Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

metrotvnews.comAvatar border
TS
MOD
metrotvnews.com
Kampung tanpa Matahari di Tengah Ibu Kota


Metrotvnews.com, Jakarta: Terik matahari Ibu Kota nyaris tidak mampir ke Gang Venus. "Saya di sini tidak tahu malam, tidak tahu siang. Terasa sama saja. Kalau di luar hujan besar, di sini terasanya kecil," kata Kesih, 52, warga yang sudah delapan tahun tinggal di Gang Venus, Kelurahan Jembatan Besi, Tambora, Jakarta Barat.

 

Lorong-lorong yang menjadi akses jalan warga selalu berada dalam kondisi gelap. Sumber penerangan hanya berasal dari lampu-lampu di rumah warga yang tidak pernah berhenti menyala selama 24 jam.




Aktivitas warga di Gang Venus. Foto: MI/Ramdani

 

Hanya di beberapa celah, cahaya matahari bisa mengintip dan memberi sinyal bahwa petang belum tiba. Gelap yang tak pernah sirna itu disebabkan tertutupnya ruang atas oleh bangunan warga yang bertingkat.

 

Padahal, lorong yang menjadi akses bagi warga hanya memiliki lebar sekitar satu meter, bahkan kurang. Namun, jalan setapak itu pun masih harus berbagi ruang dengan berbagai aktivitas warga lainnya, mulai yang duduk-duduk sambil sekadar mengobrol, mencuci piring, hingga memasak.

 

"Saya betah-betah saja, soalnya saya cari makan di sini," kata Komariah yang bekerja sebagai pekerja konveksi.

 

Kamar Kontrakan

 

Sebagian rumah yang dipaksakan dibangun dua lantai menjadi penyumbang terbesar kegelapan di kampung tersebut. Dadang, misalnya, memilih membangun rumahnya menjadi dua tingkat demi menambah penghasilan.

 

Dadang mendirikan enam kamar kontrakan dengan luas sekitar 2 x 2 meter. Tarif sewa per bulannya berkisar Rp200 ribu hingga Rp300 ribu. Tijo menjadi salah satu pengontrak kamar di Gang Venus.


Dengan penghasilannya yang kurang dari Rp3 juta per bulan, Tijo merasa cukup mengontrak di tempat itu meski nyaris tidak bisa beristirahat karena tidak pernah mendapatkan ketenangan.

 

"Kamar kontrakan saya kan batas-batasnya tripleks. Kadang suami istri berantem kedengaran, anak bayi nangis kedengaran. Ada yang nyetel musik kenceng juga mengganggu. Tetapi mau bagaimana lagi," tuturnya.


Tidak ada toilet di kontrakan Tijo. Hanya ada satu kamar mandi yang digunakan bersama-sama dengan penghuni kontrakan lain. Untuk buang air, Tijo harus pergi ke toilet umum dan membayar Rp1.500 dan untuk mandi Rp2.000.

 

Dalam sehari, Tijo bisa pergi ke toilet umum dua kali untuk buang air. "Terasa juga sih lama-lama keluar uangnya. Tetapi mau gimana lagi, daripada enggak bisa buang air."

 

Kampung Rawa




Usai tawuran antarwarga di Kampung Rawa. Antara Foto/Sigid Kurniawan

 

Kondisi serupa juga terjadi di kawasan Kampung Rawa, Kecamatan Johar Baru, Jakarta Pusat. Satu kelurahan dengan luas wilayah 30,11 hektare itu dihuni 26.225 penduduk atau rata-rata 874 orang bermukim di setiap hektarenya.

 

Dengan kondisi tersebut, konflik sangat rentan terjadi di Kampung Rawa. Sekretaris Lurah Kampung Rawa, Sri Budiarti, mengatakan tawuran menjadi permasalahan sosial utama di daerah tersebut. Penyebabnya mulai masalah serius sampai hal-hal sepele.

 

Budiarti menuturkan pihaknya sudah melakukan segala upaya untuk meminimalkan konflik antarwarga, misalnya dengan menghidupkan organisasi kepemudaan yang berlandaskan agama, juga karang taruna.

 

Tak hanya itu, untuk mempererat ikatan antarwarga, seluruh jajaran kelurahan, RW, hingga RT rutin melakukan kerja bakti setiap Jumat dan akhir pekan.

 

"Kami rutin terus bersosialisasi lewat kerja bakti supaya antarwarga itu terus saling mengenal dan memahami satu sama lain," kata Budiarti.

 

Melihat kondisi tersebut, sosiolog Sigit Pranawa mengatakan, di suatu kawasan dengan jumlah penduduk yang sangat padat dan memiliki perbedaan nilai, rentan terjadi konflik.

 

Jika tidak dicari solusinya, yang terjadi ialah terbentuknya kelompok-kelompok yang rentan perbedaan. "Nanti orang asli akan merasa terdesak. Kemudian pendatang merasa tidak harus taat dengan norma yang ada," tuturnya.

 

Ketika norma penduduk asli semakin renggang, akhirnya terjadi perubahan sosial di masyarakat. Bahkan, bisa dimanfaatkan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan tindakan kriminal seperti berdagang narkoba dan berjudi.

 

"Solusi untuk bisa mencegah konflik di permukiman padat tidak harus dengan menata ulang tempat tinggal, tetapi bisa dengan dialog. Kemudian jika harus berhadapan dengan gempuran budaya baru, pemimpinnya harus memberi contoh bagaimana menyaringnya," kata Sigit.


Nongkrong pun Harus Diwaspadai

 

Permukiman yang padat penduduk membuat tindak kriminal rentan terjadi. Apalagi, sebagian besar penduduk ternyata memiliki latar belakang pendidikan rendah.

 

Di Kelurahan Jembatan Besi, Tambora, Jakarta Barat, misalnya. Dari bermain bola atau sekadar nongkrong bisa memantik keributan yang membesar menjadi tawuran.

 

Ketua RT 01 RW 04 Kelurahan Jembatan Besi, Dadang, mengatakan para pemuda di perkampungan itu tidak lagi diizinkan nongkrong dan bermain bola oleh kepolisian sektor setempat.

 

"Sama polsek suka disita bolanya. Biar mereka ambil ke polsek. Sekaligus mengingatkan biar jangan ribut. Kalau sudah nongkrong pun, harus dibubarin," kata Dadang.




Kawasan padat penduduk di Jakarta Pusat. Foto: MI

 

Menurut Dadang, kekerasan kerap kali berawal dari permasalahan di antara dua orang yang merembet hingga ke banyak pihak. Hal yang memicunya pun kadang persoalan sepele.

 

"Kadang anak kecil ejek-ejekan, terus lempar-lemparan, ada yang kena langsung lari ke orangtuanya. Orangtua enggak terima malah ngadu ke yang lain-lain. Akhirnya yang lain juga kepancing," tutur Dadang.

 

Kepala Bagian Humas Polres Jakarta Barat Komisaris Heru Juliyanto membenarkan bahwa Kecamatan Tambora termasuk kategori rawan kriminalitas dan konflik lantaran angka kepadatan penduduknya yang tinggi.

 

Setiap akhir pekan, polsek setempat mewajibkan para pemuda melaksanakan apel bersama petugas kepolisian. Setiap pelajar yang terlibat tawuran pun diberi sanksi pencabutan kartu Jakarta pintar (KJP) milik mereka.

 

Budaya nongkrong itu pun, lanjut dia, merupakan imbas dari kondisi kontrakan mereka yang sempit. "Rata-rata mereka pendatang, ngontrak di tempat kecil. Orangtuanya tidak peduli anak enggak kebagian tempat. Akhirnya pelariannya nongkrong."

 

Sementara itu, Kapolsek Johar Baru Komisaris Wiyono mengatakan masalah demografis di kawasan Johar Baru turut memengaruhi angka kriminalitas, termasuk tawuran.

 

Hal itu turut dipengaruhi latar belakang pendidikan warga setempat. Di sana, sebagian besar pelaku tawuran yang dibekuk polisi merupakan remaja putus sekolah dan berpendidikan rendah.

 

"Tawuran ini semacam cara mereka untuk menyelesaikan masalah. Masalah yang awalnya hanya dari satu-dua orang pun sering kali berujung tawuran," ujarnya.

 

Polsek Johar Baru bahkan harus menyediakan pos pengamanan di 15 titik dan melakukan patroli setidaknya tiga kali sehari untuk mencegah potensi tawuran.

 

"Memang ada masyarakat yang sudah sadar hukum, tapi masih ada pula yang masih terbiasa dengan kekerasan. Masyarakat yang sadar hukum ini kami libatkan untuk pencegahan," kata Wiyono.


Bersiap Pindah ke Rusun


Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berencana memindahkan warga di permukiman padat penduduk ke rumah susun (rusun). Kepala Dinas Perumahan dan Gedung DKI Jakarta Arifin mengatakan hal itu bisa menjadi solusi untuk mengatasi sesaknya perkampungan itu.


Misalnya, kata dia, warga di Gang Venus, Jembatan Besi, Tambora, Jakarta Barat, nantinya bisa menempati Rusun Angke, Kampung Bebek, Tambora, Jakarta Barat. Semua itu bisa dilakukan asalkan warga memenuhi persyaratan.


Salah satunya memiliki kartu tanda penduduk asal DKI Jakarta.


"Itu semua tergantung kepemilikan tanahnya punya siapa. Kalau itu tanah Pemda, itu bisa direlokasi ke rusun. Namun, kalau itu tanah besertifikat milik mereka, zona milik mereka harus dibongkar," ujar Arifin.


Kesulitannya, selama ini masyarakat masih menolak tinggal di rusun. Mereka merasa lebih nyaman tinggal di lingkungan rumah mereka meskipun terbilang tidak sehat.


"Walau itu sudah disosialisasikan, misalnya, Rusun Tanah Tinggi di Johar Baru, respons masyarakat masih kurang."






















Untuk persiapan pemindahan warga itu, Arifin menyebut Rusun Angke akan direvitalisasi pada 2017. Nantinya, beberapa bangunan yang masih bertipe blok akan diubah menjadi menara. Sebanyak 16 lantai akan direvitalisasi.


"Begitu rampung, kami terbuka untuk siapa saja yang mau tinggal di rusun asal belum punya rumah dan memiliki KTP Jakarta," kata Arifin.


Secara terpisah, ahli perencanaan tata ruang Nirwono Joga menilai penataan permukiman warga sebaiknya bertahap. Agar masyarakat bisa menyesuaikan diri dan perlahan memahami arti penting sebuah penataan kawasan.


"Penataan ini juga bisa dilakukan secara bertahap. Misalnya, merombak bentuk permukiman terlebih dulu, kemudian diikuti dengan perombakan infrastruktur dan penambahan ruang terbuka. Jika dilakukan sekaligus, tentu akan mengagetkan," paparnya.


Menurut Nirwono, relokasi merupakan pilihan terakhir bagi pemerintah manakala segala upaya penataan ruang tidak bisa lagi meredam masalah sosial dan konflik yang ada. (Media Indonesia)

Sumber : http://news.metrotvnews.com/read/201...engah-ibu-kota

---

Kumpulan Berita Terkait PEMUKIMAN KUMUH :

- Kampung tanpa Matahari di Tengah Ibu Kota

- Lenyapkan Kawasan Kumuh Lima Tahun Mendatang, Pemerintah Butuh Rp384 T

- Andrinof: Target Nol Persen Hapuskan Kawasan Kumuh di 2019, Sangat Ambisius

anasabila
nona212
nona212 dan anasabila memberi reputasi
2
47K
49
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan