Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

XinHua.NewsAvatar border
TS
XinHua.News
Sepakbola Indonesia Sudah Ketinggalan 100 Tahun dari Jepang
Sepakbola Indonesia Sudah Ketinggalan 100 Tahun dari Jepang
Sudah sewajarnya memenangi Piala Dunia menjadi target (atau mimpi) dari seluruh negara di dunia, bahkan bagi Indonesia sekalipun, yang sebenarnya saat ini bukan merupakan negara anggota FIFA.

Kita bisa melihat kesebelasan negara Jepang. Negara "Samurai Biru" ini juga menargetkan menjadi juara Piala Dunia, tepatnya pada tahun 2092. Ini memang masih lama sekali, bahkan yang membaca tulisan ini sekarang pun belum tentu masih berjodoh dengan umur untuk bisa menyaksikan Piala Dunia 2092 nanti.

Untuk ukuran Jepang yang sejak 1998 di Prancis tidak pernah absen berpentas di Piala Dunia, apakah 2092 bukan merupakan target yang terlampau lama? Bagaimana dengan Indonesia?

Pada kenyataannya, target ini tidak serta-merta hadir begitu saja. Target itu dimunculkan pada tahun 1992, saat sepakbola Jepang sedang dalam masa terendah mereka. Saat itu liga tertinggi di negara mereka, Japan Soccer League (JSL), dipenuhi oleh banyak kesebelasan amatir. Kata "amatir" di sini tidak benar-benar berarti amatir. Ya, setidaknya mereka tidak berpura-pura menjadi profesional karena definisi "profesional" saja tentunya sudah mereka pahami baik-baik.

Tahun 1992 adalah tahun terakhir keterpurukan sepakbola Jepang. Karena setahun setelahnya, sepakbola Jepang mengalami perubahan yang signifikan. Pada 1993, J-League dilahirkan. J-League hanya singkatan dari Japan League, melainkan Japan Professional Football League (seharusnya JPFL, ya?), artinya: ini adalah liga yang profesional.

Saat ini J-League sudah dianggap sebagai salah satu liga profesional terbaik di Benua Asia. Mimpi mereka 23 tahun yang lalu adalah untuk memiliki liga yang sukses, berkelanjutan, dan membanggakan, yang terdiri dari ratusan kesebelasan sepakbola profesional. Menjadi juara Piala Dunia 2092 adalah puncak dari mimpi terbesar Jepang.

Bisa dibilang, mereka realistis. Tidak seperti Indonesia, misalnya, yang ingin menjadi tuan rumah Moto GP dengan persiapan hanya satu tahun atau di awal tahun 2009 yang sempat mencanangkan menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022 (Baca tulisan: Kemenpora dan Beban-Beban yang (Ingin) Dipikulnya Sekaligus oleh Andi Abdullah Sururi).

Kita boleh bermimpi, tetapi alangkah baiknya jika mimpi tersebut adalah mimpi yang realistis. Tidak ada yang instan. 100 tahun bukanlah waktu yang lama bagi sebuah negara untuk bermimpi.

Bahkan di luar sepakbola, Jepang sudah membangun mimpi ini, untuk menjadi negara yang maju di bidang olahraga (bukan hanya sepakbola) sejak negara mereka dibom atom oleh Amerika Serikat. Saya tidak pernah bosan mereferensikan Anda untuk kembali membaca tulisan Abimanyu Bimantoro, "Lihatlah Jepang, Kita Masih Jauh dari Piala Dunia", untuk memahami bagaimana Jepang membangun budaya olahraga, bukan target prestasi, di masyarakat mereka.



Perkembangan J-League sebagai simbol kebangkitan sepakbola Jepang

"Tidak akan ada (Shinji) Kagawa di Manchester United atau (Yuto) Nagatomo di Inter Milan jika J-League tidak dilahirkan 20 tahun yang lalu," kata Saburo Kawabuchi pada 2013. Kawabuchi adalah kepala J-League yang menjabat sampai 2002.

Kawabuchi juga merupakan salah satu perintis visi besar "Rencana 100 Tahun J-League" atau "J-League 100 Year Plan". Ia percaya bahwa setiap kesebelasan sepakbola harus berakar pada komunitas lokal. Dengan visi ini, sebuah kesebelasan akan menjadi sebuah klub, di mana mereka bukan hanya mengurusi sepakbola, melainkan juga olahraga lain seperti bola voli, bisbol, dan bahkan sampai ke tim perempuan dan anak-anak.

J-League yang awalnya hanya terdiri dari 10 kesebelasan profesional, berniat untuk terus meminimalisasi jumlah kesebelasan peserta. Di bawah mereka saat itu belum ada divisi dua, tetapi langsung ada Japan Football League (JFL) yang dipenuhi oleh kesebelasan amatir.

Hal ini mereka lakukan bukan karena masalah jumlah animo yang rendah. Mereka yakin ukuran liga sepakbola akan menjadi semakin baik (dan pastinya profesional) tidak diukur dari jumlah kesebelasannya, melainkan dari status kesebelasannya. Secara perlahan tapi pasti, mereka kemudian membuka J-League Division 2 atau J2 pada 1998. Bukan J1, tetapi J2 inilah yang menjadi ujung tombak ekspansi dan perkembangan J-League.

Kesebelasan amatir yang berniat untuk menjadi profesional akan diinspeksi terlebih dahulu. Jika mereka memenuhi syarat, mereka akan masuk ke J2. Jadi, tidak otomatis juara JFL akan berlaga di J2 di musim berikutnya.

Perlahan tapi pasti, jumlah kesebelasan profesional di Jepang semakin banyak, sehingga J2 tidak cukup untuk menampungnya. Pada 2014, J-League Division 3 (J3) dibentuk untuk mengakomodasi kesebelasan-kesebelasan baru ini. Sejak 2014, J3-lah yang menjadi ujung tombak revolusi sepakbola Jepang menuju profesionalisme.

Sampai saat ini Jepang memiliki lebih dari tujuh tingkat dalam piramida kompetisi, mulai dari J1 (18 kesebelasan), J2 (22 kesebelasan), dan J3 (13 kesebelasan) yang harus profesional, sampai JFL (16 kesebelasan), 9 regional league (134 kesebelasan), 46 prefectural league (tak terhitung jumlahnya), dan 5 block league di Hokkaido yang berstatus amatir dan semi-profesional.



Setiap kesebelasan wajib memiliki rencana 100 tahun

Pada akhir tahun lalu, saya beruntung untuk bisa mengikuti seminar NIFS International Sport Academy (NIFISA) di Kanoya dan Osaka, Jepang. Pada salah satu presentasi, Prof. Junya Fujimoto, M.PE., sempat menjelaskan mengenai perkembangan sepakbola profesional di Jepang.

Menurut profesor di Osaka University of Health and Sport Sciences (OUHS) ini, salah satu fondasi utama profesionalisme sepakbola di Jepang adalah status kesebelasan "J-League 100 Year Plan". Status ini adalah status yang diberikan kepada kesebelasan non-liga di sepakbola Jepang (JFL ke bawah). Pemohon aplikasi ini harus memiliki niat untuk menjadi kesebelasan profesional. Siapa saja boleh mengajukan aplikasi ini, tidak hanya mereka yang berada di JFL.

Sejak 2014, status ini menjadi syarat utama jika kesebelasan ingin promosi ke J3 dan dianggap sebagai kesebelasan profesional. Tidak ada kompromi.

Ini yang membuat Sony Sendai tidak promosi ke J3 musim lalu padahal mereka merupakan juara JFL. Kesebelasan yang meraih promosi ke J3 justru Kagoshima United yang berada di peringkat keempat klasemen akhir JFL 2015, padahal di atas mereka masih ada Vanraure Hachinohe (peringkat kedua, saat itu belum pro, tapi saat ini sudah) dan Honda FC (peringkat ketiga).

Kagoshima, yang merupakan salah satu tempat di mana saya mengikuti seminar, meraih promosi karena kesebelasan mereka sudah memiliki status kesebelasan "J-League 100 Year Plan".

Jika sebuah kesebelasan ingin memiliki status ini, mereka harus memenuhi beberapa kriteria berikut ini:

• Organisasi kesebelasan: harus diorganisir sebagai perusahaan publik (PT) atau organisasi non-profit (NPO) yang hanya dikhususkan untuk urusan sepakbola dan sudah seperti itu selama tidak kurang dari satu tahun, mayoritas saham harus dimiliki pemilik asal Jepang, harus mempekerjakan setidaknya empat karyawan administrasi yang salah satunya berposisi manajerial, harus memiliki sistem penggajian yang sesuai hukum di Jepang, harus memiliki manajemen keuangan yang tepat dan melakukan audit pajak tahunan, serta harus memegang hak intelektual untuk nama, logo, dan semua merek dagang yang terkait dengan kesebelasan.

• Kota asal dan fasilitas stadion/latihan: harus disetujui oleh asosiasi sepakbola prefecture (provinsi), harus disetujui oleh pemerintah kota asal secara tertulis, stadion harus terletak di kota yang bersangkutan, serta harus memiliki fasilitas latihan yang terletak di kota yang bersangkutan.

• Lainnya: saat ini harus bermain di JFL, liga regional, atau liga provinsi; wajib memiliki sasaran masuk ke J-League, serta harus memiliki sistem sekolah/akademi sepakbola yang sudah ada tidak kurang dari satu tahun terakhir.



Status kesebelasan "J-League 100 Year Plan" sendiri merupakan prasyarat, karena jika sebuah kesebelasan ingin promosi ke J3, selain status tersebut, mereka juga:

• Harus memiliki stadion dengan standar J3 (kapasitas 5.000 atau lebih) dan lolos inspeksi pihak liga.
• Harus lulus uji lisensi J3 oleh pihak liga.
• Harus menyelesaikan JFL di posisi empat teratas dan posisi satu atau dua di antara para pemegang "J-League 100 Year Plan" lainnya.
• Harus memiliki rata-rata kehadiran penonton di kandang tidak kurang dari 2.000 dengan upaya serius untuk mencapai 3.000.
• Harus memiliki pendapatan tahunan minimal 150 juta yen (Rp 17,059 miliar) dan tidak ada utang yang berlebihan.

Dari lebih dari 300 kesebelasan amatir di Jepang, saat ini hanya 5 kesebelasan yang berstatus sebagai pemegang "J-League 100 Year Plan", mereka adalah Vanraure Hachinohe (JFL), Azul Claro Numazu (JFL), Tochigi Uva (JFL), Nara Club (JFL), dan Tonan Maebashi (Kanto League D1).

Tidak ada yang instan


Sekarang, kita sudah sama-sama tahu model seperti apa yang Jepang rencanakan untuk sepakbola mereka. Setelah "hanya" 23 tahun dari pencanangan 100 tahun tersebut, kini standar sepakbola Jepang terus meningkat di dalam dan di luar lapangan.

Dari skuat kesebelasan negara Jepang terakhir saja misalnya (November 2015), ada 13 pemain Jepang yang sekarang bermain di Eropa, enam di antaranya bermain di Bundesliga Jerman. Sekarang kita tidak kaget mendengar nama Hiroshi Kiyotake, Makoto Hasebe, Shinji Okazaki, Yoshinori Mutō, sampai Keisuke Honda yang sudah "mengubur" (dalam artian positif) nama-nama terdahulu seperti Junichi Inamoto, Shunsuke Nakamura, sampai Hidetoshi Nakata.

Selain menghasilkan pemain, kualitas dan kuantitas fasilitas sepakbola (bukan hanya stadion) di Jepang juga sudah meningkat pesat bersamaan dengan fasilitas olahraga lainnya yang terintegrasi di masyarakat dan sekolah. Tidak heran juga karena lebih dari 60% masyarakat Jepang saat ini tercatat berolahraga secara rutin sebanyak tiga kali seminggu.

Apakah negara ini akan bisa memenangkan Piala Dunia 2092 memang masih akan terus kita nantikan, tapi di atas kertas mereka sudah berada di jalur yang tepat.

Kesuksesan memang tidak diraih dalam semalam, dua malam, seminggu, sebulan, setahun, dan bahkan 10 tahun. Asosiasi sepakbola Jepang (JFA) menyadari hal itu. Untuk itulah mereka menetapkan visi yang begitu panjang. Bayangkan: 100 tahun!

Butuh kesabaran, teknik, dan cara yang benar untuk membina sepakbola agar menjadi profesional dan berkelanjutan.

PSSI didirikan pada 1930, sementara JFA didirikan pada 1921. Sesungguhnya kita bukan sekadar ketinggalan sembilan tahun, tetapi melalui "J-League 100 Year Plan" mereka, kita memang sudah ketinggalan 100 tahun dari Jepang.

=====



* Penulis biasa menulis soal sport science untuk situs @panditfootball, beredar di dunia maya dengan akun @dexglenniza


[Saya bersama Yoshiki, pemuda Jepang yang sempat bermain di tim akademi Kagoshima. Kepada dia saya memberikan suvenir baju Persib Bandung. Lokasi: Kozuka Park, Kanoya, Kagoshima.
http://sport.detik.com/aboutthegame/...un-dari-jepang

100 tahun gan
0
7.1K
70
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan