Beberapa hari ini kita sering dihebohkan di sosial media atau pemberitaan baik media cetak atau elektronik tentang pihak – pihak yang mendengungkan propaganda kriminalisasi ulama dimana pihak – pihak itu tak jauh – jauh dari pendukung atau tokoh dibalik 212 cinematic universe. Di facebook misalnya melalui fanpage HRS banyak postingan propaganda berisi tulisan dan gambar poster akan kriminalisasi ulama dan sejenisnya. Apalagi ketika HRS yang statusnya ulama suci dan terkemuka, cinta damai serta taat pada hukum sedang berada di Arab Saudi karena menghindar dari panggilan polisi karena soal chat sexnya.
Propaganda kriminalisasi ulama selalu didengungkan tentu ada alasannya. Pihak – pihak radikal paling jago soal propaganda memancing emosi negatif seperti ini. Orang – orang yang tidak bisa berpikir kritis, rasional dan bijak akan mudah kemakan propaganda seperti ini. Untuk mari mengupas berbagai unsur dan maksud pesan propaganda yang ada di dalamnya.
Spoiler for 1. Jurus Play Victim:
Yang pertama unsur play victim. Play victim di sini adalah pihak yang berpura – pura menjadi korban atau pihak yang merasa seolah menjadi korban yang selalu dihajar darimana saja, selalu dizalimi pemerintah zalim kalau menurut kelompok pro 212.
Lalu kenapa mereka sering mendengungkan ini?
Ulama – ulama yang katanya mereka kelompok pro 212 selalu di zalimi pemerintah karena seolah dikriminalisasi atau dituduh melakukan kejahatan, dan ditangkap namun itu semua hanya bohong belaka, dipaksakan dan tanpa bukti yang kuat. Padahal pihak keamanan polisi mempunyai data yang kuat sebelum menangkap mereka yang diduga melakukan perbuatan jahat. Karena jaman sekarang bukanlah seperti jaman Suharto yang langsung main tangkap tanpa bukti kuat, yang bisa langsung lenyap dari muka bumi.
Pihak – pihak yang bermain dengan propaganda kriminalisasi ulama ingin memposisikan bahwa ulama yang menjadi target seperti HRS misalnya diasosiakan sosok suci tak berdosa yang seolah jadi incaran penguasa zalim yang menggunakan cara kasar dalam menangkapnya. Yang artinya mereka menempatkan ulama yang dituduh sebagai orang diincar polisi karena perbuatan salahnya menjadi sosok yang sulit ditangkap karena status ulamanya yang diposisikan dalam status sosial di posisi tertinggi karena unsur relijius, suci, ahli agama dan sejenisnya padahal manusia itu semua setara. Seolah ulama itu bersih dan tidak mungkin melakukan hal buruk atau kesalahan, padahal mereka juga manusia, manusia tak luput dari kesalahan. Yang jadi masalah bukan mungkin tak mungkin, semua itu mungkin yang jadi masalah ialah fakta atau tidak. Kalau ada kasus kejahatan disertai bukti yang kuat dibelakangnya tentu masalah itu bukan main – main, apalagi sambil ditinggal pergi ke sebuah tempat.
Kita tahu banyak penjahat dari bebagai kalangan entah artis, politis hingga pemuka agama pernah ditangkap polisi dan mengikuti prosedur yang ada, kalau terbukti salah mereka akan kena sangsi penjara kalaupun tidak mereka tentu akan bebas, tapi jika dipanggil aja mangkir dengan alasan ngaco seperti politik balas dendam, dicari – cari keasalahannya tentu akan membuat beragam opini negatif yang hadir di masyarakat kecuali dia secara jantan hadir.
Selain status sosial yang kebal akan hukum ada pesan lain yang disampaikan yaitu ketika mereka play victim atau berpura – pura sebagai korban yang dizalimi, disitulah akan memancing emosi sebagian orang yang sulit berpikir kritis dan jernih atas nama agama yang sebagian besar mungkin pemikirannya sebelas dua belas dengan ulama yang dituduh dikriminalisasi itu dan mencari simpati untuk mendukung ulama yang dituduh dikriminalisasi itu. Ketika banyak orang yang mulai bersimpati dan amarahnya bangkit karena ulama idolanya dikriminalisasi maka ini menjadi pesan sendiri bagi pihak keamanan seperti polisi untuk semakin hati – hati dan was – was dalam menangkap ulama yang diduga melakukan aksi kejahatan tertentu seperti hate speech, makar dan lain – lain. Di Indonesia tentu kebebasan berpendapat dijamin dalam undang – undang namun tidak dengan hate speech atau ujaran kebencian dan juga makar. Ada beberapa orang yang menganggap seolah hate speech dan makar sebagian dari bentuk kebebasan berpendapat, padahal itu salah, sudah jelas salah. Demokrasi itu bebas tapi bebas itu juga ada aturan, kalau gak mau ikut aturan mending tinggal di segitiga bermuda atau dihutan saja.
Poin penting disini polisi mendapat pesan ancaman halus seolah jika ada penangkapan ulama yang melakukan hate speech, makar atau kejahatan lainnya seolah akan mendapat perlawanan dari umat yang membelanya, seolah menjadi chaos atau kacau. Padahal nantinya sumber kekacauan atau chaos itu ditimbulkan oleh umat yang membela mati – matian ulamanya yang terjerat kasus hukum tersebut karena ulahnya yang tidak bisa bersikap dewasa, bijak dan mudah sekali marah hingga melakukan aksi vandalisme. Dalam hal ini polisi perlu diapresiasi karena tidak membeda – bedakan dalam menangkap seorang yang terjerat kasus hukum walau ulama sekalipun.
Spoiler for 2. Jurus Menggeneralisir:
Tadi yang pertama, lalu sekarang yang kedua, yaitu unsur menggeneralisir.
Kenapa menggeneralisir?
Pesan propaganda kriminalisasi ulama juga seolah menggambarkan bahwa banyak ulama atau mungkin semua ulama seolah disudutkan polisi dan menjadi incaran padahal kita tahu sendiri yang menjadi incaran ya jelas tidak semuanya. Ulama yang taat hukum, tidak cari gara – gara, tidak melakukan hate speech tidak menjadi incaran. Ulama yang menyerukan perdamaian, mereka aman – aman saja. Gus Mus, Quraish Shihab, Cak Nun dan mungkin ulama cinta damai lainnya mereka tidak jadi incaran polisi. Sedangkan mereka yang menyalahi aturan tentu mendapatkan ganjaran sesuai aturan seperti HRS Al Khanthath Bachtiar Nasir dan Munarman. Tujuan dari propaganda ini juga sama dengan sebelumnya yaitu membangkitkan emosi negatif dari sebagian orang yang sulit berpikir kritis, rasional dan bijak atas nama agama. Mereka akan marah karena seolah polisi melakukan tindakan yang merugikan banyak ulama idola mereka seperti adanya penangkapan atau pengincaran. Mereka tidak suka pemerintah menindas semua ulama atau banyak ulama padahal yang diincar tentu tidak semuanya, hanya ulama yang terbukti menyalahi aturan saja.
Jaman sekarang orang mudah tertipu oleh sosok serigala berbulu domba atau iblis bertampang rupawan karena hal tersebut membuat mereka terperosok kedalam hal buruk yang tidak mereka inginkan dan merugikan orang banyak, misalnya saja kasus kriminal dari orang yang ngakunya bisa menggandakan uang namun nyatanya hanya penipuan belaka, orang tergiur oleh sosok penolong yang dianggap dapat memberi pertolongan duit dengan cara mudah atau jalan pintas. Untuk itu ada baiknya kita menjaga diri dari sosok – sosok siapapun itu yang selalu melakukan ujaran kebencian dan selalu menginginkan adanya kekacauan di muka bumi ini agar perdamaian tetap terjaga dan tidak satupun menjadi dirugikan.
Sekian yang bisa dituliskan kali, maaf jika ada kekurangan