ayakanayaAvatar border
TS
ayakanaya
(FR+CATPER) Meregang Nyawa di Tengah Ganasnya Kebakaran Sang Hyang Argopuro
Hallo gan saya mau coba bagi pengalaman berupa foto perjalanan sama catatan perjalanan kemarin pada saat terjadi kebakaran Argopuro di bulan Oktober 2015. Buat tahap pertama saya launching foto-foto perjalanannya dulu ya.

Spoiler for Jalan makadam yang bisa dilewatin motor atau batas hutan:

Spoiler for Basecamp Baderan:

Spoiler for Foto bersama di pos Mata Air 2:

Spoiler for Pos Mata Air 1:

Spoiler for Pos Mata Air 2 cukup untuk mendirikan 6 tenda:

Spoiler for Sabana di Argopuro:

Spoiler for Alun-alun kecil yang terbakar:

Spoiler for Tim kami beristirahat di alun-alun besar dengan tim asal Tangerang:

Spoiler for Sabana di argopuro selepas alun-alun besar:

Spoiler for Menuju Cikasur:

Spoiler for Cikasur dari jauh:

Spoiler for Sumber air di Cikasur:

Spoiler for Hello Savana:

Spoiler for Tim kami sedang asik masak di Cikasur:

Spoiler for Bersiap menuju perjalanan ke Cisentor:

Spoiler for Dekat landasan pesawat:

Spoiler for Bekas landasan pesawat tapi kayak makam masal:

Spoiler for Kata orang pendakian masal buat yang bangun landasan pesawat di Cikasur:

Spoiler for Senja menuju Cisentor:

Spoiler for Titik orange dipikir senja ternyata titik kebakaran:

Spoiler for Senja ditengah rasa gundah gulana kebakaran:

Spoiler for Kebakaran yang menghabiskansebagian bukit arah turunan menuju Cisentor:

Spoiler for Tenda dadakan di HM 108 tempat bermalam kami ditengah kebakaran:

Spoiler for Memulai perjalanan ditengah asap kebakaran hutan:

Spoiler for Tim bersiap dengan buff melintasi kebakaran:

Spoiler for Sabana kebakar:

Spoiler for Kebakaran 1:

Spoiler for Api menghabiskan berbagai macam pinus:

Spoiler for Journey between black sabana:

Spoiler for Kebakaran memanjang sampai HM 133:

Spoiler for Sebagian besar track menuju Cisentor terbakar:

Spoiler for Siap berlari atau kebakar:

Spoiler for Mendaki ditengah kepulan asap sisa kebakaran:

Spoiler for Batupun ikut dibakar:

Spoiler for Selamat datang di Cisentor:

Spoiler for Cisentor pun ikut terbakar:

Spoiler for Tim istirahat di Cisentor sambil masak:

Spoiler for Gubuk di Cisentor:

Spoiler for Cisentor 2560 mdpl:

Spoiler for Sisa Istana bebatuan di puncak Rengganis:

Spoiler for Menuju puncak Argopuro:

Spoiler for Puncak Argopuro:

Spoiler for Senja di Sabana Lonceng:

Spoiler for Foto keluarga di Sabana Lonceng hari ke-4 pendakian:

Spoiler for Track menuju Bremi dari Sabana Lonceng:

Spoiler for Sisa kebakaran, debu, dan tanah tandus:

Spoiler for Pos Cemoro Lima:

Spoiler for Track memutar dan landai menuju Bremi:

Spoiler for Edelwise menemai sepanjang pendakian menuju Bremi:

Spoiler for Memasuki hutan lumut:

Spoiler for Danau Taman Hidup:

Spoiler for Full team sebelum turun gunung foto bersama di Danau Taman Hidup:

Spoiler for Track tanah menurun dan berakar menuju Bremi:



Quote:



Ya kalimat seperti itulah yang membuat saya terngiang-ngiang akan Sang Hyang Argopuro. Gunung sepanjang 42 km dengan keindahan sabana tercantik di pulau Jawa. Begitu kata para senior pendaki yang saya kenal. Kamu harus coba kesana minimal sekali seumur hidupmu. Begitulah awalnya yang mereka katakana pada pendakian gunung pertama di tahun 2012. Awalnya saya mengacuhkan apa yang senior saya katakan, tetapi lama kelamaan saya pun mencoba mencari tahu seperti apa wujud Argopuro melalui media internet. Dan saya jatuh cinta !!!
Juli 2014 saya tentukan menjadi waktu yang tepat untuk menyambangi kecantikan Dewi Rengganis, bertepatan dengan libur panjang lebaran. Undangan trip sudah dibuat, tim sudah kumpul, dan persiapan telah matang. Namun saya harus menanggalkan pendakian ini dengan alasan pekerjaan. Sedih rasanya. Dan akhirnya takdir mempertemukan saya dengan Sang Hyang pada bulan Oktober 2015. Bertepatan dengan momen pasca resign dan libur panjang saya dari dunia kantor.

Ajakan pendakian tersebut saya dapatkan dari Mas Mawardi di forum backpackerindonesia. Jauh sebelum saya resign saya telah memesan tiket kereta sesuai dengan tanggal keberangkatan yakni 23 Oktober 2015. Khayalan saya pada saat itu hanya satu menjelajah Argopuro dikarenakan saya tidak mau ketika sudah kembali ke dunia kantoran menanggalkan cuti 6 hari hanya untuk mendaki. Memanfaatkan waktu. Akhirnya tim sudah terbentuk sekitar 13 orang tetapi kemudian saya membatalkan kembali pendakian ke Gunung Argopuro dikarenakan alasan UAS dan waktunya tidak bertepatan 2 minggu sebelumnya. Tetapi 4 hari sebelum keberangkatan saya mencoba kontak kembali Mas Mawardi untuk ikut kembali dalam pendakian dikarenakan UAS saya maju, artinya saya bisa tetap mendaki setelah kewajiban saya sebagai seorang mahasiswa lepas.


Jumat 23 Oktober 2015

Peluit kereta telah dibunyikan, berarti kereta Kertajaya siap membawa saya menuju Surabaya tepat pada pukul 14.00 WIB. Kak Sean yang seharusnya menjadi kawan perjalanan saya selama di kereta dan juga teman pendakian satu tim mendadak membatalkan pendakian dikarenakan harus terbang ke Papua berurusan dengan pekerjaan. Setelah meletakan keril saya kemudian membuka grup whatsapp dan Via seorang wanita asal Malang yang akan turut serta mendaki membatalkan pula pendakian dengan alasan Senin seminar dikampusnya. Baiklah saya harus menjadi satu-satunya wanita diantara 10 orang lelaki asing yang dikenal lewat media sosial dan melakukan blind trip. Mungkin jika saya mengetahui berita ini pada saat menuju stasiun saya pun akan membatalkan pendakian ini. 4 hari 3 malam dengan pendakian panjang dan belum ada yang saya kenal kecuali satu orang, Kak Fathiyakan seorang yang saya kenal 4 tahun lalu pada saat mendaki pertama kali bersama-sama ke Gunung Gede, setelah itu pun tidak pernah jumpa lagi. Mungkin takdir saya harus menjejakkan kaki di Argopuro.

Lamunan dalam kereta menuju Surabaya mengingatkan saya pada beberapa percakapan dengan Ibu. Jauh sebelum ini saya memutuskan pendakian ini saya tidak seperti biasanya terbuka kepada Ibu saya bilang kemana saya akan mendaki, berapa lama, kapan naik, dan kapan waktu turun. Dan saya bilang “Bu kalo ada apa-apa dengan saya, polis asuransi ada di meja belajar di kosan. Warna mapnya hijau jadi nanti kalo saya kenapa-kenapa Ibu bisa urus asuransi saya.” Kalimat aneh yang saya rasakan, biasanya tiap mendaki kemanapun jarangnya saya berkata hal demikian. Ah sudahlah what happen will be happen.

Didalam kereta saya berkenalan dengan Mas Sandi dan Ka Ronald yang sama-sama akan mendaki Argopuro. Tim kami terdiri dari berbagai manusia dari berbagai belahan kota. Dan menuju satu titik yang sama Surabaya. Inilah tim saya yang menjadi partner sekaligus tim yang tidak akan saya lupakan sepanjang pendakian saya :
1. Mas Mawardi asal Paiton yang merupakan TS pendakian Argopuro pria paruh baya berusia sekitar 40 tahunan
2. Pak Didik teman Mas Mawardi yang ternyata adalah atasannya, berusia sekitar 40 tahun juga asal Paiton, kita menyebutnya sesepuh yang paling dituakan diantara tim pendakian.
3. Pak Totok asal Surabaya pria berumur 40 tahunan, seorang pegawai BUMN.
4. Mas Jarwo, pria asal Jakarta seorang advokat berusia sekitar 40 tahun baru kecanduan nanjak 2 tahun terakhir tapi ngelayap saban minggu ke gunung.
5. Joko asal Jakarta berusia sekitar 26 tahun pekerja swasta asal Jakarta
6. Ka Jerry, pria berusia sekitar 28 tahun kalo saya menyebutnya ustad karena jeggotnya yang panjang dan seorang PNS asal Jakarta
7. Ka Fathiyakan, berusia sekitar 27 tahun asal Bogor teman mendaki gunung pertama waktu ke Gede Juni 2012.
8. Azzam, mahasiwa tingkat akhir UNPAD asal kota Depok.
9. Ka Ronald, seorang nomad writer pekerja freelance asal Yogya. Berusia menuju 30 tahun.
10. Ka Sandy, mahasiswa pasca sarjana IPB yang galau mau ngadepin sidang thesis asal Bogor berusia sekitar 28 tahun
11. Saya sendiri (Aya) mahasiswa yang galau tesis dan sedang mengahadapi quarter crisis life di umur seperempat abad yang baru resign jadi analis.

Sabtu 24 Oktober 2015

Kereta akhirnya berhenti dan sampai di tujuan akhir kota Surabaya. Disana sudah berkumpul beberapa peserta pendakian yakni Pak Totok, Ka Jerry, Mas Jarwo, Azzam, dan Ka Joko serta Ka Fathiyakan. Sekitar jam 2 dini setelah selesai berkenalan ala pendaki satu sama lain kemudian kami bertolak menuju Paiton Probolinggo untuk menjemput Mas Mawardi dan Pak Didik. Adapun kami menyewa elf yang telah diatur oleh Mas Totok karena beliau domisili tinggal di Surabaya. Dikarenakan tidak tidur selama dikereta akhirnya saya pulas tertidur dengan bantuan antimo di sepanjang perjalanan menuju Probolinggo.

Lepas adzan Shubuh kami berhenti sesaat dan melaksanakan kewajiban kami bagi peserta pendaki yang beragama Muslim. Kemudian kami melanjutkan perjalanan dan sampai di Paiton tepatnya dirumah Pak Didik pada pukul 06.30. Selepas menjemput mereka, kami lanjutkan perjalanan menuju basecamp Barderan tempat titik awal kami akan melakukan pendakian.

Pukul 07.30 kami tiba dan semua urusan administrasi sudah diselesaikan oleh Mas Mawardi sebagai seorang TS. Adapun makanan untuk sarapan kami sudah dipersiapkan pula oleh Ibu pemilik warung. Selesai repacking, dan sarapan kami bergegas menuju ojek yang sudah menunggu kami untuk menuju batas hutan dan jam sudah menunjukkan pukul 09.00 lewat. Semua menunggu antrian ojek yang hanya berjumlah 5 buah saja. Satu per satu peserta pendakian pun diangkut menuju batas hutan melewati jalanan berbatu dan sempit dengan pemadangan kanan dan kiri ladang penduduk. Cuaca pada saat itu amatlah terik dan menyengat.

Langkah demi langkah kami lalui dari batas hutan menuju titik pendakian selanjutnya yaitu Pos Mata Air 1. Pemandangan sepanjang perjalanan adalah hutan tropis terbuka dengan cahaya matahari yang masuk ke dalam hutan dan bersinar cerah. Sesekali diselingi ladang penduduk dan tanaman belukar. Adapun jalur pendakian adalah jalanan yang landai dan berdebu dengan pondasi tanah yang solid. Sesekali terlihat bekas ban motor yang melalui jalur ini. Dikarenakan penduduk sekitar kadang memakai motor sampai dengan Cikasur untuk mengambil rumput guna pakan ternak hewan peliharaan. FYI kalian juga bisa sampai ke Cikasur dengan menggunakan ojek seharga IDR 200.000-IDR 250.000 untuk menghemat tenaga dan 1 hari perjalanan.Hanya saja akan mengurangi esensi petulangan bukan?. Bukankah kita akan mendaki dan merasakan pengalaman dan menyatu dengan kehidupan alam bebas kala mendaki ?. But it is up to you. The choice is yours.

Sampai Pos Mata Air 1 tepat pukul 13.30 siang hari jika saya tidak salah ingat. Kuartet ngacir Pak Totok, Ka Jok, Mas Jarwo dan Ka Jerry sudah sampai duluan dan tengah beristirahat. Seperti biasa saya selalu datang paling terakhir dan paling lambat. Di pos mata air 1 ada sekitar lahan kosong yang dapat menampung 5-8 tenda, di pos mata air 1 kita dapat mengisi perbekalan air dengan menuruni semak kebawah. Karena posisinya berada di lembahan dengan sebuah pancuran air. Saya sendiri tidak turun langsung. Posisi disini sangat terbuka dan di kanan jalur adalah jurang. Menghabiskan malam dengan memasang tenda di daerah ini saya rasa akan sedikit dikit pada malam hari, karena cukup terbuka.

Ketika kami tengah beristirahat 3 orang lelaki datang, kami berkenalan ala pendaki dan menawarkan segelas kopi.Diketahui ternyata mereka adalah mahasiswa asal Jember dan mengatakan akan membuka tenda di Pos Mata Air 1. Kami sendiri tengah bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan menuju Pos Mata Air 2 karena takut kemalaman. Akhirnya kami melanjutkan perjalanan dan berpamitan dengan tim asal Jember.
Pemandangan menuju Pos Mata Air 2 tetaplah sama seperti di awal, hutan, ladang, dan tanaman liar. Dan hari semakin sore dan semakin gelap gulita. Akhirnya pukul 18.30 saya sampai di Pos Mata Air 2. Beberapa tenda telah didirikan oleh Ka Joko dan kami mempunyai tetangga tenda, mereka adalah 4 orang pendaki asal Tangerang yang awalnya bertolak ke Semeru, tetapi karena Semeru kebakaran mereka banting stir mendaki Argopuro daripada kembali ke Jakarta dengan sia-sia. Selesai menaruh tas keril saya bersiap menjadi koki dan menyiapkan makan malam bagi tim bersama Azzam, Ka Jerry, dan Ka Joko. Kegiatan kami masih berjalan normal dan sesekali diselingi obrolan perkenalan. Maklum karena jarak pendakian antara tim Kuartet ngacir (Ka Joko, Mas Jarwo, Pak Totok, dan Ka Jerry) dengan tim tengah (Ka Sandy, Ka Ronald, dan Pak Didik) dan tim bekicot (saya, Ka Fathiyakan, Azzam, Mas Mawardi) terpaut cukup jauh sekitar 1 jam. Sehingga tim terpecah-pecah menjadi 3 kelompok kecil

Pos Mata Air 2 sendiri terbagi dikelilingi pepohonan pinus yang menjulang tinggi. Jika posisi anda menuju Cisentor pada track pendakian tempat untuk membuka tenda berada di arah kiri dengan posisi tanah menurun dan dapat menampung sekitar 8-10 tenda. Serta posisi sumber air berada di sebelah kanan dan anda harus melewati jalan menurun dengan tingkat kecuraman 90 derajat sebab sumber air berada diantara cerukan lembahan.

Malam semakin larut dan ketika semua anggota tim sudah terlelap saya masih belum bisa tidur. Akhirnya saya keluar tenda dan menikmati pemandangan malam sebentar dan ditemani oleh Ka Joko. Melihat sekeliling di bukit sebelah tenggara tempat kami membuka tenda terdapat kebakaran di dua puncak bukit. Saya sempat berpikir tak akan mungkin orang sengaja membakar sesuatu di puncak bukit yang itu lokasinya jauh dari perkampungan. Ah sudahlah semoga bukan pertanda buruk. Akhirnya kami kembali ke tenda maisng-masing dan mencoba tidur tenang. Walaupun saya harus tidur dengan bantuan obat tidur kembali. Malam pertama di Argopuro di pos Mata Air 2 masih terdapat sinyal dan saya sempat update status di FB dimana lokasi saya saat itu.

Pendapat saya personal Argopuro adalah gunung yang aneh sebab saya harus tidur dengan menelan 2 buah pil obat tidur agar dapat terlelap. Dan saya merasa tidak tenang disamping saya di tenda seorang diri dengan tumpukkan keril-keril. Dan mata saya masih terbuka menatap kegelapan sampai pukul 1 dini hari baru bisa terlelap ditemani dinginnnya angin dan membuat kaki saya nyaris beku.
Diubah oleh ayakanaya 31-03-2016 05:37
0
11.4K
52
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan