid.
PT Permata Hijau Pasaman adalah milik Grup Wilmar. Grup yang didirikan pengusaha kelahiran Malaysia, William Kuok Khoon, dan berkantor pusat di Singapura ini diperkirakan menguasai 656 ribu hektare kebun sawit di Indonesia. Meski memiliki lahan yang sedikit, mereka menguasai sekitar 30 persen bisnis sawit di Tanah Air lewat kepemilikan kilang, pengolahan, dan transportasi. Persentase ini mengukuhkan Wilmar sebagai salah satu raja sawit di Indonesia.
PT Permata Hijau terjun ke Nagari Sasak dan Maligi sejak 1992. Lewat perkebunan di Pasaman Barat itu, Wilmar mengawali kerajaan bisnis sawitnya di Tanah Air. ”(Kebun) di Pasaman Barat ini adalah sejarah Wilmar berdiri di Indonesia,” ujar Hendri Saksti, Kepala Operasi Grup Wilmar di Indonesia, awal Maret lalu.
Perkebunan plasma adalah kewajiban perusahaan berkebun bersama masyarakat. Wilmar seharusnya menyerahkan pengelolaan 2.100 hektare lahan sawit yang ada di Desa Maligi kepada masyarakat. Kesepakatan ini tertuang di surat perjanjian penyerahan lahan adat yang ditandatangani pada 1997 oleh perwakilan PT Permata Hijau dengan para ninik mamak--sebutan untuk tokoh di tiap klan masyarakat Minang--di Maligi. Dokumen yang diperoleh Tempomenyebutkan perjanjian itu mengharuskan Wilmar membantu pembangunan kebun plasma untuk warga Maligi. Pada 2010, Wilmar wajib menyerahkan pengelolaan kepada masyarakat.
Wilmar melalui PT Permata diduga mengingkari perjanjian itu. Plasma masih dikelola perusahaan. Masyarakat juga marah karena PT Permata diduga menyerahkan sebagian besar kebun plasma kepada warga Jorong Tanjung Pangkal, Nagari Persiapan Lingkung Aur, tetangga Nagari Maligi. Saat Tempo menyusuri kebun plasma PT Permata yang diributkan itu, terdapat plang yang tertulis bahwa kebun tersebut dikelola oleh Koperasi Unit Desa Tanjung Pangkal. Kebun itu diperkirakan seluas 600 hektare.
PT Permata Hijau mengklaim hanya mengelola 665 hektare kebun sawit. Padahal, berdasarkan temuan Tempo, hampir 2.100 hektare tanah ulayat Maligi yang menjadi kebun plasma itu telah tertanam pohon sawit. Di sanalah plang PT Permata Hijau Pasaman tersebar di pinggir jalan. Dari nomor patok sebagai penanda konsesi milik perusahaan, terdapat pergeseran urutan. Patok dari batu nomor 22 itu digeser bersebelahan dengan nomor 19.
Perusahaan ini diduga berupaya mempersempit luas lahan untuk menghindari tudingan pencaplokan lahan. Di atas kebun plasma yang berstatus tanah ulayat itu juga muncul sertifikat tanah atas nama perorangan. Dari salinan sertifikat yang diperoleh Tempo, jumlahnya mencapai sekitar 600 hektare.
Para ninik mamak beserta masyarakat melaporkan sengketa ini ke polisi tujuh bulan lalu. Masyarakat Nagari Maligi menganggap Wilmar telah menipu mereka. Kerugiannya mencapai Rp 500 miliar. Namun polisi masih tertatih-tatih menuntaskan kasus ini. ”(Kasus) ini panjang sekali,” kata Direktur Kriminal Umum Kepolisian Daerah Sumatera Barat Komisaris Besar Erdi Adrimurlan Chaniago.
TRUK beroda enam itu berjalan pelan di Dusun Toro Jaya, Pelalawan, Riau, akhir November tahun lalu. Jalan itu berada di kawasan Taman Nasional Tesso Nilo. Bak truk dipenuhi tandan segar buah sawit yang diduga berasal dari perkebunan yang berada di Taman Nasional. Tempo bersama tim Eyes on the Forest, lembaga pemerhati lingkungan, membuntuti truk itu selama sekitar setengah jam. Perjalanan truk itu berakhir di pabrik kelapa sawit PT Citra Riau Sarana II di Desa Kuantan Sako, Kecamatan Logas Tanah Darat, Kabupaten Kuantan Singingi. Pabrik ini berseberangan langsung dengan Taman Nasional Tesso Nilo.
Datuk Hulu Balang Nagari Toro Jaya, Jasbun bin Karim, mengatakan kawasan Taman Nasional Tesso Nilo dipenuhi perkebunan sawit. ”Lihat saja itu, semuanya kebun sawit,” ujarnya sambil menunjuk ke arah Taman Nasional. Ia tak menampik kabar bahwa buah sawit di Taman Nasional juga dijual ke PT Citra Riau Sarana II, perusahaan yang berafiliasi dengan Grup Wilmar. Minyak sawit mentah hasil pengolahan PT Citra Riau ini turut memasok refinery miliki Grup Wilmar di Dumai, Riau.
Membeli tandan buah sawit dari Taman Nasional adalah tindakan terlarang. Sejak awal 2017, satu per satu pabrik kelapa sawit di dalam Taman Nasional ditutup. Namun perkebunannya masih terus eksis. Johannes dari Bagian Urusan Hukum dan Perusahaan Grup Wilmar mengaku sedang menunggu keterangan resmi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sejak 2016. Mereka tak memiliki data soal siapa pekebun yang berada di Taman Nasional Tesso Nilo. ”Daftar itu akan membantu kami untuk mencoret mereka dari daftar supplier,” katanya.
Wilmar juga dicurigai berkebun di kawasan hutan lindung. Tempo menemukan berbagai konsesi yang dikuasai Wilmar beserta perusahaan yang terafiliasi dengannya diduga bertumpang-tindih dengan kawasan hutan. Ada sekitar 3.046 hektare kebun sawit Wilmar berada di hutan lindung. Wilmar juga diduga memiliki kebun sawit seluas 58 ribu hektare di hutan produksi, 3.095 hektare di hutan produksi, 21.215 hektare di hutan produksi tetap, dan 855 hektare di lahan konservasi. Kebun-kebun itu menyebar di Pulau Sumatera dan Kalimantan. ”Kami sudah mengujinya dengan peta melakukan overlapping peta izin usaha dan hak guna usaha dengan peta kawasan hutan,” ujar peneliti Yayasan Auriga, Syahrul Fitra.
Di sisi kiri adalah perkebunan plasma yang dikelola masyarakat bersama PT Permata Hijau. Luasnya mencapai seribuan hektare. Gara-gara lahan itu, seratusan penduduk Nagari--yang berarti desa--Maligi berhari-hari berdemo di kantor perwakilan Grup Wilmar yang juga kantor PT Permata di Pasaman Barat, sejak 9 Maret lalu. ”Pada 2007, kebun ini masih plasma bagi warga Maligi. Tapi perusahaan malah menyerahkan kepada kelompok tani lain,” ujar tokoh adat Nagari Maligi, Hendro Bara, 59 tahun.
Demo itu menarik perhatian pemerintah pusat. Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan memanggil pejabat di Sumatera Barat. Mereka menggelar pertemuan di kantor Bupati Pasaman Barat, Rabu pekan lalu. Masyarakat awalnya menolak pertemuan itu karena dianggap hanya menguntungkan PT Permata Hijau. ”Karena di undangannya terkait dengan konflik sosial. Padahal persoalan kami murni sengketa hukum,” kata kuasa hukum warga Nagari Maligi, Zulhendri Hasan. Pertemuan itu diakhiri dengan menelurkan berbagai rekomendasi. Salah satunya mewajibkan PT Permata Hijau mengganti kerugian jika dokumen yang dimiliki masyarakat terbukti valid.
PT Permata Hijau Pasaman adalah milik Grup Wilmar. Grup yang didirikan pengusaha kelahiran Malaysia, William Kuok Khoon, dan berkantor pusat di Singapura ini diperkirakan menguasai 656 ribu hektare kebun sawit di Indonesia. Meski memiliki lahan yang sedikit, mereka menguasai sekitar 30 persen bisnis sawit di Tanah Air lewat kepemilikan kilang, pengolahan, dan transportasi. Persentase ini mengukuhkan Wilmar sebagai salah satu raja sawit di Indonesia.
***
PT Permata Hijau terjun ke Nagari Sasak dan Maligi sejak 1992. Lewat perkebunan di Pasaman Barat itu, Wilmar mengawali kerajaan bisnis sawitnya di Tanah Air. ”(Kebun) di Pasaman Barat ini adalah sejarah Wilmar berdiri di Indonesia,” ujar Hendri Saksti, Kepala Operasi Grup Wilmar di Indonesia, awal Maret lalu.
Perkebunan plasma adalah kewajiban perusahaan berkebun bersama masyarakat. Wilmar seharusnya menyerahkan pengelolaan 2.100 hektare lahan sawit yang ada di Desa Maligi kepada masyarakat. Kesepakatan ini tertuang di surat perjanjian penyerahan lahan adat yang ditandatangani pada 1997 oleh perwakilan PT Permata Hijau dengan para ninik mamak--sebutan untuk tokoh di tiap klan masyarakat Minang--di Maligi. Dokumen yang diperoleh Tempomenyebutkan perjanjian itu mengharuskan Wilmar membantu pembangunan kebun plasma untuk warga Maligi. Pada 2010, Wilmar wajib menyerahkan pengelolaan kepada masyarakat.
Wilmar melalui PT Permata diduga mengingkari perjanjian itu. Plasma masih dikelola perusahaan. Masyarakat juga marah karena PT Permata diduga menyerahkan sebagian besar kebun plasma kepada warga Jorong Tanjung Pangkal, Nagari Persiapan Lingkung Aur, tetangga Nagari Maligi. Saat Tempo menyusuri kebun plasma PT Permata yang diributkan itu, terdapat plang yang tertulis bahwa kebun tersebut dikelola oleh Koperasi Unit Desa Tanjung Pangkal. Kebun itu diperkirakan seluas 600 hektare.
PT Permata Hijau mengklaim hanya mengelola 665 hektare kebun sawit. Padahal, berdasarkan temuan Tempo, hampir 2.100 hektare tanah ulayat Maligi yang menjadi kebun plasma itu telah tertanam pohon sawit. Di sanalah plang PT Permata Hijau Pasaman tersebar di pinggir jalan. Dari nomor patok sebagai penanda konsesi milik perusahaan, terdapat pergeseran urutan. Patok dari batu nomor 22 itu digeser bersebelahan dengan nomor 19.
Perusahaan ini diduga berupaya mempersempit luas lahan untuk menghindari tudingan pencaplokan lahan. Di atas kebun plasma yang berstatus tanah ulayat itu juga muncul sertifikat tanah atas nama perorangan. Dari salinan sertifikat yang diperoleh Tempo, jumlahnya mencapai sekitar 600 hektare.
Para ninik mamak beserta masyarakat melaporkan sengketa ini ke polisi tujuh bulan lalu. Masyarakat Nagari Maligi menganggap Wilmar telah menipu mereka. Kerugiannya mencapai Rp 500 miliar. Namun polisi masih tertatih-tatih menuntaskan kasus ini. ”(Kasus) ini panjang sekali,” kata Direktur Kriminal Umum Kepolisian Daerah Sumatera Barat Komisaris Besar Erdi Adrimurlan Chaniago.
***
TRUK beroda enam itu berjalan pelan di Dusun Toro Jaya, Pelalawan, Riau, akhir November tahun lalu. Jalan itu berada di kawasan Taman Nasional Tesso Nilo. Bak truk dipenuhi tandan segar buah sawit yang diduga berasal dari perkebunan yang berada di Taman Nasional. Tempo bersama tim Eyes on the Forest, lembaga pemerhati lingkungan, membuntuti truk itu selama sekitar setengah jam. Perjalanan truk itu berakhir di pabrik kelapa sawit PT Citra Riau Sarana II di Desa Kuantan Sako, Kecamatan Logas Tanah Darat, Kabupaten Kuantan Singingi. Pabrik ini berseberangan langsung dengan Taman Nasional Tesso Nilo.
Datuk Hulu Balang Nagari Toro Jaya, Jasbun bin Karim, mengatakan kawasan Taman Nasional Tesso Nilo dipenuhi perkebunan sawit. ”Lihat saja itu, semuanya kebun sawit,” ujarnya sambil menunjuk ke arah Taman Nasional. Ia tak menampik kabar bahwa buah sawit di Taman Nasional juga dijual ke PT Citra Riau Sarana II, perusahaan yang berafiliasi dengan Grup Wilmar. Minyak sawit mentah hasil pengolahan PT Citra Riau ini turut memasok refinery miliki Grup Wilmar di Dumai, Riau.
Membeli tandan buah sawit dari Taman Nasional adalah tindakan terlarang. Sejak awal 2017, satu per satu pabrik kelapa sawit di dalam Taman Nasional ditutup. Namun perkebunannya masih terus eksis. Johannes dari Bagian Urusan Hukum dan Perusahaan Grup Wilmar mengaku sedang menunggu keterangan resmi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sejak 2016. Mereka tak memiliki data soal siapa pekebun yang berada di Taman Nasional Tesso Nilo. ”Daftar itu akan membantu kami untuk mencoret mereka dari daftar supplier,” katanya.
Wilmar juga dicurigai berkebun di kawasan hutan lindung. Tempo menemukan berbagai konsesi yang dikuasai Wilmar beserta perusahaan yang terafiliasi dengannya diduga bertumpang-tindih dengan kawasan hutan. Ada sekitar 3.046 hektare kebun sawit Wilmar berada di hutan lindung. Wilmar juga diduga memiliki kebun sawit seluas 58 ribu hektare di hutan produksi, 3.095 hektare di hutan produksi, 21.215 hektare di hutan produksi tetap, dan 855 hektare di lahan konservasi. Kebun-kebun itu menyebar di Pulau Sumatera dan Kalimantan. ”Kami sudah mengujinya dengan peta melakukan overlapping peta izin usaha dan hak guna usaha dengan peta kawasan hutan,” ujar peneliti Yayasan Auriga, Syahrul Fitra.
Selengkapnya: https://investigasi.tempo.co/241/akr...han-raja-sawit
Bagaimana menurut agan-agan?
Diubah oleh janggutbahaman 29-04-2018 10:02
0
1.1K
Kutip
3
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan