cemanieAvatar border
TS
cemanie
Kesenian Pencak Macan Terancam Lapuk oleh Zaman
Kesenian Pencak Macan Terancam Lapuk oleh Zaman

GRESIK, Gresikgres.com – Kesenian Pencak Macan Terancam Lapuk oleh Zaman. Kabupaten Gresik, dalam buku pedoman Metropolitan Surabaya diceritakan bahwa sejarahnya dahulu orang Portugis menyebutkan Gresik adalah Kota Agazi. Sedangkan orang Belanda menyebutnya sebagai Grissee yang kemudian disebutkan orang Jawa sebagai Gresik. Konon nama Gresik diambil dari kondisi alamnya.

Gresik kemungkinan berkembang dari kata giri (yang dalam bahasa Jawa berarti bukit) dan gisik (pantai). Giri gisik yang menunjukkan kata bukit dan pantai memang sesuai dengan kondisi alam daerah ini. Tetapi apapun namanya, gresik pada awal abad ke XII sudah merupakan suatu kota pelabuhan atau dagang dimana para pedagang Arab, parsi, cina, dan daerah lndonesia lainnya berbaur menjadi satu.

Selain berdagang, para pedagang tersebut juga menyebarkan ajaran agama Islam, seiring dengan waktu, ajaran lslam telah mendarah daging bagi penduduk Gresik dengan kata lain mayoritas penduduknya beragama Islam.

Gresik juga tidak hanya dikenal sebagai lokasi makam Sunan Giri dan Malik Ibrahim. Nmaun, kota berpenduduk 1,2 juta jiwa tersebut juga dikenal berbagai produk local yang menjadi unggulan sebagai produk nasional, dintaranya pudak dan bandeng. Seni budaya lokal bernuansa Islami bermunculan.

Seni tradisional pencak macan salah satunya. Pencak macan adalah salah satu kesenian pengiring arak-arakan pengantin masyarakat Kelurahan Lumpur dan Kroman, Kecamatan Gresik. Tradisi ini merupakan budaya warisan leluhur yang berusia ratusan tahun.

“Pertama kali dikenalkan dan dilestarikan Mbah Sindujoyo,” ujar Hendrik Umardiluhung, seniman Gresik.

Tradisi pencak macan merupakan tradisi ngarak (mengirin) pengantin yang mulai dari rumah pengantin laki-laki. Dimana setelah pengantin laki-laki dirias dan keluar rumah disambut penabuh hadrah dengan bacaan Sholawat Nabi Muhammad SAW. Kemudian pengantin berangkat dengan diiringi arak-arakan berupa beberapa kesenian tradisional yang dipentaskan di perempatan. Diantaranya Seni Hadrah dengan lantunan Sholawat Tola’an Badrun dan tabuan pencak.

Pada dasarnya tradisi pencak macan secara filosofisnya mempunyai arti sebagai pengingat tentang lika-liku serta konflik perjalanan yang akan dihadapi pasangan pengantin sebagai suami istri dalam menjalani bahterah rumah tangga.

Setidaknya hal itu tergambar dalam peran fisik macan, gendoruwo, monyet dan seorang ulama. Sebagai penghias filosofinya diikutkan pembawa ketopang, paying, pontang lima, pembaca sholawat serta pembawa karbit atau obor.

Simbol yang diperankan dalam karakter Macan, merupakan lambing seorang laki-laki yang perkasa yang mempunyai sifat keras seperti macan. Namun, memiliki sikap dan rasa tanggungjawab yang tinggi. Monyet sendiri menggambarkan, seorang perempuan yang lincah, walaupun cerewet, bawel dan suka aneh-aneh. Namun, iya mempunyai sikap yang rajin dalam mengurus rumah tangga.

Sedangkan gendoruwo melambangkan sebuah sifat haus dan nafsu (setan, red) yang artinya dalam perjalanan mengarungi bahtera rumah tangga tidak luput dari perselisihan atau konflik. Hal itu dipicu hawa nafsu akibat godaan setan.

“Seni ini menjadi tradisi arak-arakan pengantin tradisional masyarakat pesisir Lumpur dan Kroman,” kata Kris Adji AW, pemerhati budaya Gresik yang juga seniman lukis tersebut.

Bukan hanya pencak yang mengandung filosofi hidup bagi pengantin baru. Namun, aksersoris lainnya juga mengandung nilai dan falsafah keagamaan yang cukup tinggi serta gambaran sejarah. Ketopang delapan lonjor dan payung satu, dimana ketopang terbuat dari sapu lidi yang berjumlah 33 dihias kertas merah putih yang ditancapkan ke buah papaya dan ditaruh di atas bambu serta dibawa delapan orang. Ketika banyak penonton salah satunya harus diperebutkan penonton.

Pontang lima yang dibawa lima putri berparas ayu menggambarkan rukun Islam. Pontang lima yang terbuat dari daun pisang dihiasi janur yang berisi makanan ketan warna-warni yang tengahnya ada contong daun pisang dan diujungnya da kapas. Hal itu melambang aneka aliran dan golongan dalam Islam. Nmaun, tetap menjadi satu tujuan Allah Maha Suci.

Hadrah dan Sholawat Nabi Muhammad SAW merupakan syair pujian kepada Allah dan Rosulnya bertujuan pengingat supaya tetap punya keyakinan dan keimanan. Posis hadrah yang di depan pengantin lambangkan agama sebagai benteng dan tameng dalam hidup berumah tangga. Lampu karbit atau obor bermakna agar kedua mempelai atau pengantin ikut menerangi bumi dengan menyiarkan Islam.

Nah, kekuatan dan dalammnya arti filosofis simbol dalam tradisi pencak macan tersebut cukup disayangkan hilang tanpa jejak. Jangan disayangkan tradisi lokal tersebut musnah. Apalagi, dalam tradisi pencak macan dalam setiap gerakannya dibarengi dengan bunyian mocopat, yang kemudian dikenal dengan Mocopat Sindujoyo.

“Kami sangat menyayangkan kalau ini sampai musnah. Bila hal itu dibiarkan, pencak macam akan lapuk dimakan zaman,” ujar Anharul Machfud, pemuda pelopor Gresik asal Keluarahn Lumpur.

Kebeardaan pencak sendiri saat ini ibaratnya hidup tak mau mati enggan. Keberadaannya hanya beberapa keturunan Lumpur dan Kroman yang menggunakan jasa di acara pengantin. Bila itu tidak ada, maka dengan sendirinya lenyap dan terkikis oleh era digital modern. Apalagi, pemerintah sendiri kurang memperhatikan.

“Kami merasakan pemerintah memang lepas tangan. Ini kan sangat disayangkan,” aku Kris Adji AW.
Quote:
0
1K
2
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan