Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

BeritagarIDAvatar border
TS
MOD
BeritagarID
Menggapai keadilan bukan perkara mudah

Memutuskan seseorang bersalah bukan perkara mudah, butuh proses yang panjang dan detail.
Jaksa penuntut umum (JPU) akhirnya membacakan tuntutan terhadap Jessica Kumala Wongso. Jessica (28), terdakwa kasus pembunuhan berencana terhadap Wayan Mirna Salihin, akhirnya dituntut 20 tahun penjara. Tuntutan yang bagi sebagian orang terlalu ringan, tapi bagi sebagian lainnya justru meragukan.

Tuntutan yang dibacakan pada persidangan ke-27 di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, pada Rabu (5/10/2016) itu, menurut jaksa dilandasi oleh lima hal. Di antaranya, jaksa menilai tewasnya Mirna meninggalkan kesedihan mendalam bagi keluarga. Lalu, perbuatan terdakwa dianggap sangat keji karena dilakukan kepada sahabatnya sendiri.

Jessica yang dituntut berdasarkan Pasal 340 KUHP tentang Pembunuhan Berencana, dinilai juga merencanakan pembunuhan secara matang menggunakan racun untuk menewaskan Mirna. Racun sianida yang dituduhkan telah digunakan Jessica, juga dianggap pilihan sadis karena menyiksa korbannya.

Otto Hasibuan, ketua tim pengacara Jessica Kumala Wongso, meyakini kliennya akan bebas. Ia yakin, berdasarkan bukti-bukti dan keterangan dalam 26 persidangan sebelumnya, Mirna bukan meninggal karena racun sianida.

Mirna tewas tak lama setelah minum es kopi Vietnam di Kafe Olivier, Grand Indonesia, pada 6 Januari 2016. Ketika itu, ia bersama Jessica dan Hani. Hasil pemeriksaan laboratorium forensik menunjukkan, kopi yang diminum Mirna mengandung racun sianida. Polisi menetapkan Jessica sebagai tersangka Jumat (29/1) malam, dan menangkap dia keesokan paginya, Sabtu (30/1).

Berkasnya baru dinyatakan lengkap atau P21 oleh Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, pada Kamis (26/5). Dari 37 item barang bukti dalam berkas perkara itu, salah satu yang dianggap penting adalah rekaman CCTV (Circuit Closed Television) di Kafe Olivier, Mal Grand Indonesia, Jakarta Pusat.

Berkas perkara Jessica sempat mondar-mandir dari penyidik ke kejaksaan, lantaran belum terpenuhinya alat bukti. Akhirnya, setelah 118 hari ditahan, penyidik Subdit Jatanras Ditreskrimum Polda Metro Jaya, melimpahkan berkas perkara Jessica pada Jumat (27/5). Nyaris dua hari sebelum ia dibebaskan karena berkasnya tak kunjung beres.

Tidak bisa dimungkiri, kasus ini jadi perhatian luas masyarakat Indonesia karena peliputan media yang masif. Televisi pun tak jarang menayangkan sidang-sidang kasus Jessica secara langsung. Dari tayangan-tayangan itu, masyarakat bisa mengetahui proses persidangan yang tengah berjalan. Maka tak heran pula, bila masyarakat pun ikut beropini.

Tak lama setelah tuntutan 20 tahun dibacakan, misalnya, jagat internet bereaksi. Lewat media sosial Twitter, tanda pagar (tagar) #VonisJessicaSeumurHidup yang bertengger di puncak topik tren. Tampaknya ada yang tak puas dengan tuntutan jaksa, karena pasal yang diberlakukan pada Jessica tuntutan maksimalnya adalah hukuman mati.

Urusan siapa yang salah dan tidak bersalah--dan seberapa berat hukumannya--dalam proses peradilan, tentu bukan urusan publik. Itu urusan lembaga peradilan, dalam hal ini majelis hakim yang menyidangkan perkara tersebut. Namun proses persidangan yang terang-benderang karena diliput media, membuat opini publik bermunculan.

Hal yang menarik, soal status alat bukti berupa rekaman CCTV. Selama persidangan, rekaman ini berulang kali ditayangkan, dan publik pun bisa ikut menyaksikan. Rekaman yang dianggap penting itu, rupanya diragukan status hukumnya karena putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang muncul di tengah masa persidangan.

Putusan MK itu, berdasarkan uji materi yang diajukan Setya Novanto. Putusan MK pada 7 September 2016, intinya menyatakan bahwa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang disebut dalam UU No. 20/2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Dengan kondisi, frasa "Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik" tidak dimaknai sebagai alat bukti dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Meski frasa dimaksud terbatas pada pasal tertentu dalam UU tentang pemberantasan korupsi, aturan ini dinilai bisa berlaku pada kasus Jessica. Pendapat tersebut disampaikan pengacara Hotman Paris. Dia mengatakan, rekaman baru dikatakan sah sebagai alat bukti bila ada permintaan dari penegak hukum.

Sementara, CCTV di Kafe Olivier yang menjadi tempat kejadian perkara, dibuat bukan atas permintaan penyidik. Pengacara Jessica, Otto Hasibuan, pun menyatakan CCTV tersebut tidak sah sebagai alat bukti. Kesaksian ahli psikolog, ahli racun, atau ahli digital atas isi CCTV, juga dianggap tidak sah.

Apapun itu, jaksa telah mengajukan tuntutan 20 tahun penjara. Tuntutan yang menurut jaksa berdasarkan "pembuktian yang mantap". Merekapun menganggap 20 tahun adalah hukuman yang pantas. Jaksa juga menyatakan hukuman ini sudah maksimal, lantaran ancaman 20 tahun penjara itu tanpa ada hal yang meringankan.

Sebaliknya, pihak pengacara menilai, jaksa ragu-ragu dan belum mampu membuktikan kematian Mirna disebabkan sianida. Otto mempertanyakan materi tuntutan jaksa yang menyebut Jessica menabur racun sianida sebanyak lima gram. Padahal, menurutnya, tak ada satu saksi pun yang menyebut menemukan sianida lima gram.

Setelah mendengarkan tuntutan jaksa, sidang akan dilanjutkan dengan pembacaan pleidoi, replik dan duplik pada pertengahan Oktober. Putusan hakim mungkin baru bisa dibacakan pada akhir bulan ini. Nasib Jessica, sepenuhnya ada di tangan majelis hakim, apakah meyakini dakwaan terhadapnya terbukti, tidak terbukti, atau justru meragukan.

Bila meragukan, dalam hukum berlaku asas in dubio pro reo. Secara bebas, istilah dalam bahasa Latin itu bisa diterjemahkan "Bila ragu, berpihaklah kepada terdakwa". Maknanya kurang lebih, terdakwa jangan sampai divonis bersalah bila masih ada keraguan atas kesalahan yang ditimpakan kepadanya.

Proses persidangan kasus ini bisa memberi pelajaran, untuk menentukan seseorang bersalah atau tidak harus melalui proses panjang dan detail. Proses yang rumit itu, harus dijalani dengan berbagai konsekuensi. Salah satunya kemampuan untuk membela diri. Memiliki tim pengacara yang cakap, tentu butuh biaya yang tak sedikit.

Bagaimana bila kasus yang rumit seperti ini menimpa seseorang yang tak mampu membekali dirinya dengan tim pengacara yang andal? Perlu dicatat, tersangka atau terdakwa, siapapun dia, berhak mendapatkan bantuan hukum dalam proses penyelesaian perkara pidana.

Peran pemerintah sangat krusial untuk meningkatkan kualitas lembaga bantuan hukum dan sejenisnya. Jangan sampai ada orang yang tidak bersalah masuk penjara, karena tidak mampu membela dirinya.



Sumber : https://beritagar.id/artikel/editori...-perkara-mudah

---

Baca juga dari kategori EDITORIAL :

- Jessica digoda atau tergoda oleh trik penyidikan?

- Digeledah, rumah Dimas Kanjeng hanya ada duit Rp4,6 juta

- Pernyataan Ahok soal surat Al Maidah memicu debat netizen

anasabila
anasabila memberi reputasi
1
3.9K
8
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan