Konflik Terjadi Lagi, Inilah 10 Potret Derita Pengungsi Rohingya Berjuang dari Maut!
TS
yukepodotcom
Konflik Terjadi Lagi, Inilah 10 Potret Derita Pengungsi Rohingya Berjuang dari Maut!
WELCOME TO YUKEPO OFFICIAL THREAD
Kekerasan yang dilakukan militer Myanmar kepada etnis Rohingya di wilayah Rakhine kembali memaksa mereka untuk kabur mencari tempat yang lebih aman. Tahun 2012, konflik antara etnis Rohingya yang merupakan muslim di Myanmar dengan masyarakat yang mayoritas beragama Budha terjadi akibat peristiwa perampokan dan pemerkosaan seorang perempuan Budha. Beberapa hari setelahnya, sepuluh warga muslim yang juga etnis Rohingya dibunuh dalam sebuah bus sebagai aksi balas dendam. Keadaan carut-marut mengikuti peristiwa tersebut dan berdampak negatif terhadap orang-orang Rohingya yang notabene-nya merupakan penduduk minoritas dari segi agama di Myanmar. Meskipun sempat mereda, namun konflik kembali memanas ketika pada Oktober tahun 2016 lalu militer Myanmar melancarkan serangan yang menewaskan 89 orang, 77 di antaranya berasal dari etnis Rohingya dan sisanya dari pihak militer. Kerusuhan pun kembali terjadi dan ribuan orang memilih untuk mengungsi atau setidaknya melarikan diri. Berikut potret derita pengungsi Rohingya yang hingga kini masih belum jelas nasibnya.
Spoiler for Sejak konflik terjadi pada tahun 2012, jutaan etnis Rohingya terancam tidak memiliki kewarganegaraan:
Jika mereka pergi dari Myanmar, maka pemerintah akan menganggap mereka telah melakukan pelanggaran imigrasi dan ketika kembali akan diberi sanksi. Jika mereka tidak kembali, belum tentu mereka akan mendapat suaka dari negara yang dijadikan target tempat mengungsi, misalnya Malaysia dan Bangladesh.
Spoiler for Meski telah berhasil melarikan diri dari Myanmar, kehidupan pengungsi di tempat yang baru belum tentu lebih baik:
Orang-orang Rohingya sejak 2012 hingga hari ini jumlahnya terus bertambah sebagai pengungsi di negara lain. Negara tujuan mereka di antaranya Malaysia dan Bangladesh. Pejabat berwenang di kedua negara tak jarang membiarkan mereka berada di daerah perbatasan dan melarang mereka untuk memasuki wilayah negaranya sehingga nasib pengungsi Rohingya semakin suram. Tak jarang, pengungsi yang datang menggunakan perahu didorong kembali ke laut oleh penjaga wilayah perbatasan.
Spoiler for Jangankan sekolah, anak-anak ini makan pun tak dapat:
Di Myanmar, Rohingya tidak diakui sehingga tidak mendapat hak sebagai warga negara pada umumnya. Di pengungsian, mereka tidak diakui keberadaannya oleh pemerintah setempat. Jangankan bersekolah, untuk makan saja mereka tidak memiliki akses. Padahal, dari Myanmar ke tempat pengungsian adalah perjalanan panjang yang sudah pasti melelahkan dan menghabiskan energi yang mereka miliki.
Spoiler for Di Bangladesh, mereka hidup di kamp-kamp pengungsian yang tidak resmi:
Hingga hari ini, diperkirakan lebih dari 500.000 pengungsi Rohingya telah tinggal di Bangladesh. Baik yang memiliki identitas maupun tidak, mereka tinggal di kamp-kamp pengungsian yang tidak memiliki izin resmi. Pemerintah Bangladesh sempat berencana untuk memindahkan para pengungsi ke sebuah pulau yang tak berpenghuni bernama Hatiya. Namun, rencana ini dikecam oleh PBB karena pulau tersebut tidak layak huni, rawan tenggelam saat air laut pasang, dan merupakan surga bagi para bajak laut.
Spoiler for Sejarah panjang etnis Rohingya dan muslim di Myanmar tak mampu selamatkan mereka dari kekejaman sesamanya:
Sejak Oktober 2016 saja sudah sekitar 75.000 orang yang tiba di Bangladesh untuk mengungsi. Nyatanya, ini bukan pertama kalinya muslim Rohingya terusir dan terancam dibinasakan di tanahnya sendiri oleh sesamanya atas dasar sentimen agama. Sejarah menunjukkan penguasa Islam dan Budha di Myanmar pernah berkuasa sendiri-sendiri dengan Pegunungan Rakhine sebagai pembatas wilayah. Namun, kekuasaan memang membutakan hingga akhirnya terjadi perebutan wilayah dan Myanmar dikuasai oleh raja yang memeluk Budha. Pada tahun 1942, 1968, dan 1992, muslim Rohingya pernah dibantai. Kini, mereka harus berhadapan dengan horor itu lagi.
Spoiler for Selain Malaysia dan Bangladesh, India juga menjadi negara tujuan pengungsi Rohingya:
Mereka mendirikan pondokan-pondokan sementara di seberang Kota Jammu, Kashmir, India. Pemerintah setempat meminta mereka untuk membayar $9 per bulan untuk tiap pondok. Anak-anak mengumpulkan barang apa saja untuk dijual, ada juga yang bekerja memecah walnut hingga 12 jam per hari. Pengungsi di sini dapat mengajukan diri kepada UNHCR agar mendapat kartu pengungsi. Namun, prosesnya memakan waktu yang cukup lama. Sementara itu, masalah kesehatan termasuk sanitasi yang buruk di tempat ini mulai menjadi momok bagi pemerintah India.
Spoiler for Perempuan dan anak-anak terlantar:
Menjadi pengungsi di tanah yang asing tentu bukan pilihan hidup siapa pun. Tapi, jika keadaan memaksa, apa lagi yang bisa dilakukan? Ancaman yang dihadapi muslim Rohingya di Myanmar bukan hanya pengusiran, tetapi juga pembunuhan dan pemerkosaan, terutama terhadap wanita dan anak-anak. Pemerintah Myanmar hingga saat ini masih bersikeras bahwa mereka tidak sedang melakukan pembersihan etnis atau genosida, namun fakta berbicara sebaliknya. Aung San Su Kyi sebagai tokoh yang pernah diharapkan dapat membawa perdamaian di Myanmar pun bergeming. Ia mengatakan akan menyambut kembali pengungsi jika pulang ke Myanmar, namun tidak ada kepastian soal pemberian status kewarganegaraan.
Spoiler for Bagai makan buah simalakama: pulang mati, tak pulang sekarat:
Itulah gambaran singkat yang dapat mewakili kehidupan para pengungsi Rohingya, baik di Bangladesh maupun India atau di mana saja. Keadaan mereka menjadi begitu sulit karena mereka tidak memiliki status kewarganegaraan dari mana pun, termasuk Myanmar. Padahal, identitas diri amat penting karena dapat menentukan nasib mereka di tanah yang baru. Maka, setiap hari jadi pertaruhan antara bertahan untuk mengungsi atau pulang, serta penantian tanpa pangkal dan ujung tentang kapan makanan akan datang lagi.
Spoiler for Makan seadanya dan tidur di mana saja sudah jadi biasa:
Ketiadaan bahan makanan dan tempat tinggal yang tidak layak adalah masalah mendasar yang dihadapi oleh pengungsi sehari-hari. Bagaimana lagi, dari Myanmar mereka kabur tanpa membawa apa-apa dan apa yang dapat diharapkan dari negara yang menampung mereka saja enggan?
Spoiler for Anak-anak kecil ini dulunya harapan terbesar orang tua mereka:
Kini, apa yang bisa mereka lakukan di pengungsian? Anak-anak adalah golongan yang paling terancam oleh keadaan konflik semacam ini. Di tempat yang baru, mereka mau tidak mau harus ikut mencari penghasilan demi menopang hidup sekeluarga. Padahal, tidak ada pekerjaan yang layak untuk anak-anak. Selanjutnya, mereka akan diberi upah yang tidak sesuai dengan jerih payahnya karena selain mereka belum layak bekerja, mereka juga tidak memiliki kewarganegaraan sehingga haknya tidak diatur dalam hukum negara mana pun, termasuk hukum internasional.
Dunia jadi semakin keras saja manusianya. Apa yang diharapkan dari memusnahkan sesama? Bukankah lebih baik jika semua hidup berdampingan dengan damai? Salah satu penyebab hancurnya suatu negara adalah ketidakmampuan membangun integrasi dari kaum minoritas dan mayoritas. Bukankah setiap manusia punya hak yang sama di atas bumi ini, terlepas dari apa agama dan sukunya? Apakah kita masih merasa menjadi makhluk yang paling pintar dan sempurna jika apa yang kita lakukan hanya menyebabkan kebinasaan atas sesamanya?