Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

c4punk1950...Avatar border
TS
c4punk1950...
Belajarlah dari Dwarapala




Kata Dwarapala berasal dari bahasa Sanskrit, “Dwara” yang memiliki makna “pintu gerbang/gapura” dan “Gopala” yang memiliki makna “penjaga”. Dalam Bahasa Jawa, Dwarapala lebih dikenal dengan nama “Retjo Pentung” atau “GUPOLO”. Hmm, apakah nama itu cukup familiar bagi anda? Saya akan menjawab perlahan, “ya”.

Istilah Dwarapala sendiri menunjuk kepada peninggalan purbakala berupa sebuah patung penjaga pintu gerbang yang biasa terdapat pada pintu masuk sebuah bangunan candi, kuil, istana atau tempat peribadatan suci lainnya. Patung ini biasa ditempatkan secara berpasangan dan saling simetris mengapit jalan masuk menuju lokasi bangunan utama. Keberadaan Dwarapala ini memiliki filosofi yang serupa dengan Dharmapala (Pelindung Dharma), yakni sebagai penolak bala terhadap kekuatan-kekuatan jahat yang akan merusak bangunan suci tersebut.

Bahkan menurut om wiki Dwarapala adalah patung penjaga gerbang atau pintu dalam ajaran Siwa dan Buddha, berbentuk manusia atau monster. Biasanya dwarapala diletakkan di luar candi, kuil atau bangunan lain untuk melindungi tempat suci atau tempat keramat didalamnya. Dwarapala biasanya digambarkan sebagai makhluk yang menyeramkan. Bergantung pada kemakmuran suatu kuil, jumlah arca dwarapala dapat hanya sendirian, sepasang, atau berkelompok.

Dwarapala terbesar di Jawa terdapat di Singosari terbuat dari batu andesit utuh setinggi 3,7 meter. Di pulau Jawa dan Bali arca dwarapala biasanya diukir dari batu andesit, berperawakan gemuk dan digambarkan dalam posisi tubuh setengah berlutut, menggenggam senjata gada. Sedangkan dwarapala di Kamboja dan Thailand memiliki perawakan tubuh lebih langsing dengan posisi tubuh tegak lurus memegang gada di tengah tepat di antara kedua kakinya. Patung dwarapala di Thailand dibuat dari tembikar tanah liat yang dilapisi glazur pucat susu. Patung seperti ini dibuat pada masa kerajaan Sukhothai dan Ayutthaya (abad ke-14 hingga ke-15) diproduksi oleh beberapa tempat pembakaran tembikar di Thailand utara.

Bangunan suci yang kecil biasanya memiliki hanya satu arca dwarapala. Seringkali dwarapala diletakkan berpasangan di antara gerbang masuk. beberapa situs bangunan suci yang lebih besar memiliki empat, delapan, bahkan duabelas arca dwarapala yang menjaga empat penjuru mata angin sebagai Lokapala, dewa penjaga empat atau delapan penjuru mata angin.

Dalam budaya Jawa, dwarapala dijadikan figur penjaga keraton, misalnya dapat ditemukan di gerbang masuk Keraton Yogyakarta dan gerbang Kamandungan Lor Keraton Surakarta.

Adapun atribut lain yang biasa melekat pada patung ini adalah mahkota pada kepala, tali bermotif sulur/floral yang menyilang dari bahu hingga ke perut serta memakai anting dan kalung bermotif tengkorak. Tidak ditemukan adanya ketentuan dan standar yang baku mengenai bentuk dan ukuran Gupolo ini karena tiap patung memiliki ciri khas masing-masing seperti bentuk taring, kumis, dan motif pada attribut yang dikenakan. Dwarapala terbesar yang pernah ditemukan di Indonesia berada di Malang, di wilayah yang diduga merupakan bekas wilayah kerajaan Singosari.



Tidak ada kejelasan mengenai kapan dan siapakah orang yang pertama kali membuatnya karena kebanyakan dari raksasa ini tidak memiliki angka tahun pembuatan sehingga para arkeolog hanya dapat memperkirakan usia dari patung ini. Lebih lanjut, kelompok arca-arca Dwarapala yang ditemukan di dalam kompleks Candi Sewu, Jawa Tengah, mungkin dapat sedikit memberikan gambaran mengenai tahun tahun awal pembuatannya.

Arca-arca Dwarapala yang ditemukan di dalam kompleks Candi Sewu, Jawa Tengah seluruhnya berjumlah 8 buah dan terletak pada keempat penjuru pintu masuknya, dengan posisi saling berhadapan satu sama lain mengapit jalan masuk ke bangunan utama. Arca ini di letakkan di atas sebuah batu pondasi yang disusun menggunakan sistem “pasak” dan “batu pengunci” yang disebut Asana. Keempat pasang Dwarapala yang terdapat pada tiap penjuru mata angin tersebut merupakan interpretasi dari kosmologi Hindu. Dinyatakan dalam kosmologi hindu bahwa Mandala merupakan perwujudan alam semesta dengan 4 penjuru mata angin, sedangkan candi adalah replika dari mandala itu sendiri dengan Dwarapala sebagai pembimbing manusia dalam menemukan jalan menuju sang pencipta. Hal yang menjadikan Dwarapala ini spesial adalah, para arkeolog menganggapnya sebagai “yang tertua” diantara arca-arca Dwarapala lainnya yang ditemukan di lokasi berbeda di Indonesia. Dwarapala yang ditemukan di Candi Penataran di Blitar, Candi Plaosan di Kalasan, Candi Muaro Jambi di Jambi, Candi Singasari di Malang dan Candi Sukuh di Karanganyar masing masing berangka tahun (1320 M, ±900 M, ±800 M, ±1200 M, 1437 M)

Mengacu kepada temuan Prasasti Manjusrigrha (Prasasti Kelurak) di dalam kompleks Candi Sewu (berangka tahun 714 Saka/792 M), mengenai “penyempurnaan bangunan Candi Sewu pada tahun 792 M di masa pemerintahan Sri Maharaja Rakai Panabaran (784-803 M)”, maka dapat disimpulkan bahwa bangunan-bangunan yang terdapat di dalam kompleks Candi Sewu (termasuk Dwarapala) telah berdiri sebelum tahun 792 M yakni antara tahun 750 M – 792 M dan kemungkinan besar di bangun pada masa pemerintahan Sri Maharaja Rakai Panangkaran (746-784 M) yang merupakan kakak dari Rakai Panabaran.



Kutipan Prasasti Manjusrigrha

“….pada tahun 714 Saka, bulan Karttika, tanggal 14 paroterang, Jum`at Was, Pon, dang nayaka dilandalurawa menyempurnakan prasada bernama Wajrasana Manjusrigrha. Puaslah hati mereka yang ikut bergotong-royong. Setelah dang hyang dasadisa selesai diwujudkan untuk usaha mulia tersebut. Orang-orang dari segala penjuru berdatangan untuk mengagumi persembahan (bangunan) dari orang-orang yang telah meninggal dan berkorban….”

Ada fakta yang mungkin bisa kita temukan manakala mengunjungi situs-situs peninggalan purbakala dimana terdapat sosok Dwarapala. Adalah “alasan keberadaannya terhadap bangunan induk”, yang kemudian menjadikannya seperti “terabaikan”. Pamornya seolah tenggelam di balik kemegahan bangunan utama.

Marilah kita melihat lebih dalam sejenak, sebagai generasi yang mewarisi buku harian nenek moyang sekaligus sebagai generasi yang merangkum kehidupan bagi anak cucu. Ada pesan dan nilai-nilai yang belum kita sentuh di balik sosok Guardian Over Time itu. Penjaga, pelayan dan simbol kesetiaan terhadap kreatornya selama beratus-ratus tahun. Seperti seorang sahabat (*konco kenthel) dari masa lalu yang telah hidup mengarungi “Nusantara bertopeng Gadjah Mada” hingga “Nusantara bertopeng Republik”.

Anggaplah Rakai Panangkaran, Samaratungga ataupun Jayanegara sebagai seorang negarawan sekaligus ayah yang bijak pada masanya. Cukup bijak untuk sekedar meninggalkan pesan kepada anak cucunya melalui sebuah batu.

“ Ada sesuatu di belakang Dwarapala itu yang harus kalian jaga dan kalian pelihara.”

Sebagai anak bangsa kita harus menjadi dwarapala yang menjaga kedaulatan Indonesia, hilangkan ego dan rasa permusuhan karena kita ini adalah satu bangsa yang ingin hidup dalam kemakmuran.






Referensi

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Dwarapala

https://yoedana.wordpress.com/2011/07/09/dwarapala-konco-kenthel-dalam-naungan-zaman/

https://www.jawapos.com/radarkediri/read/2017/09/28/16237/dwarapala-sudah-tergali-utuh
Diubah oleh c4punk1950... 28-09-2017 20:01
0
31.3K
125
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan