- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa
TS
robotpintar
Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa
Bahkan Putih Pun Sudah Seperti Jelaga
"Marsal!"Petugas memanggil namaku asal-asalan.
Gua berdiri dan mendekat ke arah petugas sipir yang menatap ke arah lembaran kertas di atas meja kerjanya. Dengan kacamata baca yang turun hingga ke hidungnya, ia menatapku, lalu tersenyum.
"Tanda tangan" Ucapnya seraya menyerahkan lembaran kertas dari tangannya dan sebuah pulpen.
Gua meraih pulpen itu dan membubuhkan tanda tangan pada bagian bawah lembaran kertas, kemudian mengembalikannya ke petugas tadi.
Ia menerima kertas tersebut, memasukkannya ke dalam sebuah map berwarna hijau dan menumpuknya dengan map-map lain yang memiliki warna yang sama. Dengan gerakan yang lambat dan ogah-ogahan, petugas itu menarik laci, mengeluarkan map plastik transaparan yang di dalamnya terlihat beberapa lembar kertas.
"Nih..." Ucapnya seraya menggeser map transparan tersebut ke arah gua.
"Ada yang jemput, Sal? Nggak ada ya?" Tanya si petugas sambil mencari-cari sesuatu dari laci meja kerjanya.
Belum sempat gua menjawab pertanyaannya, ia lalu menyodorkan sebuah kartu nama. Gua meraih kartu nama tersebut, kartu nama berbahan kertas Ivory yang terlihat murahan. Gua mengernyitkan dahi dan mulai membaca tulisan pada kartu tersebut.
'Jaya Teknik' Gua membaca tulisan paling besar pada kartu tersebut, disusul informasi nomor telepon dan alamat di bagian bawahnya.
"Kang Jaya?" Tanya gua ke petugas itu.
"Iya. Kamu kesana aja, biasanya anak-anak yang baru 'keluar' diajak kerja sama dia" Tambah si petugas sambil tetap menatap ke arah gua.
"Oh..." Gua memberi respon singkat.
Petugas itu berdiri, mengulurkan tangannya. Gua menyambut dan menjabat tangannya.
"Hati-hati ya, Sal. Pokoknya jangan sampe kamu balik kesini lagi" Ucapnya, masih sambil menjabat tangan gua.
"Iya Pak Didi" Jawabku, kemudian bersiap pergi.
Sementara aku pergi, terdengar Pak Didi kembali memanggil nama lain. Seorang petugas menghampiri, membimbing gua melewati lorong berliku yang berpagar tinggi. Hingga akhirnya, kami tiba di sebuah pintu besi berukuran besar. Petugas itu, menekan tombol pada sisi pintu, menimbulkan bunyi meraung keras disusul suara 'cklek' dan pintu otomatis terbuka.
Petugas itu membuka pintu lebar-lebar dan mempersilahkan gua untuk keluar.
---
Spoiler for Prolog:
Sebuah ruangan dengan atap tinggi, tanpa dinding dan riuh rendah dari para pengunjung yang tengah mengantri untuk membesuk keluarganya ditambah kerasnya pengumuman dari pelantang suara di ruang semi terbuka itu menyambut gua.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Diubah oleh robotpintar 06-05-2024 10:33
agamz1217 dan 141 lainnya memberi reputasi
142
175.4K
Kutip
2.8K
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#1599
Part 63 - Patah Hati
Spoiler for Part 63 - Patah Hati:
Lama kami berdua dalam posisi berpelukan dan saling menatap, hingga akhirnya gua menyadari kalau ini adalah sebuah kesalahan; terlalu dekat dengannya adalah sebuah kesalahan.
Sama-sama Awkward.
Dinar terlihat menunduk, lalu dengan cepat berbalik dan menutup pintu kamarnya. Sementara gua hanya berdiam sambil berdiri mematung, menatap ke arah pintu kamarnya. Setelah beberapa saat, barulah gua kembali turun kebawah, dan barulah gua sadar kalau ponsel gua masih ada padanya.
Mau kembali ke atas, mengetuk kamar dan meminta ponsel gua kembali. Tapi, karena masih berada dalam mode canggung se canggung-canggungnya gua membatalkan rencana tersebut dan kembali bekerja.
Menjelang sore, saat tengah meeting online bersama Ketu dan yang lainnya, terdengar langkah kaki menuruni anak tangga. Dinar mendekat ke arah gua, tanpa bicara ia meletakkan ponsel gua di atas meja kerja lalu kembali naik ke atas menuju ke kamarnya. Karena masih meeting, gua hanya mengacuhkannya.
Selesai meeting, barulah gua bergegas ke atas, ke kamarnya.
Namun, gua nggak mendapati Dinar disana, kamarnya kosong. Dari posisi gua sekarang terlihat pintu ke arah balkon dalam kondisi terbuka. Gua lalu menuju ke balkon, naik melalui tangga besi, menuju ke rooftop. Di rooftop, terlihat lampu-lampu yang dulu gua siapkan untuk melamar Poppy menyala. Walaupun beberapa lampu terlihat mati karena rusak akibat konslet, tapi sama sekali nggak membuat perbedaan, masih membangkitan suasana yang hangat.
Dinar duduk di tempat yang sama dengan yang biasa kami gunakan saat berjemur di pagi hari. Wajahnya terang karena bias dari layar ponsel yang tengah dipandangnya. Ia nggak memberi respon apapun saat mengetahui gua ada di sana, bahkan hingga gua duduk tepat di sebelahnya, Dinar sama sekali nggak memberi respon.
Gua juga hanya diam, menatap ke arah langit yang gelap. Sementara, angin malam berhembus; dingin menusuk tulang. Gua meraih sebatang rokok, menyulutnya dan menghisap dalam-dalam, menghembuskan asapnya ke udara, yang langsung hilang ditiup angin.
Kami sama-sama terdiam, mungkin masih ada canggung yang tersisa akibat kejadian tadi siang. Nggak mau berlarut-larut terjebak dalam situasi seperti ini, gua bersiap untuk membuka obrolan. Namun, belum sempat gua bicara, Dinar sudah mendahului gua.
“Sorry ya, Kak…” Ucapnya pelan, tanpa memalingkan wajahnya dari layar ponsel.
“Kenapa malah lo yang minta maaf. Harusnya gua yang minta maaf duluan…”
Jawab gua, merasa kalau gua lah yang salah, karena lepas kendali di tempat dan dengan orang yang salah.
“Nggak. Aku yang salah… Aku yang nggak tau diri. Kok berani-beraninya…” Dinar menghentikan kalimatnya, berhenti bicara, seperti ragu akan kata-kata selanjutnya.
Gua menoleh ke arahnya, mengernyitkan dahi, menunggu apa kalimat selanjutnya. Tapi, ia nggak melanjutkannya, hanya terdiam sambil terus menatap layar ponselnya.
“So Sorry ya, Nar… Gua udah kelewat batas. Untuk kejadian tadi, anggap aja nggak pernah terjadi…” Ucap gua seraya menatapnya.
Barulah Dinar menoleh ke arah gua. Ia lalu tersenyum dan mengangguk pelan.
Gua tau kalau tadi, ia juga lepas kendali. Mungkin saking senangnya, hingga nggak sadar kalau yang di hadapannya adalah gua, seorang pria yang merupakan kekasih kakaknya. Mungkin ia hanya ingin berbagi kebahagiaan dan kebetulan gua satu-satunya orang yang berada di sana, di sisinya.
“Kak...”
“Ya…”
“Kakak, sayang nggak sama Poppy?” Tanyanya.
Mendengar pertanyaannya barusan tentu membuat gua langsung tersenyum. Bagaimana mungkin gua nggak sayang sama Poppy, dan kok bisa-bisanya Dinar mempertanyakan hal tersebut.
“What? Menurut Lo?” Gua balik bertanya.
“Sayang banget” Jawabnya.
“Nah, itu lo tau jawabannya…”
“Kalo kakak sayang banget sama Poppy, berapa besar kemungkinan kak Marshall bakal mencintai orang lain kedepannya?” Tanyanya.
Sebuah pertanyaan yang tentu saja membuat gua sedikit terkejut.
Gua lantas menggeleng pelan.
“Nggak tau, kayaknya gua udah patah hati terlalu dalam, sampe nggak ada niat untuk mencintai orang lain selain Poppy” Jawab gua seraya menoleh ke arahnya.
Sementara, Dinar terlihat hanya mengangguk sambil tersenyum.
“... Kalo lo? Lo pernah patah hati? Gua menambahkan.
“Pernah” Jawabnya singkat.
“Oya? Kapan?” Tanya gua lagi.
“Barusan” Dinar menjawab sambil menatap gua.
Jawabannya barusan membuat gua langsung terdiam. Rupanya, ia benar-benar menaruh hati ke orang yang salah.
“Suatu saat nanti, lo pasti kenal dan dapet cowok yang bisa melindungi lo, bisa mengerti dan bisa jadi tempat berkeluh kesah lo…” Ucap gua seraya memberi tepukan lembut di kepalanya.
“...”
“... Tapi, sampai saat itu tiba, apapun yang terjadi, apapun masalah yang lo punya, apapun kendala yang lo hadapi, cerita ya ke gua. Anggap gua kakak lo sendiri, anggap gua teman dan sahabat lo..” Gua menambahkan.
“Iya kak…” Jawabnya, masih sambil tersenyum.
Beberapa hari berselang, gua mulai memperkenalkan Dinar sebagai bagian dari tim kecil kami. Setelah kehilangan Poppy, kini komposisi staff studio menjadi; gua dan Adam yang bertugas untuk urusan ilustrasi, Ketu dan Andika yang berhubungan dengan klien dan calon klien, sementara Dinar yang bakal bertanggung jawab urusan keuangan.
Karena kurang satu amunisi yang bertanggung jawab akan urusan ilustrasi, gua dan Adam sedikit kelimpungan dalam menyelesaikan task-task yang menunggu antrian.
“Tu, nggak bisa di rem dulu nih proyek yang masuk? Kita keteteran banget ini…” Pinta gua ke Ketu, melalui sambungan video conference saat kita tengah meeting pagi.
Sejak mulai bekerja remote kami memang senantiasa melakukan meeting online setiap hari, setiap pagi, untuk menyelaraskan pekerjaan dan melakukan evaluasi.
“Wis kerjain aja, Ojo keakehan komplen. Kita harus nabung, Sal. Takut pandemi berlangsung lama, takut perekonomian runtuh, takut kolaps…” Jawab Ketu.
“...”
“... Makanya kita harus nabung, biar bisa bertahan” Tambahnya.
Dalam hal ini gua cukup setuju dengan Ketu, that’s why kini sebanyak apapun pekerjaan yang masuk, gua akan dengan semangat menyelesaikannya.
Sementara, untuk menghindari gosip, isu tak sedap dan gunjingan orang, gua dan Dinar sepakat untuk nggak lagi tinggal dalam satu atap.
“Lo gapapa balik ke rumah?” Tanya gua ke Dinar, yang nampak sedih dan berat saat bersiap meninggalkan studio.
Dinar nggak menjawab, ia hanya terdiam sambil menatap gua lalu tersenyum.
“Ya mau gimana lagi, aku kan nggak punya pilihan lain…” Jawabnya.
Gua tau, kalau ia ingin sekali menghindar dari rumah itu, rumah yang bakal membuatnya berjibaku dengan rasa rindu dan kenangan tentang keluarganya.
Tapi, saat ini gua juga nggak punya solusi lain. Jadi, Dinar kembali ke rumahnya adalah satu-satunya jalan keluar yang tepat.
Sebelum Dinar pindah, gua sempat mengajaknya untuk berziarah ke makam tempat bokap, nyokapnya dan Poppy disemayamkan. Tentu saja untuk memuluskan ‘jalan’, gua meminta tolong Bokap untuk mengantar kami. Tapi, karena bokap yang sibuk di rumah sakit, ia mengutus salah satu rekannya yang sudah terbiasa mondar-mandir ke makam khusus Covid-19 untuk mengantar kami, namanya Lian. Lian adalah seorang dokter forensik yang sejak mewabahnya Covid-19, tenaganya dialihkan menjadi 'tukang tutup jenazah'.
Nggak seperti tempat pemakaman pada umumnya, dimana banyak penjual bunga dan air mawar yang menjajakan dagangannya. Di TPU Tegal Alur, tempat kami sekarang berada terlihat sepi. Yang nampak hanya deretan ambulance dan mobil jenazah yang terparkir, membawa peti-peti berisi korban-korban covid-19 yang meninggal.
Pada saat kami datang, terhitung ada 20-an ambulance dan mobil jenazah yang terparkir. Yang artinya hari ini saja ada sekitar 20-an orang yang dimakamkan akibat covid-19. Dengan dipandu oleh Lian, gua dan Dinar mengikutinya masuk ke area pemakaman. Terlihat hamparan luas tanah merah dengan banyak gundukan bernisan putih. Di sudut terjauh, puluhan orang penggali kubur berpakaian putih-putih, lengkap dengan masker dan penutup kepala sibuk dengan cangkulnya, menggali tanah gembur untuk membuat lubang. Di dekatnya, terlihat antrian peti-peti jenazah yang siap mengisi lubang-lubang tersebut.
Setelah berjalan cukup jauh, Lian menghentikan langkahnya di sebuah gundukan tanah dengan nisan putih yang bertuliskan nama dari bokap Dinar. Di sebelahnya, terdapat gundukan yang sama dengan nisan yang berbentuk sama, bertuliskan nama Nyokapnya.
“Ini bapak sama ibu, kalau kakaknya ada di sana” Ucap Lian seraya menunjuk ke arah sisi lain pemakaman.
Dinar, berlutut lalu menyentuh tanah merah dari gundukan. Ia terisak sebentar kemudian disusul pecah tangisnya yang membahana. Tak ada kata-kata yang terucap dari mulutnya, ia hanya terus menangis tanpa mengangkat kepalanya.
Sementara, gua ikut berjongkok di sebelahnya lalu memberikan tepukan di pundaknya. Tepukan penghiburan yang sepertinya nggak berhasil mengurangi rasa sedihnya.
Setelah puas menangis di pusara bokap dan nyokapnya, Dinar berdiri dan menatap ke arah Lian. Lian yang langsung paham lalu mengantar kami ke makam Poppy. Kali ini, giliran gua yang nggak kuasa menahan kesedihan. Belum sampai ke lokasi makamnya, saat baru saja melihat nisan yang bertuliskan nama Poppy, lengkap dengan tanggal lahir dan tanggal wafatnya, kedua kaki gua langsung terasa lemas, seakan nggak memiliki kekuatan untuk menopang tubuh ini.
Merasa nggak sanggup untuk menatap makam Poppy, nggak sanggup ‘bertemu’ dengannya, gua menghentikan langkah. Berlutut di atas tanah merah dan mulai menangis sejadi-jadinya. Sementara, Dinar terus melanjutkan langkah menuju ke pusara kakak tercintanya, dan kembali menangis di sana.
Nggak tahan dengan rasa sedih yang luar biasa. Gua memutuskan untuk kembali ke parkiran mobil lebih dulu, biarlah Dinar menghabiskan waktu sepuasnya.
“Udah ya, Nar.. Udah nggak penasaran lagi kan? Udah ilang kangennya?” Tanya gua ke Dinar sepulangnya dari makam.
Dinar mengangguk pelan, sambil terus menatap keluar jendela mobil. Lalu, tanpa aba-aba, ia menggeser duduknya mendekat ke gua, kemudian menyandarkan kepalanya tepat di bahu gua. Sementara, Lian yang menyetir di kursi depan hanya melihat kami berdua dengan tatapan sedih, melalui kaca spion di bagian atas dashboard mobil.
—
Nyatanya, pandemi ini bukannya hilang malah semakin menyebar dengan cepat. Bahkan varian-varian baru mulai bermunculan, meneror masyarakat yang kini jadi hidup dalam selubung ketakutan yang nggak pernah hilang.
Akhirnya ketakutan Ketu benar-benar menjadi kenyataan. Perekonomian dunia ‘runtuh’, imbasnya tentu saja berdampak ke usaha studio kami. Para klien dari pemerintahan yang sebelumnya jadi andalan utama pemasukan kami, satu persatu mundur dan hilang. Sepertinya, efek domino dari kolapsnya perekonomian juga berdampak ke instansi pemerintahan. Daripada menghabiskan budget untuk hal tersier seperti membuat ilustrasi, lebih baik uangnya digelontorkan untuk urusan kesehatan.
Ketu mulai ‘wara-wiri’ secara online, menghubungi beberapa klien yang pernah bekerja sama dengan kami, menawarkan kembali jasa ilustrasi yang mungkin saja mereka butuhkan. Sementara, Andika fokus mencari calon klien lain untuk di prospek agar mau bekerja sama. Namun, hasilnya masih diluar harapan kami.
Sementara, kas kantor perlahan mulai tergerus karena jumlah pengeluaran yang lebih besar ketimbang pemasukan yang nggak seberapa.
“Nar, kira-kira berapa bulan kita bisa bertahan dengan kondisi keuangan sekarang?” Tanya guia ke Dinar.
Saat itu, kami baru saja selesai conference meeting pagi, lalu dilanjutkan dengan pembahasan financial studio antara gua, Ketu dan Dinar.
“Mmm… Kalau kondisi begini terus, kita masih bisa bertahan sekitar 10 bulan tanpa ada klien sama sekali” Jawab Dinar sambil matanya terlihat menatap ke layar lain, ke layar laporan keuangan.
Gua lantas beralih ke Ketu; “Tu, berapa persen kemungkinan lo dapet klien sampe akhir bulan ini?”
Ketu menggeleng, ekspresi nampak penuh keraguan.
“Nggak tau, mungkin dibawah 20%” Jawabnya.
“Berarti kemungkinan besar kita bisa bertahan cuma sampai 10 bulan ya?” Gua mengkonfirmasi ke Dinar. Yang lantas dijawabnya dengan anggukan kepala.
Gua menggaruk-garuk kepala, pusing dengan kondisi seperti ini. Sebenarnya gua bisa dengan mudah menyelamatkan studio dengan ‘melepas’ Adam, Andika dan Dinar, lalu beroperasi berdua seperti saat gua dan Ketu memulai ini semua. Tapi, ada nasib orang yang gua pertaruhkan disini, gua nggak mau ditengah perekonomian yang jatuh, mereka malah harus kehilangan penghasilan. Apalagi, Adam dan Andika yang mantan narapidana, bagaimana nanti mereka harus melanjutkan hidup. Salah-salah, yang ada mereka malah bakal kembali ke dunia hitam.
“Oke gini aja Tu, Lo sama Andika coba cari klien semampu kalian deh…” Ucap gua.
“Oke”
“Kalau sampai bulan ke 5, belum ada perubahan. Bayaran gua nggak usah lo transfer ya Nar” Ucap gua ke Dinar yang lantas di debat oleh mereka berdua. Tapi, keputusan gua sudah bulat. Lebih baik gua yang nggak dapet apa-apa ketimbang mereka harus merana.
Sebelumnya gua sudah pernah berada di titik terendah terjepit kendala ekonomi; nggak punya uang bahkan tempat tinggal. Tapi kali ini rasanya berbeda, karena merasa bertanggung jawab akan hidup orang lain, beban yang gua tanggung saat ini terasa lebih berat. Lebih membuat stress dan terus kepikiran.
Sambil duduk di rooftop, gua merokok dengan ponsel di tangan, mencari-cari daftar kontak yang mungkin saja punya peluang untuk gua ajak bekerja sama.
Satu persatu gua kirimi pesan pertanyaan kabar, jika ada yang membalas maka akan gua lanjutkan dengan menawarkan jasa studio kami. Kebanyakan dari mereka menolak dengan halus, sedangkan sisanya sama sekali nggak memberikan balasan setelah tau kalau tujuan gua hanya menawarkan jasa.
Hampir satu bulan ini kami nggak mendapatkan satupun klien baru, sementara pekerjaan dari klien-klien yang saat ini masih bekerja sama dengan kami semakin lama semakin sedikit.
Hingga akhirnya memutuskan untuk memindahkan seluruh uang tabungan pribadi gua ke rekening milik studio. Walaupun jumlahnya nggak banyak, tapi paling nggak bisa buat tambah-tambah agar studio kecil kami ini bisa terus bertahan ditengah badai ekonomi yang nggak tau kapan bakal selesai.
Di sisi lain, Ketu dan Andika juga terus berusaha ekstra keras untuk mencari klien. Dan setelah beberapa minggu berusaha, akhirnya ada secercah harapan yang datang.
“Kamu inget nggak, klien yang waktu itu meeting sama kamu. Yang proyeknya bikin ilustrasi medis?” Tanya Ketu melalui sambungan telepon.
“Oh Tau…” Jawab gua, bagaimana gua bisa lupa akan pertemuan kami saat itu.
“Nah, mereka kayaknya mau ada proyek lagi” Ucap Ketu.
“Serius?” Tanya gua.
“Iya, kata Account Executive yang aku telpon. Tapi, ya nggak tau bener apa nggak…” Jawab Ketu.
“...”
“... Kamu telpon aja ownernya, Sal. Kamu kan kenal”
Gua lantas menatapnya; ragu.
Seandainya saja gua nggak berada di posisi ‘terjepit’ seperti sekarang ini, gua pasti sudah terang-terangan menolak saran dari Ketu barusan. Tapi, demi kelangsungan hidup bersama rasanya hal ini harus gua lakukan.
Setelah berusaha keras menyingkirkan gengsi. Gua lantas meraih ponsel dan mulai mencari nama dari perempuan owner perusahaan yang dulu sempat bekerja sama dengan kami membuat aplikasi berkaitan dengan ilustrasi medis.
Nada sambung terdengar beberapa kali hingga suara perempuan yang pernah gua dengar menyapa; “Halo..”
“Halo, ini gua Marshall”
“Iya, gua tau. HP gua ada fitur kontaknya”
“Boleh ngobrol sebentar?” Tanya gua.
“Nanti ya, gua masih ada meeting sekarang” Jawabnya, singkat dan lugas.
“Kapan lo selesai?”
“Sore”
“Sore jam berapa?”
“Jam 4” Jawabnya singkat.
“Ok, gua telpon lo lagi nanti jam 4”
“Tentang apa sih?” Tanyanya sebelum mengakhiri obrolan.
“Nanti aja” Gua menjawab singkat dan mengakhiri panggilan.
Gua meraih bungkusan rokok, mengambil sebatang, menyulutnya lalu pergi ke balkon apartemen. Hembusan angin langsung menyambut begitu gua menggeser pintu kaca yang menjadi pembatas antara ruangan dengan balkon.
Sambil bersandar pada railing besi gua menatap ke arah langit. Dan mulai bicara sendiri; “Gua harus gimana ya, Pop?”
“... Seandainya lo masih ada disini, lo pasti udah ngasih semangat dan penghiburan buat gua.”
“... Sekarang kok rasa-rasanya, gua nggak punya pegangan. Bingung harus mengadu ke siapa”
Setelah berbatang-batang rokok habis, gua kembali masuk ke dalam dan menjatuhkan diri di atas sofa. Sambil berbaring dengan posisi telentang, menatap kosong ke atas, gua lanjut berbicara sendiri, bicara kepada Poppy yang bahkan sosoknya nggak ada di sini.
Mungkin gua gila.
Atau, mungkin hanya merindukannya.
Sama-sama Awkward.
Dinar terlihat menunduk, lalu dengan cepat berbalik dan menutup pintu kamarnya. Sementara gua hanya berdiam sambil berdiri mematung, menatap ke arah pintu kamarnya. Setelah beberapa saat, barulah gua kembali turun kebawah, dan barulah gua sadar kalau ponsel gua masih ada padanya.
Mau kembali ke atas, mengetuk kamar dan meminta ponsel gua kembali. Tapi, karena masih berada dalam mode canggung se canggung-canggungnya gua membatalkan rencana tersebut dan kembali bekerja.
Menjelang sore, saat tengah meeting online bersama Ketu dan yang lainnya, terdengar langkah kaki menuruni anak tangga. Dinar mendekat ke arah gua, tanpa bicara ia meletakkan ponsel gua di atas meja kerja lalu kembali naik ke atas menuju ke kamarnya. Karena masih meeting, gua hanya mengacuhkannya.
Selesai meeting, barulah gua bergegas ke atas, ke kamarnya.
Namun, gua nggak mendapati Dinar disana, kamarnya kosong. Dari posisi gua sekarang terlihat pintu ke arah balkon dalam kondisi terbuka. Gua lalu menuju ke balkon, naik melalui tangga besi, menuju ke rooftop. Di rooftop, terlihat lampu-lampu yang dulu gua siapkan untuk melamar Poppy menyala. Walaupun beberapa lampu terlihat mati karena rusak akibat konslet, tapi sama sekali nggak membuat perbedaan, masih membangkitan suasana yang hangat.
Dinar duduk di tempat yang sama dengan yang biasa kami gunakan saat berjemur di pagi hari. Wajahnya terang karena bias dari layar ponsel yang tengah dipandangnya. Ia nggak memberi respon apapun saat mengetahui gua ada di sana, bahkan hingga gua duduk tepat di sebelahnya, Dinar sama sekali nggak memberi respon.
Gua juga hanya diam, menatap ke arah langit yang gelap. Sementara, angin malam berhembus; dingin menusuk tulang. Gua meraih sebatang rokok, menyulutnya dan menghisap dalam-dalam, menghembuskan asapnya ke udara, yang langsung hilang ditiup angin.
Kami sama-sama terdiam, mungkin masih ada canggung yang tersisa akibat kejadian tadi siang. Nggak mau berlarut-larut terjebak dalam situasi seperti ini, gua bersiap untuk membuka obrolan. Namun, belum sempat gua bicara, Dinar sudah mendahului gua.
“Sorry ya, Kak…” Ucapnya pelan, tanpa memalingkan wajahnya dari layar ponsel.
“Kenapa malah lo yang minta maaf. Harusnya gua yang minta maaf duluan…”
Jawab gua, merasa kalau gua lah yang salah, karena lepas kendali di tempat dan dengan orang yang salah.
“Nggak. Aku yang salah… Aku yang nggak tau diri. Kok berani-beraninya…” Dinar menghentikan kalimatnya, berhenti bicara, seperti ragu akan kata-kata selanjutnya.
Gua menoleh ke arahnya, mengernyitkan dahi, menunggu apa kalimat selanjutnya. Tapi, ia nggak melanjutkannya, hanya terdiam sambil terus menatap layar ponselnya.
“So Sorry ya, Nar… Gua udah kelewat batas. Untuk kejadian tadi, anggap aja nggak pernah terjadi…” Ucap gua seraya menatapnya.
Barulah Dinar menoleh ke arah gua. Ia lalu tersenyum dan mengangguk pelan.
Gua tau kalau tadi, ia juga lepas kendali. Mungkin saking senangnya, hingga nggak sadar kalau yang di hadapannya adalah gua, seorang pria yang merupakan kekasih kakaknya. Mungkin ia hanya ingin berbagi kebahagiaan dan kebetulan gua satu-satunya orang yang berada di sana, di sisinya.
“Kak...”
“Ya…”
“Kakak, sayang nggak sama Poppy?” Tanyanya.
Mendengar pertanyaannya barusan tentu membuat gua langsung tersenyum. Bagaimana mungkin gua nggak sayang sama Poppy, dan kok bisa-bisanya Dinar mempertanyakan hal tersebut.
“What? Menurut Lo?” Gua balik bertanya.
“Sayang banget” Jawabnya.
“Nah, itu lo tau jawabannya…”
“Kalo kakak sayang banget sama Poppy, berapa besar kemungkinan kak Marshall bakal mencintai orang lain kedepannya?” Tanyanya.
Sebuah pertanyaan yang tentu saja membuat gua sedikit terkejut.
Gua lantas menggeleng pelan.
“Nggak tau, kayaknya gua udah patah hati terlalu dalam, sampe nggak ada niat untuk mencintai orang lain selain Poppy” Jawab gua seraya menoleh ke arahnya.
Sementara, Dinar terlihat hanya mengangguk sambil tersenyum.
“... Kalo lo? Lo pernah patah hati? Gua menambahkan.
“Pernah” Jawabnya singkat.
“Oya? Kapan?” Tanya gua lagi.
“Barusan” Dinar menjawab sambil menatap gua.
Jawabannya barusan membuat gua langsung terdiam. Rupanya, ia benar-benar menaruh hati ke orang yang salah.
“Suatu saat nanti, lo pasti kenal dan dapet cowok yang bisa melindungi lo, bisa mengerti dan bisa jadi tempat berkeluh kesah lo…” Ucap gua seraya memberi tepukan lembut di kepalanya.
“...”
“... Tapi, sampai saat itu tiba, apapun yang terjadi, apapun masalah yang lo punya, apapun kendala yang lo hadapi, cerita ya ke gua. Anggap gua kakak lo sendiri, anggap gua teman dan sahabat lo..” Gua menambahkan.
“Iya kak…” Jawabnya, masih sambil tersenyum.
Beberapa hari berselang, gua mulai memperkenalkan Dinar sebagai bagian dari tim kecil kami. Setelah kehilangan Poppy, kini komposisi staff studio menjadi; gua dan Adam yang bertugas untuk urusan ilustrasi, Ketu dan Andika yang berhubungan dengan klien dan calon klien, sementara Dinar yang bakal bertanggung jawab urusan keuangan.
Karena kurang satu amunisi yang bertanggung jawab akan urusan ilustrasi, gua dan Adam sedikit kelimpungan dalam menyelesaikan task-task yang menunggu antrian.
“Tu, nggak bisa di rem dulu nih proyek yang masuk? Kita keteteran banget ini…” Pinta gua ke Ketu, melalui sambungan video conference saat kita tengah meeting pagi.
Sejak mulai bekerja remote kami memang senantiasa melakukan meeting online setiap hari, setiap pagi, untuk menyelaraskan pekerjaan dan melakukan evaluasi.
“Wis kerjain aja, Ojo keakehan komplen. Kita harus nabung, Sal. Takut pandemi berlangsung lama, takut perekonomian runtuh, takut kolaps…” Jawab Ketu.
“...”
“... Makanya kita harus nabung, biar bisa bertahan” Tambahnya.
Dalam hal ini gua cukup setuju dengan Ketu, that’s why kini sebanyak apapun pekerjaan yang masuk, gua akan dengan semangat menyelesaikannya.
Sementara, untuk menghindari gosip, isu tak sedap dan gunjingan orang, gua dan Dinar sepakat untuk nggak lagi tinggal dalam satu atap.
“Lo gapapa balik ke rumah?” Tanya gua ke Dinar, yang nampak sedih dan berat saat bersiap meninggalkan studio.
Dinar nggak menjawab, ia hanya terdiam sambil menatap gua lalu tersenyum.
“Ya mau gimana lagi, aku kan nggak punya pilihan lain…” Jawabnya.
Gua tau, kalau ia ingin sekali menghindar dari rumah itu, rumah yang bakal membuatnya berjibaku dengan rasa rindu dan kenangan tentang keluarganya.
Tapi, saat ini gua juga nggak punya solusi lain. Jadi, Dinar kembali ke rumahnya adalah satu-satunya jalan keluar yang tepat.
Sebelum Dinar pindah, gua sempat mengajaknya untuk berziarah ke makam tempat bokap, nyokapnya dan Poppy disemayamkan. Tentu saja untuk memuluskan ‘jalan’, gua meminta tolong Bokap untuk mengantar kami. Tapi, karena bokap yang sibuk di rumah sakit, ia mengutus salah satu rekannya yang sudah terbiasa mondar-mandir ke makam khusus Covid-19 untuk mengantar kami, namanya Lian. Lian adalah seorang dokter forensik yang sejak mewabahnya Covid-19, tenaganya dialihkan menjadi 'tukang tutup jenazah'.
Nggak seperti tempat pemakaman pada umumnya, dimana banyak penjual bunga dan air mawar yang menjajakan dagangannya. Di TPU Tegal Alur, tempat kami sekarang berada terlihat sepi. Yang nampak hanya deretan ambulance dan mobil jenazah yang terparkir, membawa peti-peti berisi korban-korban covid-19 yang meninggal.
Pada saat kami datang, terhitung ada 20-an ambulance dan mobil jenazah yang terparkir. Yang artinya hari ini saja ada sekitar 20-an orang yang dimakamkan akibat covid-19. Dengan dipandu oleh Lian, gua dan Dinar mengikutinya masuk ke area pemakaman. Terlihat hamparan luas tanah merah dengan banyak gundukan bernisan putih. Di sudut terjauh, puluhan orang penggali kubur berpakaian putih-putih, lengkap dengan masker dan penutup kepala sibuk dengan cangkulnya, menggali tanah gembur untuk membuat lubang. Di dekatnya, terlihat antrian peti-peti jenazah yang siap mengisi lubang-lubang tersebut.
Setelah berjalan cukup jauh, Lian menghentikan langkahnya di sebuah gundukan tanah dengan nisan putih yang bertuliskan nama dari bokap Dinar. Di sebelahnya, terdapat gundukan yang sama dengan nisan yang berbentuk sama, bertuliskan nama Nyokapnya.
“Ini bapak sama ibu, kalau kakaknya ada di sana” Ucap Lian seraya menunjuk ke arah sisi lain pemakaman.
Dinar, berlutut lalu menyentuh tanah merah dari gundukan. Ia terisak sebentar kemudian disusul pecah tangisnya yang membahana. Tak ada kata-kata yang terucap dari mulutnya, ia hanya terus menangis tanpa mengangkat kepalanya.
Sementara, gua ikut berjongkok di sebelahnya lalu memberikan tepukan di pundaknya. Tepukan penghiburan yang sepertinya nggak berhasil mengurangi rasa sedihnya.
Setelah puas menangis di pusara bokap dan nyokapnya, Dinar berdiri dan menatap ke arah Lian. Lian yang langsung paham lalu mengantar kami ke makam Poppy. Kali ini, giliran gua yang nggak kuasa menahan kesedihan. Belum sampai ke lokasi makamnya, saat baru saja melihat nisan yang bertuliskan nama Poppy, lengkap dengan tanggal lahir dan tanggal wafatnya, kedua kaki gua langsung terasa lemas, seakan nggak memiliki kekuatan untuk menopang tubuh ini.
Merasa nggak sanggup untuk menatap makam Poppy, nggak sanggup ‘bertemu’ dengannya, gua menghentikan langkah. Berlutut di atas tanah merah dan mulai menangis sejadi-jadinya. Sementara, Dinar terus melanjutkan langkah menuju ke pusara kakak tercintanya, dan kembali menangis di sana.
Nggak tahan dengan rasa sedih yang luar biasa. Gua memutuskan untuk kembali ke parkiran mobil lebih dulu, biarlah Dinar menghabiskan waktu sepuasnya.
“Udah ya, Nar.. Udah nggak penasaran lagi kan? Udah ilang kangennya?” Tanya gua ke Dinar sepulangnya dari makam.
Dinar mengangguk pelan, sambil terus menatap keluar jendela mobil. Lalu, tanpa aba-aba, ia menggeser duduknya mendekat ke gua, kemudian menyandarkan kepalanya tepat di bahu gua. Sementara, Lian yang menyetir di kursi depan hanya melihat kami berdua dengan tatapan sedih, melalui kaca spion di bagian atas dashboard mobil.
—
Nyatanya, pandemi ini bukannya hilang malah semakin menyebar dengan cepat. Bahkan varian-varian baru mulai bermunculan, meneror masyarakat yang kini jadi hidup dalam selubung ketakutan yang nggak pernah hilang.
Akhirnya ketakutan Ketu benar-benar menjadi kenyataan. Perekonomian dunia ‘runtuh’, imbasnya tentu saja berdampak ke usaha studio kami. Para klien dari pemerintahan yang sebelumnya jadi andalan utama pemasukan kami, satu persatu mundur dan hilang. Sepertinya, efek domino dari kolapsnya perekonomian juga berdampak ke instansi pemerintahan. Daripada menghabiskan budget untuk hal tersier seperti membuat ilustrasi, lebih baik uangnya digelontorkan untuk urusan kesehatan.
Ketu mulai ‘wara-wiri’ secara online, menghubungi beberapa klien yang pernah bekerja sama dengan kami, menawarkan kembali jasa ilustrasi yang mungkin saja mereka butuhkan. Sementara, Andika fokus mencari calon klien lain untuk di prospek agar mau bekerja sama. Namun, hasilnya masih diluar harapan kami.
Sementara, kas kantor perlahan mulai tergerus karena jumlah pengeluaran yang lebih besar ketimbang pemasukan yang nggak seberapa.
“Nar, kira-kira berapa bulan kita bisa bertahan dengan kondisi keuangan sekarang?” Tanya guia ke Dinar.
Saat itu, kami baru saja selesai conference meeting pagi, lalu dilanjutkan dengan pembahasan financial studio antara gua, Ketu dan Dinar.
“Mmm… Kalau kondisi begini terus, kita masih bisa bertahan sekitar 10 bulan tanpa ada klien sama sekali” Jawab Dinar sambil matanya terlihat menatap ke layar lain, ke layar laporan keuangan.
Gua lantas beralih ke Ketu; “Tu, berapa persen kemungkinan lo dapet klien sampe akhir bulan ini?”
Ketu menggeleng, ekspresi nampak penuh keraguan.
“Nggak tau, mungkin dibawah 20%” Jawabnya.
“Berarti kemungkinan besar kita bisa bertahan cuma sampai 10 bulan ya?” Gua mengkonfirmasi ke Dinar. Yang lantas dijawabnya dengan anggukan kepala.
Gua menggaruk-garuk kepala, pusing dengan kondisi seperti ini. Sebenarnya gua bisa dengan mudah menyelamatkan studio dengan ‘melepas’ Adam, Andika dan Dinar, lalu beroperasi berdua seperti saat gua dan Ketu memulai ini semua. Tapi, ada nasib orang yang gua pertaruhkan disini, gua nggak mau ditengah perekonomian yang jatuh, mereka malah harus kehilangan penghasilan. Apalagi, Adam dan Andika yang mantan narapidana, bagaimana nanti mereka harus melanjutkan hidup. Salah-salah, yang ada mereka malah bakal kembali ke dunia hitam.
“Oke gini aja Tu, Lo sama Andika coba cari klien semampu kalian deh…” Ucap gua.
“Oke”
“Kalau sampai bulan ke 5, belum ada perubahan. Bayaran gua nggak usah lo transfer ya Nar” Ucap gua ke Dinar yang lantas di debat oleh mereka berdua. Tapi, keputusan gua sudah bulat. Lebih baik gua yang nggak dapet apa-apa ketimbang mereka harus merana.
Sebelumnya gua sudah pernah berada di titik terendah terjepit kendala ekonomi; nggak punya uang bahkan tempat tinggal. Tapi kali ini rasanya berbeda, karena merasa bertanggung jawab akan hidup orang lain, beban yang gua tanggung saat ini terasa lebih berat. Lebih membuat stress dan terus kepikiran.
Sambil duduk di rooftop, gua merokok dengan ponsel di tangan, mencari-cari daftar kontak yang mungkin saja punya peluang untuk gua ajak bekerja sama.
Satu persatu gua kirimi pesan pertanyaan kabar, jika ada yang membalas maka akan gua lanjutkan dengan menawarkan jasa studio kami. Kebanyakan dari mereka menolak dengan halus, sedangkan sisanya sama sekali nggak memberikan balasan setelah tau kalau tujuan gua hanya menawarkan jasa.
Hampir satu bulan ini kami nggak mendapatkan satupun klien baru, sementara pekerjaan dari klien-klien yang saat ini masih bekerja sama dengan kami semakin lama semakin sedikit.
Hingga akhirnya memutuskan untuk memindahkan seluruh uang tabungan pribadi gua ke rekening milik studio. Walaupun jumlahnya nggak banyak, tapi paling nggak bisa buat tambah-tambah agar studio kecil kami ini bisa terus bertahan ditengah badai ekonomi yang nggak tau kapan bakal selesai.
Di sisi lain, Ketu dan Andika juga terus berusaha ekstra keras untuk mencari klien. Dan setelah beberapa minggu berusaha, akhirnya ada secercah harapan yang datang.
“Kamu inget nggak, klien yang waktu itu meeting sama kamu. Yang proyeknya bikin ilustrasi medis?” Tanya Ketu melalui sambungan telepon.
“Oh Tau…” Jawab gua, bagaimana gua bisa lupa akan pertemuan kami saat itu.
“Nah, mereka kayaknya mau ada proyek lagi” Ucap Ketu.
“Serius?” Tanya gua.
“Iya, kata Account Executive yang aku telpon. Tapi, ya nggak tau bener apa nggak…” Jawab Ketu.
“...”
“... Kamu telpon aja ownernya, Sal. Kamu kan kenal”
Gua lantas menatapnya; ragu.
Seandainya saja gua nggak berada di posisi ‘terjepit’ seperti sekarang ini, gua pasti sudah terang-terangan menolak saran dari Ketu barusan. Tapi, demi kelangsungan hidup bersama rasanya hal ini harus gua lakukan.
Setelah berusaha keras menyingkirkan gengsi. Gua lantas meraih ponsel dan mulai mencari nama dari perempuan owner perusahaan yang dulu sempat bekerja sama dengan kami membuat aplikasi berkaitan dengan ilustrasi medis.
Nada sambung terdengar beberapa kali hingga suara perempuan yang pernah gua dengar menyapa; “Halo..”
“Halo, ini gua Marshall”
“Iya, gua tau. HP gua ada fitur kontaknya”
“Boleh ngobrol sebentar?” Tanya gua.
“Nanti ya, gua masih ada meeting sekarang” Jawabnya, singkat dan lugas.
“Kapan lo selesai?”
“Sore”
“Sore jam berapa?”
“Jam 4” Jawabnya singkat.
“Ok, gua telpon lo lagi nanti jam 4”
“Tentang apa sih?” Tanyanya sebelum mengakhiri obrolan.
“Nanti aja” Gua menjawab singkat dan mengakhiri panggilan.
Gua meraih bungkusan rokok, mengambil sebatang, menyulutnya lalu pergi ke balkon apartemen. Hembusan angin langsung menyambut begitu gua menggeser pintu kaca yang menjadi pembatas antara ruangan dengan balkon.
Sambil bersandar pada railing besi gua menatap ke arah langit. Dan mulai bicara sendiri; “Gua harus gimana ya, Pop?”
“... Seandainya lo masih ada disini, lo pasti udah ngasih semangat dan penghiburan buat gua.”
“... Sekarang kok rasa-rasanya, gua nggak punya pegangan. Bingung harus mengadu ke siapa”
Setelah berbatang-batang rokok habis, gua kembali masuk ke dalam dan menjatuhkan diri di atas sofa. Sambil berbaring dengan posisi telentang, menatap kosong ke atas, gua lanjut berbicara sendiri, bicara kepada Poppy yang bahkan sosoknya nggak ada di sini.
Mungkin gua gila.
Atau, mungkin hanya merindukannya.
Lanjut Ke Bawah
Diubah oleh robotpintar 20-05-2024 09:50
pavidean dan 33 lainnya memberi reputasi
34
Kutip
Balas
Tutup